Kepergian Louisa ke kampung halamannya rupanya lebih lama daripada yang kuduga. Sudah dua bulan ini Roger memiliki jadwal teratur membersihkan rumah di akhir pekan, membawakan pakaian kotor ke laundry setiap sore sekaligus mengambil pakaian bersih, dan memesankan makanan tiga kali dalam sehari. Jackie bersikeras bahwa ia mungkin sudah bisa mengerjakan pekerjaan rumah, tapi Roger lebih keras kepala lagi.
“Aku tidak ingin kamu mengerjakan apapun yang berat-berat selama enam bulan pertama.”
“Tapi aku memasak!” tantang Jackie.
“Yah, aku memang sudah melarangmu berkali-kali soal memasak, tapi kamu tidak mau, ‘kan? Jadi aku menyerah soal itu. Lagipula itu hobimu dan tidak seberat mengepel rumah dua lantai.”
“Tapi—”
“Tidak, Jackie,” kata Roger serius, namun pada saat bersamaan memonyongkan mulut dengan canda. “Aku ingin anak-anak kita mendapatkan ASI eksklusif di enam bulan pertama, oke?”
Jackie membenarkan pendapat Roger dalam hati. Namun baru saja ia hendak bersuara, tiba-tiba terdengar bunyi bel dari arah depan. Dengan cepat Jackie segera membukakan pintu. Ia tercengang.
Louisa, dengan berat badan turun drastis, berdiri di depannya. Posturnya ceking, wajahnya pucat seperti baru saja pulih dari sakit, dan sekujur tubuhnya gemetar.
“Lou!” sambut Jackie seraya memeluk gadis itu “Bagaimana keadaanmu? Astaga, kamu kurus sekali! Apa sakit keluargamu begitu berat? Kau juga harus memikirkan kesehatanmu, Lou!”
Jeritan Jackie membuat Roger ikut berlari kecil menyongsong ke pintu depan.
Lou melepas pelukan Jackie dengan canggung, lalu tersenyum tipis. “Terimakasih Nyonya dan Tuan, sudah memberi kesempatan saya untuk pulang merawat…eh, keluarga saya. Saya baik-baik saja, Nyonya, dan saya siap bekerja seperti biasa.”
Dari cara bicara Lou, Jackie merasa ada baiknya tidak terus mengajak gadis itu membicarakan tentang keluarganya karena Lou jelas menghindari topik itu. Sementara itu Roger, yang berdiri di belakang Jackie, mengawasi kedua wanita yang berbincang itu dengan mata penuh selidik.
“Oke, masuklah,” ajak Jackie seramah mungkin. “Kamu perlu makan dulu. Robbie dan Rossie juga sudah sangat merindukanmu.”
Jackie merasa dirinya menduga dengan cukup tepat tentang kondisi Louisa, sebab baru beberapa hari sejak kembali, gadis itu mendapatkan kembali keceriaannya dan keluwesannya yang dulu. Tubuh kurusnya kembali langsing memikat seperti semula, dan tidak ada lagi gemetar ringkih seperti saat ia muncul di depan pintu waktu itu. Lou bagaikan bunga yang mekar kembali.
Louisa juga tampak lebih ceriwis dan banyak bertanya, baik pada Jackie maupun Roger, mengenai perkembangan Robbie dan Rossie. Sepertinya ia begitu rindu pada si kembar dan merasa telah melewatkan tahapan kehidupan penting si kembar, sampai-sampai ia takkan melewatkan waktu bermain dengan mereka sedetikpun. Walaupun saat itu sudah ada Roger atau Jackie yang menemani mereka, Louisa akan melompat menghampiri mereka sesibuk apapun ia saat itu. Robbie dan Rossie juga tampak mengenali wajah dan suara yang familiar itu kembali dan mau mendekati Louisa, serta tertawa-tawa dengan gadis itu.
Berbicara tentang hal familiar, Jackie merasa seakan teringat sesuatu. Sesuatu yang seharusnya ia ketahui dan sadari, namun luput dari perhatiannya.
***
Sejak dulu, aku ini memang bodoh. Aku terbiasa hidup bersama orangtua angkat yang memiliki tangki kasih sayang yang penuh, yang seutuhnya dicurahkan padaku, satu-satunya anak mereka. Aku tidak mengenal kehidupan yang keras maupun percintaan yang menyakitkan karena kecukupan kasih sayang yang kudapat. Aku sama sekali tidak menyalahkan orangtuaku karena itu. Tapi karena itu, aku jadi kurang memahami –dan cenderung mengabaikan –ketika orang-orang sekitarku tidak mendapatkan apa yang aku peroleh dengan mudah.
