Pusaran Ingatan Jackie (2)

1737 Words
Aku menjalani hari-hariku bersama Rogie dengan penuh cinta, memang kasmaran secara harfiah. Bagaimana tidak? Kami bekerja di kantor yang sama, pulang bersama, tinggal di tempat yang sama (sementara ini aku tinggal di apartemen Roger sampai kami bisa membeli rumah tipe minimalis), lalu menghabiskan waktu istirahat bersama. Belum, kami belum merasa bosan satu sama lain, namanya juga pengantin baru. Aku mulai mengetahui hal-hal baru mengenai kebiasaan Roger yang tak kuketahui sebelumnya karena kami memang berniat tinggal bersama setelah menikah saja. Aku yakin Roger pun belajar banyak hal baru mengenai diriku. Tabungan kami masing-masing sebelum membuat joint account sebenarnya sudah cukup banyak, sehingga hanya butuh waktu beberapa bulan saja bagi kami untuk mewujudkan impian rumah baru itu. Kami sudah menandatangani pembelian rumah sekaligus mobil yang akan resmi kami tempati dan miliki tanggal dua Mei. Sejak dua bulan sebelumnya, kami sudah menyicil merapikan barang-barang kami. Mungkin, lebih tepatnya aku membantu Rogie membereskan barang di apartemennya karena barangku tidak terlalu banyak. “Biar aku saja angkat yang ini,” Roger menawarkan tenaganya saat aku berusaha membawa kardus penuh dengan pakaiannya. “Kamu ini bandel ya, kalau dibilangi.” “Bandel kenapa?” tanyaku pura-pura menantang balik. “Aku ‘kan sudah bilang, urusan angkat-angkat biar aku saja. Kamu cukup bantu-bantu merapikan atau menutup kardusnya dengan lakban.” “Hehe. Tapi aku suka jadi bandel.” “Memangnya kamu tidak sayang sama aku?” “Ya…. Sayang, dong.” Roger hanya memandangiku penuh sayang tanpa menjawab apa-apa lagi. Kami berdua disibukkan oleh barang-barang yang masih berserakan. “Eh…Jackie?” panggil Roger ragu-ragu. Tangannya memegang sebuah kotak kecil. “Ini barangmu?” “Oh, betul,” kataku penuh terima kasih seraya mengambil kotak itu dari tangan suamiku, “Astaga, aku sudah mencarinya beberapa hari ini, ternyata di sini.” “Memangnya itu apa?” “Cuma flashdisk,” sahutku enteng. Namun wajah bingung Roger seakan menuntutku jawaban lebih. “Well,” sambungku dengan malu-malu, “Sebenarnya aku mengerjakan proyek kecil-kecilan sejak sebulan yang lalu. Bukan permintaan klien luar, tapi ini cuma proyek kecilku yang mungkin bisa kulanjutkan saat aku nanti menjadi ibu rumah tangga purna waktu.” “Proyek tentang apa itu?” Aku otomatis nyengir. “Nanti kau akan kuberitahu.” “Tidak sekarang?” “Tidak sekarang.” Roger mencibir kecewa, pura-pura merajuk. Aku terkekeh melihat ekspresinya. “Kita masih punya banyak waktu untuk membahasnya Rogie, tidak usah manyun begitu. Saat aku benar-benar sudah mengundurkan diri dan punya banyak waktu di rumah nanti, kau akan melihatkan aku menghabiskan banyak waktu mengerjakannya.” Roger termangu sesaat. “Tapi kenapa mempersiapkannya sekarang? Kau bisa mulai nanti, ketika kita memang sudah benar-benar menginginkan anak. Kau hanya akan mengundurkan diri saat kita sudah merencanakan program kehamilan, ‘kan?” Wajahku memerah tanpa aba-aba. “Ya, betul. Hanya…mungkin saja… program itu terlaksana lebih awal? Siapa tahu, ‘kan?” Pria berambut coklat di depanku itu tersenyum tengil. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita merencanakan program anak kita dari sekarang?” Aku terkejut, gelagapan. “S…sekarang?” “Jangan langsung kaget begitu. ‘Kan punya anak perlu proses juga. Yang kita lakukan sekarang adalah merencanakan, yang juga butuh proses.” “Oh.” “Lagipula aku bisa melihat dari binar matamu, juga dari proyek kecil-kecilanmu, bahwa kau juga menginginkannya. Iya, ‘kan?” Aku tidak menjawab, namun kecanggunganku pasti terbaca lewat gerakan tanganku yang merapikan barang dengan semakin cepat. Roger tertawa terbahak-bahak lalu melanjutkan perkataannya. “Aku ingin kamu sehat-sehat, tidak stress, tidak kecapekan, makan makanan yang