Harus Berapa Kali Aku Harus Mengakui Aku Ini Bodoh?

1978 Words
“Lou? Lou? Kau baik-baik saja?” Terdengar kasak-kusuk lagi disertai gerakan mendekati pintu dan membuka kuncinya. Begitu pintu membuka, Jackie tidak bisa melihat apapun dari kamar Lou –atau lebih tepatnya matanya masih menyesuaikan karena kamar Lou agak gelap. Hanya ada satu penerangan dari tirai yang terbuka sedikit. Namun meski kamarnya gelap, penampilan Lou jelas terang-benderang di bawah cahaya lampu dapur, membuat Jackie agak terkesiap. Rambutnya tergerai acak-acakan, tubuhnya sempoyongan, sementara tangannya berusaha menahan tubuh yang tidak stabil itu dengan berpegang kuat pada handel pintu. Bagian bawah gaun tidurnya yang seharusnya menutupi hingga lutut tampak terangkat, yang cepat-cepat dirapikan gadis itu dengan kepala tertunduk malu. Tiga kancing gaun bagian leher Lou yang juga tidak terpasang, tidak luput dari penglihatan Jackie. “Duh, maaf Nyonya. Apa Nyonya terbangun karena saya?” tanya Lou sembari berusaha menegakkan lututnya yang gemetar. “Saya baru saja bermimpi buruk, lalu tahu-tahu saya sudah jatuh dari tempat tidur! Sampai berguling! Astaga sakit sekali,” kata gadis itu menekan-nekan belakang kepalanya. “Kau begitu berantakan,” komentar Jackie. “Apa kau baik-baik saja? Kepalamu sakit sekali? Mau kubawakan kompres?” “Hanya sakit sedikit, Nyonya, tidak apa-apa,” kata Lou. Gadis itu mengangkat lengannya untuk menguncir rambutnya yang tergerai dengan buru-buru, membuat lekuk dadanya terekspos. “Apa kau memang terbiasa tidak mengancingkan gaunmu saat tidur?” tanya Jackie blak-blakan dengan tatapan tak nyaman langsung ke pusat masalah. Ia tidak terbiasa dengan penampilan Lou yang acak-acakan dan terkesan ‘tidak senonoh’ seperti itu, karena sehari-hari ia selalu melihat Lou memakai pakaian sopan dan rapi. Tapi dalam hati ia hanya memaklumi karena jika bila memang jatuh dari tempat tidur, siapa pun pasti tidak akan terlihat rapi, termasuk dirinya sendiri. “Maaf sekali lagi, Nyonya,” gadis itu memasangkan ketiga kancing gaun malamnya, sekali lagi dengan begitu tergesa-gesa meski tidak ada alasannya bersikap begitu. “Suhu musim panas ini sangat membuat gerah, saya hanya ingin tidur dengan nyaman saja.” Jackie mengangguk kaku. “Baiklah, asalkan kamu berpakaian rapi dan sopan saat di luar kamarmu.” Sekali lagi gadis itu minta maaf. “Ya sudah, tidurlah kembali. Aku juga akan tidur. Selamat malam, Lou.” “Selamat malam, Nyonya.” Setelah minum air es tadi, suhu tubuh Jackie menurun pada titik nyaman sehingga ia dapat terlelap. Entah berapa lama, satu atau beberapa jam, ia kembali terbangun saat mendengar bunyi ceklek dari pintu. “Roger,” gumam Jackie tak jelas. Jackie memutar tubuhnya dengan susah payah. “Kapan kau pulang?” tanyanya menggosok-gosok mata sambil melirik jam. Ternyata sudah jam dua pagi. “Hei, tidurlah kembali,” Roger menenteramkan sambil mencium kepala istrinya itu. “Kita istirahat sama-sama.” “Tapi… kau sudah makan?” “Belum.” “Aku masakkan sesuatu, ya?” “Hei, jangan,” kata lelaki itu lagi lembut. “Mana tega aku mengganggu istirahatmu? Aku baik-baik saja, tidak begitu lapar. Aku juga tidak ingin membangunkan Lou karena ini sudah dini hari. Kita istirahat