Siang itu adalah salah satu siang yang panas di pertengahan bulan Maret, penanda masuknya musim panas. Jackie setengah berbaring di kursi malas ditemani Louisa yang memijat-mijat lengan kirinya. Jackie merasa suasana hatinya sangat buruk. Tak hanya karena pengaruh hormonal, pinggul yang sakit karena dobel berat (karena Jackie ternyata mengandung anak kembar dan sebentar lagi memasuki bulan ketujuh), kelelahan yang berkepanjangan, namun juga karena suhu tubuhnya yang meningkat drastis. Kenaikan suhu tubuh adalah hal yang wajar pada ibu hamil, namun karena semua penderitaan itu dikombinasikan karena kegerahan awal musim panas, Jackie merasa tak tahan.
Jackie juga merasa mudah tersinggung dan lebih peka dibandingkan dirinya saat kondisi normal. Ketika ia lupa melakukan sesuatu, ia tiba-tiba saja menangis. Louisa sepertinya paham dengan kondisi Jackie yang langsung menenteramkan majikannya itu, begitupula suaminya, Roger, yang mulai dengan rajin menjelajahi di browser tentang “gejala ibu hamil”, “kebutuhan di usia kehamilan trimester ketiga”, dan “menjadi ayah baru”. Roger tidak pernah komplain mengenai apapun tentang Jackie. Suatu kali, ketika Jackie tidak sengaja menghanguskan masakannya dan ini membuatnya menangis berjam-jam. Roger tidak marah, malah memeluknya dan menyarankan agar tugas memasak juga diambil alih Lou. Tapi saran ini juga membuat Jackie tersinggung, karena bila ia tidak melakukan apapun, lalu Roger bisa berharap apa darinya? Setidaknya ia ingin Roger tetap menikmati hasil buatan tangannya. Ataukah Roger tidak sayang lagi padanya?
Begitulah kira-kira kepelikan suasana hati Jackie. Dan di siang yang panas ini, kondisi hatinya tidak bisa lebih baik lagi.
Untunglah ia selalu dibantu Louisa dan gadis itu mampu memahaminya. Roger sering pulang malam beberapa bulan terakhir, bahkan beberapa malam ia tidak pulang karena mencari proyek tambahan atau lembur. Sejak mengetahui hasil USG mereka beberapa bulan lalu, keduanya telah menyiapkan hati bahwa melahirkan, menanggung, dan membesarkan anak kembar bukankah hal mudah. Biaya melahirkan di zaman sekarang juga tidak sedikit, apalagi bila mereka menginginkan perawatan terbaik bagi Jackie dan kedua bayi. Oleh sebab itulah, Roger meminta izin pada Jackie agar ia bisa lembur dan mencari tambahan penghasilan supaya mereka siap secara finansial di hari persalinan nanti. Jackie setuju, namun konsekuensinya adalah absennya Roger di beberapa malam. Namun, Roger biasanya mengusahakan pulang meski terlambat.
Begitulah, Jackie sering tidak mendapati Roger saat pria itu pulang ke rumah. Roger sampai di rumah lewat tengah malam, dan bahkan makan malamnya dipanaskan oleh Louisa yang memang mesti siap siaga sebagai asisten di rumah. Satu-satunya waktu dimana Jackie bisa merasakan kehadiran Roger adalah saat ia bangun tidur dan mendapati suaminya itu di sampingnya, tidur dengan nyenyak.
Jackie menghela napas. Sungguh, ia menginginkan yang terbaik bagi bayinya, dan dia tidak menyalahkan Roger yang ingin mempersiapkan keuangan mereka dengan baik. Namun, dengan perubahan mood dan lelah yang ia rasakan karena kehamilan membuat Jackie menginginkan kehadiran suaminya lebih sering, dan lebih dekat. Kantong-kantong emosionalnya ingin diisi oleh kasih sayang Roger –ia ingin dimanjakan.
Tapi apa daya Jackie? Situasi memang serba sulit, dan ini semacam trade-off yang harus mereka berdua tanggung sebagai pasangan suami istri.
Sekali lagi wanita itu menghembuskan napasnya, yang disadari Lou. Gadis itu masih memijat lengan kirinya dengan lembut.
“Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Anda, Nyonya?” tanya Lou dengan wajah pengertian.
Jackie melirik Lou sedikit, sambil tersenyum. Ya, untunglah ada Lou. Tak hanya beban pekerjaan rumah tangganya yang terangkat, tapi juga di saat-saat seperti ini dia masih memiliki teman bicara.
“Tidak ada, Lou. Terimakasih sudah bertanya,” sahut Jackie.
Lou merapatkan kedua bibirnya, seperti ragu-ragu. “Hmm… apa mungkin Nyonya merasa kesepian akhir-akhir ini? Karena Tuan sering pulang terlambat dan lembur?”
Mata Jackie cepat menatap Louisa kembali. Sekali lagi, Jackie disadarkan bahwa gadis muda di depannya ini adalah gadis cerdas yang bahkan dengan mudah menebak isi pikirannya.
“Kau benar, Lou. Tapi tidak apa-apa. Aku masih punya kau di sini, ‘kan?”
Lou tidak menjawab, hanya tersenyum kecil. “Saya pindah ke lengan kanan Nyonya, ya?”
Tanpa menunggu jawaban Jackie, Lou sudah berpindah posisi dan mulai mengurut lengan kanan.
“Saya belum pernah berada di posisi Nyonya, namun saya bisa memahami perasaan Nyonya sekarang,” lanjut Lou tanpa berkontak mata langsung dengan Jackie, melainkan terus mengamati lengan Jackie. “Tapi Nyonya jangan sampai bersedih hati, ya? Ini hanya untuk sementara, dan begitu pekerjaan Tuan selesai, Tuan akan pulang lebih cepat. Nyonyalah yang akan menyambut beliau setiap malam seperti biasa, bukan saya lagi,” jelas Lou dengan suara menenteramkan.
Penjelasan Louisa memberi ketenangan pada hati Jackie, membuat dia memegang lengan gadis itu erat. “Terimakasih, Lou.”
“Nyonya pasti lebih tahu ‘kan daripada saya, bahwa suasana hati seorang ibu akan mempengaruhi bayinya? Jika Nyonya sering bersedih, bayi Nyonya juga nanti akan jadi sedih.”
Jackie dapat membayangkan itu. “Ya, kau benar.”
“Saran saya, Nyonya bisa bertemu teman-teman Nyonya supaya tidak merasa terlalu sepi dan suntuk. Biar saya yang menjaga dan mengurusi rumah ini siang dan malam. Nyonya tentu punya teman dekat, bukan?”
Jackie tersenyum menyeringai. “Yah, aku bukan orang yang begitu pandai bergaul. Aku tidak punya banyak teman dekat. Hanya satu.”
“Nah, itu sudah cukup!” sambut Lou ceria. “Nyonya bisa pergi keluar dengan teman dekat Nyonya itu, bertukar cerita, pasti akan membuat perasaan buruk Nyonya jauh berkurang. Nyonya juga akan merasa lebih segar.”
Jackie memikirkan usulan tersebut. Kedengarannya memang usul yang menarik.
“Terimakasih, Lou, usulmu sangat bagus. Kupikirkan dulu, ya?”
***
Jackie mengarahkan kipas angin portable ke dekat lehernya. Sejuk, namun hanya di leher, dan tidak cukup untuk mengatasi hawa panas yang sudah membasahi sekujur tubuh. Café tempat Jackie berada padahal sudah memiliki kipas angin yang terpasang di langit-langit, namun sepertinya mereka perlu memasang AC.
“Hai, Jackie! Lama menunggu?” sapa seorang pria berambut keriting kecil-kecil dari kejauhan. Pria itu berlari-lari kecil mendekati Jackie.
“Hai, Ben,” sambut Jackie. “Baru, kok.”
“Wah, sepertinya hari bersalinmu makin dekat, ya?” tanya Ben seraya meletakkan tas selempangnya di kursi. Matanya tertuju pada perut Jackie yang besar.
“Aku tidak sabar ingin disapa Uncle!”
Jackie tertawa. “Masih lama, Ben, butuh waktu satu tahun lagi sampai mereka menyapamu begitu. Nah, bagaimana denganmu? Tidakkah kau ingin dipanggil Papa?”
“Tentu saja,” sahut Ben dengan wajah penuh rasa ingin, matanya menerawang sesaat sebelum kembali tertuju pada Jackie dengan pandangan penuh arti. “Tapi mau bagaimana lagi, belum menemukan yang cocok, ‘kan? Aku bahkan belum menemukan seseorang yang ingin memanggilku ‘Honey’.”
Jackie bersimpati, lalu menepuk bahu Ben. “Kau ini ganteng, Ben. Jangan putus asa begitu. Yang perlu kau lakukan hanyalah menunjukkan daya tarikmu.”
Ben terkekeh. “Tapi, Jackie, benar Roger bilang tidak apa-apa?”
“Soal…?”
“Soal kau menghabiskan waktu denganku di sini.”
“Benar,” Jackie meyakinkan. “Jangan cemas. Roger sepertinya juga paham betapa mengerutnya duniaku sejak menjadi ibu rumah tangga. Dia juga tidak ingin aku dan bayinya jadi stress.”
Ben terkekeh, lalu memanggil waiter.
Memang, Jackie sudah bertemu dengan Ben beberapa kali dalam seminggu selama sebulan terakhir. Ia menerima usul Lou tentang bertemu teman dekat agar merasa lebih baik, dan memang setelah sebulan melakukannya, Jackie sungguh merasa lebih positif daripada sebelumnya. Tentu saja, dia sudah meminta izin Roger tentang hal ini dan Roger tidak mempermasalahkannya.
“Mengapa tidak, asalkan itu membuatmu senang. Lagipula aku sudah kenal Ben cukup lama,” begitu respon Roger saat Jackie menanyai suaminya soal usul Lou tersebut.
Tentu saja, Jackie hanya meminta bertemu Ben saat Ben tidak sibuk menulis artikel-artikelnya.
“Oke kalau begitu,” kata Ben masih pesimis, “Tapi aku tidak ingin disalahkan jika suatu saat Roger cemburu, ya?”
Ben tertawa, begitu pula Jackie. Keduanya lalu memesan minuman sebelum melanjutkan obrolan.
***
Jackie tersenyum mengenang pertemuan dengan Ben kala itu, meski masih setengah sadar merasakan cairan dari suntikan kedua masuk dan tubuhnya mulai mati rasa. Dia merasa seolah-olah pikiran dan jiwanya terlepas dari setiap anggota tubuhnya –menjadi entitas-entitas yang berbeda. Bagaikan dilepas dari beban yang berat, Jackie mendapati ternyata jiwa dan pikiran hanya seringan bulu. Betapa mudahnya melepas tubuh ini!
Sebuah ingatan tiba-tiba masuk, menyerobot perasaan ringan Jackie. Sebuah ingatan tajam yang bila saja ia ingat kembali, seharusnya menjadi petunjuk awal baginya. Amarah mendadak mendidih dalam tubuhnya yang tak berdaya.
Malam itu bulan April, masih di musim panas. Saat itu sudah pukul setengah dua belas, namun Jackie masih belum bisa memejamkan mata sedikitpun sejak satu jam lalu. Hawa gerah yang menyelubunginya membuatnya terus mengubah posisi di tempat tidur, berbalik ke kiri dan ke kanan. AC di kamarnya sudah pada suhu yang rendah, namun sepertinya tidak ada pengaruh sedikitpun pada kesejukan ruangan itu. Jackie merasa tak sanggup lagi dan memutuskan untuk pergi ke dapur untuk mengambil minum.
Jackie menuruni tangga ke lantai satu, lalu berjalan menuju dapur yang bersisian dengan kamar Lou. Ia menyalakan lampu, membuka kulkas, lalu mengambil botol air dari dalamnya dan sebuah gelas dari rak.
Begitu Jackie meneguk air dingin yang telah ia tuangkan ke gelas, rasa segar seakan menyirami dirinya. Perlahan-lahan Jackie terus meneguk air es itu sambil menikmati kenyamanan yang menyerbu kerongkongannya. Matanya nyalang dan pendengarannya kembali tajam.
Saat sedang melamun memegangi gelas airnya, Jackie mendengar kasak-kusuk teredam. Suara itu hilang sejenak, kemudian terdengar kembali. Sebelum Jackie menyadari asal suara itu, terdengar suara gedebuk jatuh dari arah yang sama –kamar Louisa.
Jackie segera bergerak menuju pintu Louisa dan mengetuk.