Rekan kerjaku banyak yang berpisah dengan pasangannya karena pasangan mereka selingkuh. Ada kasus perceraian di lingkungan tempat aku tinggal, meskipun tidak banyak. Berita-berita yang berseliweran di media massa tentang kasus rumah tangga juga tiada henti-hentinya. Kasus penipuan, pembunuhan…. Kita bahkan sudah terlalu muak dan lelah karena berita seperti itu mengalir seperti air. Setiap jam, selalu ada satu kejadian.
Apakah aku minim empati? Tidak, tidak sama sekali. Aku punya nurani. Aku memiliki rasa iba itu. Tapi aku tidak cukup bisa memahami apa yang mereka rasakan karena aku sendiri tidak pernah merasakannya. Aku terlalu naif bahwa hal seperti itu mengira hal itu akan terjadi pula padaku.
Lagi-lagi ini salahku. Orang tidak mesti kemalingan terlebih dulu, ‘kan, untuk bisa berjaga-jaga dan meningkatkan keamanan rumahnya? Aku tidak seperti itu. Aku berempati, tapi tidak mengambil semua cerita mereka sebagai pelajaran. Karena apa? Karena aku terlalu percaya diri pada kemampuanku menilai orang. Aku terlalu percaya pada lelaki satu-satunya yang kucintai ini karena dia memiliki kualifikasi seorang green flag.
Saat pertama kali aku mengetahui ternyata Roger berselingkuh di belakangku, duniaku serasa akan runtuh. Aku memercayai orang-orang di sekitarku untuk meyakinkanku bahwa Roger tidak bersalah. Tapi nyatanya, mereka pun tidak bisa kupercayai.
Perceraian kami pun berlangsung, barang-barang yang sebenarnya milik kami bersama malah berpindah tangan pada Roger, dan aku ditinggalkan sendirian dengan uang seadanya. Satu-satunya pelipur laraku saat itu adalah kemenanganku di pengadilan atas hak asuh si kembar.
Nyatanya, kemalangan terus menimpa diriku tanpa henti. Satu lagi, orang yang kupercaya, mengkhianatiku. Aku sudah kehilangan semua hasrat hidupku saat si kembar meninggalkanku dan aku dijatuhi hukuman mati.
Aku jadi bertanya-tanya.
Apakah kenaifanku akan kerasnya hidup di dunia pantas dibalas dengan kematian? Apakah kebodohanku untuk menyayangi orang-orang tanpa prasangka itu pantas dihukumi dengan cara yang kejam?
***
Dalam ketidaksadaran yang menyelubunginya di ruang eksekusi, sebuah pertanyaan menggantung di benak Jackie: ah, untuk apa aku terus-menerus menahan rasa kantuk ini? Bukankah ia akan menjalani suntikan yang ketiga juga? Untuk apa berusaha keras agar kelopak matanya terus membuka sementara suntikan ketiga akan menghentikan itu semua?
Jackie memutuskan untuk mengikuti rasa kantuk itu. Pergi dengan kepedihan.
Hari ini, tanggal dua puluh Juli 2025, aku mati.
***
Benedict Loski turun dari bus kota dengan terburu-buru. Dari halte, dia setengah berlari melewati trotoar yang lengang, wajahnya dan sekujur tubuhnya berpeluh, sedangkan rambutnya yang keriting kecil-kecil tampak riap-riap berantakan. Hari ini Ben sudah berjanji pada Jackie untuk menemaninya di hari terakhirnya, sehingga ia sudah berhari-hari yang lalu mengajukan cuti untuk hari khusus ini.
Hati Ben berdenyut perih. Bahkan memikirkan bahwa ini adalah hari terakhir Jackie hidup terasa menyakitkan bagi Ben. Dia sudah berteman dekat dengan Jackie sejak SMA. Jackie adalah satu-satunya orang tempat dia bercerita saat ia putus dengan pacarnya yang terakhir, dan Ben adalah satu-satunya tempat bagi Jackie mencurahkan perasaannya tentang Roger. Jangankan bagi Jackie –bahkan bagi Ben sendiri, eksekusi mati Jackie adalah hal yang berat.
Berat. Tidak adil. Menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan bagi Ben, karena selama ini pandangannya tak pernah sedikit pun terlepas dari Jackie –bahkan ketika ia masih memiliki pacar dulu.
Ben mulai melihat bangunan tinggi tak jauh dari blok tempat ia berbelok tanpa menghentikan kecepatan larinya. Sekarang masih jam sembilan. Mestinya belum mulai, pikir Ben. Saat ia menemui Jackie dua hari lalu, Jackie berulang-ulang mengatakan bahwa eksekusinya dimulai jam sepuluh pagi.
Ben memasuki pekarangan seraya memberi salam seperlunya pada para penjaga. Begitu ia masuk ke dalam gedung suram itu –yang sudah menjadi familiar baginya sejak kasus Jackie –Ben pun langsung menuju bagian informasi dan menyampaikan tujuannya.
“Bertemu dengan Jacqueline Chase yang dieksekusi hari ini?” wanita bagian informasi itu mengulangi pernyataan Ben barusan dengan nada sedikit meragukan.
“Benar.”
“Tapi… hanya ada satu eksekusi hari ini. Dan,” wanita itu menggeleng ragu, tepat ketika ekor matanya menangkap gerakan wanita lain di dekatnya. “Oh, Rita!”
Sipir wanita yang dipanggil Rita itu berhenti berjalan, lalu menoleh. “Ya? Ada apa?”
Wanita bagian informasi itu lalu membisikkan sesuatu pada Rita, membuat Rita terkejut sesaat, namun dapat diatasinya segera. Rita pun dengan kening berkerut beralih pandang ke arah Ben yang masih bertanya-tanya.
“Boleh saya tahu nama Anda?”
“Loski. Benedict Loski. Saya baru saja berkunjung ke sini dua hari yang lalu. Saya kenalan Jackie. Jacqueline Chase.”
Kerutan kening Rita menghilang. Sepertinya ia memang ingat pada kedatangan Ben kemarin lusa.
“Mr. Loski,” kata sipir wanita bernama Rita itu pada Ben, “Jam berapa Anda diberitahu tentang eksekusi itu?”
“Kata Jackie jam sepuluh. Memangnya…kenapa?”
Rita menggeleng, lalu menggerakkan tangannya sedikit, agar Ben mengikutinya. Kedua lalu duduk di sofa.
“Tunggulah di sini sebentar,” kata Rita. Ben hanya bisa termangu melihat sipir wanita itu menghilang di balik lorong. Di dalam hati, ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Sesaat kemudian, Rita datang membawakan sebuah map plastik.
“Mr. Loski,” panggilnya lagi, “Jacqueline Chase telah berbohong pada Anda. Eksekusi sebenarnya dilangsungkan pada pukul delapan, bukan pukul sepuluh.”
Ben bisa merasakan seolah-olah palu gada baru saja menonjok perutnya. Matanya membelalak, sekujur tubuhnya kaku.
“J…jadi… maksud Anda…-“
Rita mengangguk penuh simpati. “Benar. Eksekusi Jacqueline Chase sudah dilaksanakan. Penguburan akan segera dilaksanakan sekitar pukul sebelas. Anda tentu ingin menghadiri pemakaman?”
Ben masih belum bereaksi, namun Rita tahu persis bagaimana perasaan Ben saat ini. Sedih, kaget, berduka, bercampur-aduk menjadi satu.
“Saya yakin Jacqueline tidak ingin membohongi Anda. Saya berprasangka bahwa… mungkin dia hanya ingin menjalani eksekusinya sendirian. Tanpa ditemani siapapun.”
Ben tidak menjawab. Ya, ia juga yakin tentang hal itu. Jackie yang baik, yang pengertian, yang tidak ingin membebani siapapun meskipun Ben tidak pernah merasa terbebani. Jackie yang menjadi begitu perasa sejak berbagai kemalangan menimpa hidupnya.
Untuk sesaat baik Ben dan Rita hanya menghabiskan waktu tanpa berbicara apapun sebelum akhirnya Rita memecah kesunyian.
“Istirahatlah Anda disini sejenak. Ketika penguburan akan dilakukan, saya akan segera memberitahu Anda. Kebetulan juga, Miss Jacqueline Chase menitipkan saya ini,” kata Rita yang menyodorkan map plastik. “Isinya catatan-catatan beliau selama di penjara. Beliau sangat menekankan agar catatan-catatan ini sampai ke tangan Anda.”
Rasa sedih dan shock yang tadi memenuhi seluruh tubuh Ben surut sejenak. Fokusnya teralihkan pada benda yang kini sudah ada di tangannya.
Rita tidak menunggu respon Ben lebih lanjut, melainkan beranjak dari sofa dan menepuk bahu Ben sedikit.
“Saya turut berdukacita atas kepergian Miss Jacqueline Chase. Saya mengenal beliau hanya sebentar—tidak seperti Anda yang sudah mengenalnya begitu lama—tapi saya yakin beliau adalah orang yang baik.”