saja, yuk?” “Baiklah. Oh, ya, Rogie, kamar kita sangat panas rasanya. Apa mungkin AC kita rusak?” “Benarkah?” tanya Roger yang sibuk berganti pakaian. “Apa tidak dingin?” “Sama sekali tidak,” jawab Jackie. “Aku sama sekali tidak bisa tidur.” Roger tidak berkata apa-apa, alih-alih ia mencium kepala Jackie sekali lagi. “Maafkan aku, ya. Aku memang suami yang tidak peka.” Jackie terkejut dan bingung dalam kantuknya. “Rogie, kenapa bilang begitu?” Roger menghempaskan tubuhnya ke kasur dan memandang wanita yang dicintainya itu dengan cermat. “Pasti sulit bagimu tinggal di rumah hanya ditemani Louisa. Aku jarang sekali ada bagimu. Dan sekarang, aku tidak bisa menyediakan kenyamanan untukmu bahkan untuk tidur.” Jackie mencubit pipi Roger. “Tidak apa-apa. Kita tidak punya pilihan, ‘kan, soal lembur dan tambahan kerjaan itu? Kita memang butuh uang lebih banyak untuk membesarkan anak kembar dibandingkan satu orang anak saja. Aku tidak begitu kesepian karena kau sudah mempekerjakan Lou di rumah kita, dan aku sangat bersyukur dengan kehadiran Lou. Kau fokus pada pekerjaanmu saja, ya?” Roger mengangguk manis. “Besok aku akan memanggil tukang servis AC. Aku akan izin sebentar untuk menemani tukang itu. Jadi kita bisa bersa—hei, bukankah besok jadwal konsultasi ke dokter?” Jackie mengangguk. “Betul.” “Astaga, aku benar-benar lupa!” “Hmm, bagaimana kalau tukang servisnya kau panggil besok lusa saja?” “Tapi itu artinya kau akan melewatkan satu malam lagi dengan kegerahan, aku tidak suka itu,” ujar Roger bersikeras. “Besok aku akan mengajukan cuti saja supaya aku bisa mengantarmu ke dokter dan setelah itu kita panggil tukang servis.” Jackie menggeleng pelan. “Jangan. Jangan korbankan pekerjaanmu. Bukankah kau sudah bersusah payah lembur, Sayang? Kalau kau cuti, bagaimana dengan pekerjaan yang mesti kau selesaikan? Aku bisa ke dokter sendirian besok.” “Tapi—” “Percayalah. Aku akan baik-baik saja. Aku bisa naik taksi.” Roger memandang Jackie. “Maafkan aku sekali lagi.” “Tidak apa-apa. Ayo, kita tidur.” “Besok aku akan memesankanmu taksi, ya?” “Oke, Rogie.” Roger membelai rambut Jackie, membuat Jackie merasa nyaman. Tapi pada saat bersamaan, Jackie mencium aroma wangi familier selain aroma parfum Roger. Namun ia tidak tahu pasti aroma wangi apa itu. *** Entah karena hanya perasaan sensitif Jackie atau memang benar adanya begitu, Roger terasa jauh darinya beberapa minggu menjelang persalinan. Berulang kali Jackie meyakinkan bahwa itu perasaannya –atau bila memang iya, mungkin Roger bersikap begitu karena tekanan pekerjaan. Jackie tidak bisa banyak membantu. Satu-satunya hal yang membawa Roger kembali pada dirinya yang dulu adalah kelahiran si kembar, Robbie dan Rossie, pada tanggal dua puluh Mei. Cahaya hangat seorang ayah berbinar dari mata Roger saat menimang kedua anaknya. Proses persalinan berjalan cukup lancar dan dihadiri oleh kedua pihak keluarga di rumah sakit, Paman Roger dan kedua orangtua angkat Jackie. Orangtua Jackie membantu mengurusi Jackie dan menyiapkan kebutuhannya –selain dibantu Louisa juga, tentunya. Louisa bertugas untuk mengantarkan barang dan baju ganti sekaligus membawa pakaian kotor ke rumah untuk dicuci. Paman Roger membantu sedikit biaya untuk keperluan si kembar, yang disambut pasangan itu penuh rasa terimakasih. Mereka merasa begitu beruntung. Jackie hanya dirawat sekitar lima hari di rumah sakit, sebelum akhirnya diperbolehkan pulang. Sejak kelahiran si kembar, Louisa jadi memiliki tambahan pekerjaan: mencucikan pakaian kotor bayi, mensterilkan botol s**u, dan memasak. Tugas Jackie semata-mata hanya mengurusi kedua bayinya saja dan menyusui. Jackie telah sepakat dengan Roger soal kenaikan gaji Louisa. Awalnya Jackie sempat khawatir bahwa tambahan pekerjaan ini akan menyusahkan Louisa dan membuat dia tertekan. Tapi kekhawatiran Jackie sepertinya tidak terjadi –Louisa tampak semakin sumringah dan makan lebih lahap daripada biasanya. Alih-alih kurus, Louisa menjadi lebih berisi daripada sebelumnya dan tampak bercahaya. Sepertinya berada di keluarga yang baru memiliki bayi membuat Louisa lebih semangat –beberapa kali Jackie melihat gadis muda itu memandang Robbie dan Rossie penuh sayang saat mereka sedang tidur. Ah, kepolosan bayi memang bisa menaklukkan hati semua orang. Hingga si kembar berusia dua belas minggu, Jackie sama sekali tidak menyentuh pekerjaan rumah tangga. Namun Jackie bisa merasakan kekuatannya berangsur pulih, selain juga ia tak banyak kerjaan karena si kembar banyak menghabiskan waktunya untuk tidur. Seminggu kemudian, dia memutuskan untuk mengambil alih tugas memasak seperti dulu. “Lou,” panggilnya ketika Lou asyik memandangi bayi-bayi yang terlelap itu. Lou memang baru saja membantu menggantikan popok mereka. “Nyonya, lihatlah jari-jari mereka,” kata Lou tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun dari si kembar. “Begitu mungil dan lucu.” “Benar. Lou, ada yang harus aku bicarakan denganmu.” Kali ini Lou memandangi Jackie sepenuhnya. “Ada apa, Nyonya?” “Aku berniat mengambil alih tugas memasak. Kau tetap mengerjakan pekerjaan lainnya, ya? Jangan khawatir, gajimu akan tetap seperti tiga bulan ini.” Lou membelalak –ekspresinya sulit dibaca, antara kaget atau cemas. “Tapi… apakah Nyonya akan baik-baik saja?” “Ya, aku sudah mendapatkan tenagaku berkat istirahat yang cukup dan bantuan darimu.” Lou terdiam. “Apakah suatu saat nanti tugas saya hanya akan kembali mengurusi rumah tangga? Dan gaji saya dikembalikan seperti semula?” Jackie sama sekali tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti ini. “Lou, aku tidak bisa menjamin apapun saat ini. Aku hanya fokus membesarkan Robbie dan Rossie saja. Namun ya, aku berniat mengembalikan gajimu sesuai nilai semula dan tugasmu hanya pekerjaan rumah tangga saja. Kau tahu, membesarkan anak kembar butuh biaya ekstra pula. Jadi aku tidak bisa mempertahankan kenaikan gaji yang sekarang.” Lou tidak menjawab, namun wajahnya jelas menunjukkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu. “Tapi kita tidak tahu masa depan, ‘kan?” Jackie mencoba menghibur. “Bisa jadi nanti keadaan ekonomiku dan Roger meningkat di masa depan, sehingga kami bisa menaikkan gajimu kembali. Lagipula kurasa, kau juga butuh banyak istirahat, Lou. Tiga bulan mengurusi rumah, diriku, dan bayi-bayiku, bukanlah hal yang mudah.” Lou masih terdiam, sebelum akhirnya ia mengangguk sopan dan tersenyum. “Terimakasih atas kebaikan Anda, Nyonya.” Hari-hari berikutnya, dapur kembali menjadi