bergizi, supaya nanti kita bisa punya anak yang sehat juga. Nanti setelah kita pindah, kamu mengajukan surat pengunduran diri bekerja, bagaimana? Atau bisa sebulan lagi… April. Tapi ini tidak ada paksaan, kok. Kau bisa memikirkannya lagi masak-masak. Bagaimana?” Aku mengangkat wajah dan mendapati Roger sibuk mencermati wajahku, seakan-akan dengan mudah ia mengetahui isi hatiku yang berusaha aku pendam. Dan memang, perkataan Roger benar. Ya, tidak ada masalah, kan, kalau mempercepat saja? Toh, Roger juga selama masa pernikahan kami, menunjukkan tanggung jawab yang baik sebagai suami. Aku yakin dia nanti bisa menjadi ayah yang baik, dan mau belajar untuk itu. “Tapi setahuku, tidak hanya ibu yang sehat saja. Ayah juga harus sehat supaya nanti bayinya juga lahir dengan sehat,” kataku ikut-ikutan menilai. Roger mengecup ubun-ubunku. “Tentu saja, Jackie sayang, jangan khawatir. Aku akan mendaftar gym kalau kau mengizinkanku. Mungkin juga ke ahli gizi? Aku juga berjanji tidak tidak akan membawa-bawa urusan pekerjaan kantor ke rumah. Mungkin kita bisa mulai konsultasi ke dokter beberapa hari lagi. Bagaimana menurutmu?” Aku sungguh tak bisa menepis keinginan menggebu-gebu di hatiku yang terus dikipasi Roger, berapapun usahaku menutup-nutupinya. “Baiklah, Rogie.” *** Tampaknya apa yang sering dikatakan orang-orang itu benar, bahwa waktu akan berlalu begitu cepat saat kita bersama orang yang kita sayangi. Kurang lebih sebulan lagi, usia pernikahan kami genap satu tahun. Kehidupan kami terbilang sukses untuk pasangan muda menurut standar duniawi sekarang: sudah memiliki rumah sendiri, mobil sendiri, dan tepat tanggal empat September ini kehamilanku genap berusia tiga minggu. Sudah beberapa hari ini pula Louisa, gadis manis berusia dua puluh dua tahun, menemaniku di rumah dan membantu pekerjaan rumah tangga. Aku dan Roger memang sudah berniat mempekerjakan asisten rumah tangga saat aku mulai hamil, dan keberadaan Louisa sangat membantu. Louisa adalah gadis yang serba bisa dan cepat belajar. Ia juga rajin, ceria, dan cepat akrab dengan aku dan Roger. “Nyonya,” panggil Louisa ketika kami sedang di dapur. Saat hamil, aku memang meminta agar tetap bisa memasak, sedangkan sisanya adalah jatah kerja Louisa. Sore ini aku akan memasak ayam goreng tepung dengan garlic sauce dan barbeque sauce, telur orak-arik, serta salad untuk makan malam, sementara Louisa membantuku menyiapkan bahan-bahan masakan. “Iya, kenapa Lou?” tanyaku balik dengan perhatian masih tertuju pada ayam yang sedang kumarinasi dengan tepung dan rempah-rempah. “Saya perhatikan, Tuan sepertinya sangat sayang, ya, pada Nyonya,” kata Lou memuji. Ia memindahkan mentimun yang baru saja dipotongnya ke dalam mangkuk. Aku tersenyum senang, meski senyum itu tidak bisa dilihat langsung oleh Lou. “Ya, karena kami saling mencintai? Aku yakin jika pacarmu juga sama sayangnya padamu seperti Roger padaku.” Lou terkikik. “Saya… tidak punya pacar, Nyonya,” katanya sembari. “Saya mulai bekerja sejak usia sembilan belas tahun, dan sibuk dengan pekerjaan saya. Saya juga sedang fokus menabung, jadi kadang-kadang saya meminta pekerjaan tambahan pada majikan supaya tabungan saya cepat bertambah. Jadi… saya tidak punya banyak waktu untuk memikirkan untuk punya kekasih.” “Tapi pasti ada yang mendekatimu, bukan?” “Hmmm, memang ada,” sahut Loe malu-malu. “Tapi, tapi, dia itu lelaki yang kasar, Nyonya. Kalau sedang kehabisan uang, dia sering marah pada saya.” Aku menoleh serius ke arah Lou. “Wah, kalau begitu jauhi dia! Kau pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik.” Lou tersipu malu lagi. “Tapi, seperti yang saya bilang tadi, Nyonya, saya tidak tertarik memikirkan percintaan sekarang.” Aku mengamati Lou sejenak. Dengan paras seperti itu, kulit kencang yang masih muda, serta postur langsing namun montok pada area-area penting, maka mudah saja bagi Lou meluluhkan lelaki manapun. Terlebih cara bicara Lou yang manis serta sifatnya yang luwes pasti akan menaklukkan titik-titik lemah mereka. Hanya butuh sedikit rayuan dan sentuhan. “Meskipun sekarang kamu single, aku yakin kamu punya banyak mantan pacar dulunya,” candaku. “Kamu cantik dan manis, Lou.” “Ah, Nyonya bisa saja.” “Oh, ya, kalau saya boleh tahu, kamu sudah punya tiga orang mantan majikan bukan? Apa kau berpindah setiap satu tahun? Apa alasannya?” “Tidak persis tiap satu tahun, Nyonya. Ada yang lebih singkat dari itu. Ah, ini sayur yang sudah saya potong-potong, Nyonya.” Aku menerima mangkuk sayur itu dengan anggukan. Lou melanjutkan, “Majikan pertama saya sebagai asisten rumah tangga itu memberikan pekerjaan jauh lebih banyak dibandingkan gaji saya, Nyonya. Tapi saya bertahan hingga satu tahun, supaya nanti dia memberikan saya surat rekomendasi yang layak. Setelah satu tahun lebih dua bulan, saya berhenti dan berpindah ke majikan kedua. Pada majikan kedua ini…” Lou tampak menerawang jauh dengan mata penuh kekecewaan. “…Beliau memfitnah saya mencuri barang keluarga, Nyonya, jadi saya berhenti bekerja di sana setelah dua bulan. Penyaluran saya sebagai asisten juga tertahan karena kasus ini. Untungnya penyelia saya bersikeras agar kasus ini diselidiki sampai tuntas dan saat itu ketahuan bahwa bukan saya pencurinya, melainkan anak majikan saya sendiri. Yayasan kami menuntut ganti rugi atas pencemaran nama baik, dan mereka diharuskan menulisi saya surat rekomendasi yang menyertakan kesalahan mereka pada saya. Wah, penuh drama sekali saat itu.” Suara Lou diselingi oleh bunyi letup-letup minyak panas dari wajan Jackie yang menggoreng ayam. “Saya beruntung sekali. Majikan saya yang ketiga, menerima saya apa adanya dan paham dengan kondisi saya dengan majikan sebelumnya. Penyalur yayasan juga membantu menjelaskan pada majikan ketiga ini. Beliau orang yang baik, sama seperti majikan pertama saya.” “Lalu kenapa kamu berhenti bekerja dengannya?” Lou menyeringai memamerkan giginya, tersenyum canggung. “Karena saya hanya pengganti sementara, Nyonya. Majikan ketiga saya sudah punya asisten namun sedang ada urusan keluarga mendesak sehingga dia harus absen bekerja selama enam sampai tujuh bulan. Majikan saya tidak ingin memberhentikan dia, sehingga beliau hanya memberi dia cuti tanpa upah. Jadi selama enam bulan lebih itu, dia digantikan oleh asisten sementara. Sayalah asisten sementara itu.” Aku mengangguk kecil selagi mataku masih terpusat pada wajan. “Nah, bagaimana dengan sekarang? Apa kau berniat bertahan dan terus bekerja di tempat kami?” Pertanyaanku memang menjebak. Namun Lou menjawabnya dengan lihai pula. “Nah, itu saya tidak bisa langsung putuskan, Nyonya. Saya baru beberapa hari di sini, bukan? Sama seperti penilaian Nyonya terhadap saya yang masih bias, karena saya juga baru beberapa hari di sini. Kita baru bisa saling mengenal dan menilai masing-masing setelah beberapa bulan.” Aku tertawa seraya membalik ayamnya di penggorengan. “Baiklah.” Satu hal yang kupelajari dari percakapan singkat sore itu adalah: Louisa adalah gadis yang tak hanya luwes dan memikat, tapi juga cerdas. Untuk sesaat, rasanya aku samar-samar kembali melihat ruangan eksekusinya di antara ragam warna kilasan ingatan yang diselimuti kabut. Memori berputar di dalam kepalaku, dan entah kenapa, aku begitu bersikukuh ingin menikmati seluruh siaran ulang itu lagi. Aku bertahan sekuat tenaga menahan rasa kantuk dari suntikan pertama. Melawan anestesi yang sudah menjalari setiap senti organ dalam. Tubuh Jackie terasa lemas, dan nyaman… Kelopak mataku mulai menutup tepat ketika sebuah sentuhan lembut sekali lagi terasa di lengan dalamku. Artinya, petugas medis tadi hendak memberikan suntikan kedua: suntikan paralisis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD