“Di sini. Cukup berhenti di sini, Mas.” Aroha mengakhiri arahannya yang dirinya lakukan pada Alvar sejak tadi, membuat Alvar masuk ke pelataran tanah lapang yang luas dan menghentikan mobil yang dikendarainya di sana.
Mobil berhenti, seiring dengan Alvar yang mengedarkan pandangannya ke sekitar. Pria itu mengamati, menggunakan intuisi dan tatapan tajamnya hanya dari dalam mobil untuk memastikan bahwa tempat itu memang benar aman untuk mereka—atau setidaknya untuk Aroha.
“Mbak serius ingin kita bicara di sini?” Tanya Alvar setelah mengamati sekitar, sedikit-banyak ingin tahu alasan Aroha mengarahkannya ke tempat yang cukup jauh ini hingga mereka tiba.
Kurang-lebih dua jam perjalanan. Perjalanan yang Alvar rasa sebenarnya bisa mereka gunakan untuk bicara serius, tapi hanya terlewat begitu saja dalam perjalanan tadi. Tidak, Alvar bukannya ingin protes, dirinya hanya penasaran saja, meski ya… Alvar sudah menyetujui untuk pergi ke tempat yang diinginkan Aroha.
“Karena di sini sepi. Ini tempat saya melarikan diri kalau sedang penat dengan kuliah saya dulu, atau… kalau memang lagi pengin melarikan diri dari penatnya kerjaan.”
Ah... Ya, Alvar rasa dirinya bisa mengerti sekarang.
“Ayo turun.” Ucap Aroha, membuka sabuk pengamannya dan keluar dari dalam mobil tanpa menunggu Alvar mengikuti arahannya.
Sebab Aroha tahu, mendengar jawaban Alvar atau tidak pria itu sudah pasti akan mengikutinya.
Mereka meninggalkan mobil, berjalan memasuki sebuah tanah lapang luas dengan rumput pendek yang membentang sejauh mata memandang. Lumayan jauh dari jarak mereka sekarang, Alvar bisa melihat beberapa orang di sana, sedang sibuk dengan pekerjaan mereka sendiri.
“Mbak Aroha nggak berniat untuk menaikinya, kan?”
“Lho, kenapa? Kita udah jauh-jauh ke sini tentu aja saya datang untuk menaikinya. Saya udah bilang saya suka kegiatan outdoor, kan? Dan salah satunya ini, paralayang.” Ucap Aroha ringan, tanpa sedikit pun melihat ada sorot cemas di mata Alvar.
“Tapi ini…”
“Bahaya? Hmph, Mas jelas lebih tahu ini jelas jauh lebih aman dari aktivitas sejenis lainnya. Sky diving yang udah jadi makanan Mas jelas lebih bahaya dari ini.”
Itu jelas berbeda, Aroha. Alvar melakukannya karena bagian dari pekerjaan, meski tidak dimungkiri kalau Alvar juga menikmatinya.
“Kita bicara setelah kita menaiki ini, oke?” Ucap Aroha menepuk pundak Alvar, kemudian berjalan menuju penanggungjawab permainan itu untuk mendaftarkan dirinya.
Keduanya saat ini sudah berdiri dengan atribut masing-masing, berdiri bersisian namun dengan jarak yang cukup jauh hingga mereka harus mengeraskan suara jika ingin bicara satu sama lain.
“Saya duluan, Mas! Sampai bertemu di bawah!” Seru Aroha kemudian berlari meninggalkan perbukitan untuk setelahnya terbang dengan paralayang yang dinaikinya.
Alvar rasanya ingin sekali mencegahnya, menarik wanita itu dan membuat Aroha batal melakukan hal semacam ini. Tapi tidak, sejak pertama bertemu Alvar sudah tahu Aroha adalah wanita yang sulit dihentikan. Tanpa alasan yang jelas, tanpa penjelasan yang bisa diterima, dan tanpa kemampuan untuk membuat keteguhannya luntur, tentu saja siapa pun tidak bisa menghentikannya—bahkan kedua orangtuanya sendiri.
“Ayo Mas, siap ya!”
Seruan terdengar membuyarkan Alvar dari lamunannya. Pria itu bersiap, lantas berlari setelah mendapatkan aba-aba. Tubuh Alvar melayang dengan bantuan angin dan benda yang dipakainya berkibar jauh di atas kepala, dengan tali-temali yang terhubung ke tubuhnya saat ini.
Hamparan perkebunan, lahan pertanian, rumah-rumah warga, ladang dan jalanan yang kini berada jauh di bawah sana kini terlihat begitu kecil di mata Alvar. Aroha benar, hal seperti ini memang bisa melepaskan segala penat di dalam hati hanya dengan melihat semuanya dari posisi ini, Alvar tahu, hanya saja tidak pernah memiliki sudut pandang sejauh itu sebelumnya.
“MAS ALVAR!” Suara teriakan yang samar-samar, di antara deru angin yang terdengar jelas dari posisinya sekarang, Alvar cukup takjub bisa mendengar suara Aroha di antara semua itu, hal yang jelas sulit dilakukan, kecuali Aroha memang benar-benar mengerahkan suaranya untuk memanggil.
Pandangan Alvar mengarah pada paralayang Aroha yang berada beberapa puluh meter darinya, melihat wanita itu melambai ke arahnya dengan raut wajah yang berbeda 180 derajat jika dibandingkan saat bicara dengannya beberapa jam lalu, atau saat mereka berada di mobil, atau saat keduanya berbincang seturunnya dari mobil tadi. Ekspresi wajah Aroha saat ini benar-benar... terlihat lepas, terlihat bahagia dengan senyumnya.
Masih takjub Alvar dengan apa yang dilihatnya itu, tiba-tiba suara sambungan HT terdengar dari tangannya. Ah, benar, mereka dibekali itu untuk bicara pada satu sama lain tadi.
“Halo, Mas? Mas bisa dengar saya? Mas?!”
“Iya, Mbak. Saya dengar.”
Setelah Alvar menjawab itu, ada suara kekehan tawa yang terdengar dari sambungan di seberangnya. “Gimana? Menyenangkan, kan? Nggak salah saya ajak Mas ke sini, kan? Ah, atau… ini justru membosankan dibanding sky diving yang biasa Mas latih itu?”
“Eh? Nggak, Mbak… bukan begitu…”
“Well, saya anggap kalau setidaknya ini nggak semembosankan itu. Seenggaknya Mas bisa sedikit rileks, kan? Santai, Mas. Jangan terlalu serius atau tengang, karena pembicaraan kita juga nggak seharusnya seserius itu.” Ucap wanita itu, tanpa sadar sudah membuat Alvar terdiam lama hingga lupa bagaimana memberikan jawaban pada lawan bicaranya.
***
“Mbak bilang tadi… baru tahu usia saya beberapa hari lalu. Gimana Mbak bisa tahu?” Pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Alvar, setelah sejak mendengarnya tadi Alvar merasa mencari kesempatan untuk bertanya.
Sebenarnya pria itu memiliki banyak kesempatan itu selama perjalan lebih dari 2 jam tadi, tapi entah apa yang mereka perbincangkan selama perjalanan itu hingga pertanyaan yang justru Alvar ingin dengar jawabannya baru terlontar sekarang.
Aroha yang berjalan di sampingnya menoleh ke arah Alvar, menatap pria itu dengan mata menyipit seolah tengah menyelidik lantas kemudian tersenyum. Keduanya baru saja selesai melakukan paralayang, masih menggunakan seragam dari tempat penyewaan dan harus mengembalikannya ke tempat semula.
“Ayah yang mengirimkan semua informasi Mas beberapa hari lalu. Semacam CV? Atau entah apalah itu sebutannya. Saya nggak baca semua yang beliau kirim berlembar-lembar, tapi cukup untuk mengetahui hal-hal dasar soal Mas.”
Ah… Jadi begitu rupanya.
Setelah mendengar jawaban Aroha itu Alvar justru diam, tidak tahu harus memulai percakapan dengan apa lagi.
“Jadi, gimana desakan dari Ayah pada Mas? Sampai Mas mutusin untuk ketemu saya dan bicara? Cukup buat frustrasi?”
Alvar menoleh cepat, menatap Aroha yang juga tengah menatapnya dengan senyum sedikit jahil.
“Nggak, Mbak. Saya nggak merasa begitu, sungguh! Saya cuma… cuma—bingung harus memberikan jawaban macam apa untuk Bapak.”
Senyum di bibir Aroha semakin lebar, tapi tidak terarah lagi pada Alvar. Dan senyum itu bukan jenis senyum yang seratus persen positif, tapi ada beberapa hal miris yang bisa dirasakan ketika melihatnya.
“Pada akhirnya Ayah memang akan desak Mas kalau merasa mendesak aku nggak berhasil.”
“Eh?”
Aroha tidak segera menanggapi respons Alvar saat pria itu menatapnya bingung. Wanita itu terdiam cukup lama dan terus berjalan menuju parkiran kendaran penanggungjawab yang akan mengantar mereka kembali ke tempat semula.
Beberapa langkah kemudian barulah Aroha berhenti, menghadapkan tubuhnya ke arah Alvar sepenuhnya yang juga ikut berhenti. Kedua manusia dewasa itu saling bertatap, dengan pandangan yang jelas tidak sejajar karena Alvar 15 cm lebih tinggi dari Aroha yang hanya memiliki tinggi 162 cm. Bibir Aroha terkatup rapat, namun terlihat gelisah hendak mengatakan sesuatu namun nampak ragu. Hingga akhirnya kemudian… suara itu keluar juga dari mulutnya yang terbuka.
“Ayo menikah.” Ucap Aroha yang membuat seluruh tubuh Alvar rasanya membeku.