tempat rutin Jackie. Dalam kurun waktu seminggu ia kembali mendapatkan ketangkasannya dalam memasak. Ia ingin Roger makan dengan baik dan dengan porsi lebih banyak. Roger memang sudah tidak sesibuk dulu, tapi sesekali dia tetap mengusahakan mendapatkan tambahan pekerjaan. Satu hal yang juga kembali normal adalah kehangatan Roger yang bertahan sejak persalinan. Namun ada satu yang Jackie rasakan agak berbeda, yaitu sikap Louisa. Entah karena dia tak lagi mengerjakan pekerjaan sebanyak biasanya, Louisa tampak murung dan gelisah. Tapi mana mungkin? Apalagi Jackie dan Roger belum berniat menurunkan gaji Louisa ke semula. Dari perbincangan sebelumnya, Jackie jelas-jelas menegaskan bahwa gaji gadis itu akan diturunkan ke nominal awal hanya ketika Louisa ditugaskan untuk pekerjaan rumah tangga saja. Seharusnya, itu tidak jadi masalah. Di suatu pagi buta, Jackie yang baru saja menyusui dan menidurkan Robbie dan Rossie, terkejut tatkala ia tidak mendapati Louisa di manapun di dalam rumah itu. Jackie mengitari setiap sudut dalam rumah, dan mengetuk pintu kamar Lou –mengira gadis itu kelelahan sehingga tertidur, namun pintu itu tak terkunci. Begitu dibuka, kamar Lou kosong tanpa penghuni: bersih, rapi. Jackie panik. Kemana perginya Louisa? Apa dia pergi ke supermarket subuh-subuh begini? Jackie membuka pintu depan yang juga tak terkunci dan bukannya mendapati Louisa di luar, alih-alih ia menemukan Roger tengah duduk di kursi goyang di teras depan sembari menikmati kopi. Di tangannya ada segulung surat kabar. “Pagi, Sayang,” sapa suaminya itu santai. “Ada apa kamu terbangun pagi sekali begini? Kamu seharusnya istirahat dan tidur nyenyak jam segini.” Jackie tersenyum sedikit. “Mana Lou? Apa kau melihatnya, Rogie? Kamarnya kosong dan bahkan rapi sekali. Dan tunggu… kapan kau pulang?” “Pagi ini,” ujar Rogie. Lelaki itu menyesap kopinya sedikit lalu melanjutkan, “Aku pulang menjelang pagi, dan aku sudah mengajukan cuti dua hari ini karena proyek timku sudah selesai, begitu pula lemburku. Nah, saat aku pulang tadi, Lou mendatangiku untuk meminta izin pulang kampung secepatnya.” “Ada apa dengan Lou?” “Keluarganya sakit,” jawab Roger dengan prihatin. “Kasihan gadis itu. Dia terlihat begitu panik dan sedih.” “Siapanya yang sakit?” tanya Jackie lagi. “Ayah? Ibu? Saudara?” Roger menatap Jackie dengan senyum lemah. “Aku tidak sempat menanyainya, Sayang. Ia terlihat begitu terburu-buru. Bahkan saat meminta izin, dia sudah menyiapkan koper pakaian dan perbekalannya pulang.” “Oh,” sahut Jackie singkat. Ia paham bagaimana tidak enaknya bagi Rogie untuk menanyai seseorang yang sedang sedih. “Nah, untuk sementara waktu, aku akan bantu kamu bersih-bersih rumah, ya? Yah… mungkin tidak bisa setiap hari, tapi aku akan ada di tiap akhir pekan. Pakaian kotor akan kubawa ke laundry saja, tidak apa-apa, ‘kan? Aku tak akan sempat mencuci pakaian dengan mesin cuci rumah mengingat jadwal kantorku yang panjang. Untuk makanan, aku tidak bisa memasak sama sekali. Tapi aku bisa memesankan kita berdua makanan setiap hari. Aku jamin enak dan bergizi,” jelas Rogie sambil mengangkat jempolnya. Jackie tertawa. Dalam hatinya, ia bersyukur memiliki Roger.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD