3. Mempermalukan Diri

1329 Words
Wanita itu masih merenungkan kebodohannya ketika ponsel yang Aroha letakan entah di mana terdengar berdering keras memecahkan telinga. Aroha langsung mencari keberadaan ponselnya itu karena nada dering yang keluar dari ponselnya adalah nada darurat yang Aroha pasang untuk keadaan emergency di rumah sakit, maka dari itu dia harus segera menjawab panggilannya. "Halo?" Seru Aroha ketika menemukan ponselnya ternyata masih berada di dalam tas yang dia lempar sembarangan semalam. "Dokter?—" Setelahnya yang Aroha dengar adalah penjelasan mengenai pasien darurat yang baru saja datang dan diterima salah satu dokter magang yang berada dalam pengawasan Aroha. Sambil mendengarkan, Aroha buru-buru mengganti pakaian tidurnya dengan apa pun yang terlihat lebih baik untuk dipakai keluar rumah. Apa pun, meski hanya sepotong kaus oblong, celana jins dan kardigan untuk menutupi bagian lengannya yang terlihat. Untuk bagian rambut, cara terbaik untuk menutupi bagian itu agar tidak terlihat berantakan adalah dengan mengikatnya, itu kenapa dengan cepat setelah mengganti baju Aroha langsung menguncir kuda rambut sepunggungnya. Setelah itu... "Siapin ruang OR, 15 menit lagi saya sampai." Ucap Aroha setelahnya mematikan sambungan. Wanita itu lantas menyambar tasnya yang semula tergeletak, melempar ponselnya kembali ke dalam tas itu kemudian mengambil kunci mobilnya yang tergeletak di nakas dekat pintu masuk kamarnya. Aroha menarik pintu kamarnya cepat, keluar dengan langkah tergesa dengan beberapa mata yang mengikuti pergerakannya. "Lho, Mbak Aroha mau kemana? Udah mandi? Sarapan—makan siangnya, Mbak? Bapak sama Ibu—" "Panggilan darurat dari rumah sakit, Bi. Kalau Ayah sama Ibu tanya, bilang aja aku ada tugas dadakan dari rumah sakit, ya?" Ucap Aroha sambil lalu, menepuk pundak salah satu pekerja rumah di kediaman itu lantas berlalu melewati yang lain yang menyapanya dengan anggukan kepala. Aroha tidak bisa menyapa satu per satu, sehingga yang dilakukannya hanya tersenyum sepanjang melewati setiap ruangan sampai... "Mbak Aroha mau ke mana?" Ah, pria ini lagi. Siapa lagi kalau bukan Alvar. Aroha meringis, mengingat kembali apa yang terjadi padanya di hadapan pria ini beberapa menit lalu. Wanita itu berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alvar yang menatapnya penuh tanya, meski akhirnya dia menyerah dan membiarkan Alvar memandangnya sesuka hati. Persetan dengan wajahnya yang masih terlihat seperti bangun tidur, toh hampir semua rekannya di rumah sakit sudah melihatnya dalam keadaan yang lebih buruk dari ini. Memang siapa Alvar? Apa istimewanya hingga Aroha harus menunjukan penampilan terbaiknya. "Rumah sakit, saya ada panggilan darurat jadi harus tiba di sana kurang dari 15 menit." Aroha terus berjalan, hingga mencapai teras kediaman di mana mobilnya jelas tidak akan terlihat di sana. Sial. Aroha sedang buru-buru, dan kini mobilnya entah terparkir di mana setelah semalam dia hanya meninggalkan dan membiarkan salah seorang pengawal mengambil alihnya untuk di parkir di tempat yang seharusnya. "Eh? Tapi Bapak bilang hari ini saya harus menemani Mbak—" "Alvar." "Ya?" Alvar mengikuti arah pandang Aroha, yang seketika mengaktifkan sinyal waspada dalam diri pria itu. "Mobil Jeep itu punya siapa?" Pandangan Aroha lurus menatap ke arah mobil jeep putih yang terparkir beberapa meter dari mereka. "Eh?" "Saya lihat kuncinya digantung di sana, nggak masalah kalau saya pakai dalam keadaan darurat kayak sekarang, kan?" "Maaf, Mbak—" "Kamu ikut! Balikin mobilnya setelah saya sampai di rumah sakit." Ucap Aroha tanpa mendengarkan ucapan Alvar sampai selesai. Wanita itu bahkan menarik lengan Alvar tanpa persetujuan yang bersangkutan. Membuka pintu di samping kemudi dan masuk ke dalamnya lalu menutup pintunya keras di depan Alvar. "Apa? Cepet masuk? Nggak mau ikut?! Ya udah mobilnya nanti biar saya—" "Biar saya yang nyetir." Timpal Alvar cepat, sebelum Aroha menyelesaikan ucapannya. Pria itu tahu apa yang dilakukannya mungkin menyalahi aturan, hanya saja kini Alvar seolah tidak memiliki pilihan. Aroha menghembuskan napasnya kasar, memutar bola matanya jengah. "Nggak ada waktu Alvar. Saya hitung sampai tiga, kalau kamu nggak naik biar saya pergi sen..." Belum selesai kalimat yang keluar dari mulut Aroha, Alvar sudah lebih dulu berputar ke arah sisi mobil lainnya dan masuk menempati kursi kosong di samping Aroha. "Minta mereka buka gerbangnya. Sekarang." Tambah Aroha men-starter mobil begitu Alvar sudah duduk tenang di sampingnya. Tanpa bantahan, kali ini Alvar memenuhi permintaan Aroha cepat. Pria itu memberikan perintah melalui earpiece yang dipakainya, pada detik yang sama ketika perintah itu sudah Alvar berikan—tubuh pria itu berguncang hebat, pandangannya langsung tertuju pada Aroha yang menyetir di sampingnya. Wanita ini, tidak berencana membawa mobil yang dikendarainya itu ugal-ugalan, kan? Sialnya. Apa yang Alvar pikiran itu menjadi kenyataan. Persis seperti firasatnya. Aroha menginjak pedal gas mobil begitu dalam, sehingga laju mobil yang dikendarainya mencapai lebih dari rata-rata. "Mbak Aroha, kalau begini kita bisa—" "Saya yang akan tanggungjawab. Ditilang atau apa pun itu saya yang akan jelasin sama yang berwajib setelah saya sampai dan keluar dari OR." Alvar tentu bukan merasa takut karena wanita di sampingnya mengendarai mobil dengan kecepatan maksimal, tentu hal semacam ini jelas hal yang biasa untuknya. Hanya saja... Alvar justru takut jika sesuatu terjadi pada wanita itu sendiri, Alvar takut apa yang Aroha lakukan ini justru melukai dirinya sendiri. "Mbak yakin nggak mau saya aja yang nyetir? Saya rasa kalau saya yang bawa mobilnya kita akan sama-sama sampai di rumah sakit dengan selamat." Dengusan geli muncul dari mulut Aroha, wanita itu tersenyum separuh. "Kenapa? Kamu takut kenapa-kenapa karena saya nyetir seperti ini?" "Nggak, bukan begitu..." "Kita bakalan sampai dengan selamat Alvar. Tenang aja. Karena saya masih harus bertanggungjawab atas satu nyawa yang sekarang nunggu saya di rumah sakit." Lima menit berlalu, Aroha sama sekali tidak menurunkan laju mobilnya. Beruntung itu sudah lewat jam makan siang, jadi kemacetan tidak terlalu menguar sebagaimana biasanya, kalaupun memang jalanan padat, Aroha akan langsung mencoba mencari jalan pintas lain agar dirinya benar-benar sampai di rumah sakit secepat mungkin. "Kita punya kurang-lebih sepuluh menit lagi. Jadi kasih tahu saya kenapa kamu terima tawaran Ayah untuk nikah sama saya." Ucap Aroha setelah melirik jam di dashboard mobil, mengisi keheningan yang mengisi keduanya beberapa detik sebelumnya. "Maaf?" "Kamu terima tawaran itu bukan karena kamu anggap apa yang Ayah saya minta ke kamu itu sebagai perintah, kan?" Tiga detik berlalu Alvar tidak memberikan jawaban, padahal sebelumnya pria itu akan selalu menjawabnya kurang dari tiga detik. Melirik sekilas pada pria yang duduk di sampingnya, Alvar tidak terlihat hendak menjawab pertanyaan itu, dan tentu saja fakta itu membuat Aroha tidak bisa menahan senyum sinisnya. "Udah saya duga, kamu anggap itu sebagai sebuah perintah." Gumam Aroha kecil, lebih untuk dirinya sendiri. "Saya—" "Kalau gitu bilang sama Ayah kalau kamu nggak bisa penuhi permintaannya itu. Saya pikir kalau kamu yang bilang Ayah nggak akan desak saya untuk nikah sama kamu lagi." "Mbak—" "Gimanapun itu cuma sebuah perintah, kan? Nggak harus kamu penuhi. Apalagi ini nggak ada hubungannya dengan pekerjaan kamu sama sekali." Alvar baru saja ingin menyahut bahwa semua perintah kepala negara adalah hal yang wajib untuk dia penuhi, tapi karena Aroha memberikan tambahan pada kalimat itu sesudahnya, Alvar jadi tidak terpikirkan balasan macam apa yang harus pria itu berikan. "Maafin Ayah yang minta sesuatu yang nggak masuk akal sama kamu, dan terima kasih karena pengertian kamu yang udah dengerin apa kata Ayah." “Maaf, Mbak Aroha. Tapi saya belum menerima tawaran Bapak untuk bersedia menikah dengan Mbak.” Ucap Alvar akhirnya, setelah sejak tadi kalimatnya terpotong atau pun tersela hingga sama sekali tidak bisa bersuara. Aroha mengerjap canggung, menginjak pedal rem mobil yang dikendarainya sebelum menoleh ke arah Alvar. “Eh?” Tenang saja, kebetulan memang di depan lampu merah dan kali ini Aroha tidak bisa menerobosnya karena posisi mobil yang pada di depan mereka. Untuk yang ini Aroha jelas harus menunggu giliran melajukan mobil itu lagi. “Huh?” “K-Kamu belum…” “Ah, ya. Saya belum menerima usulan Bapak untuk bersedia menikah dengan Mbak.” Ya Tuhan. Harus ditaruh di mana wajah Aroha sekarang? Setelah bicara panjang lebar? Setelah semua yang ada di kepalanya dia keluarkan? Ternyata pria di sampingnya ini bahkan belum menerima tawaran ayahnya untuk menikah dengannya? Yang benar saja, Aroha! Bukan hanya sekali Aroha mempermalukan dirinya hari ini dengan penampilan bangun tidurnya, tapi juga karena semua isi percakapan ini. Sial.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD