Tentang Roger

1099 Words
Pagi itu, Roger terbangun dari tidurnya dengan terseok-seok. Ada kerutan lelah di bagian bawah kelopak matanya, sedangkan bagian putih matanya memerah. Ia kesulitan tidur semalaman, bukan karena apartemennya kurang nyaman dan mewah ataupun karena kasurnya kurang empuk. Peak Sunset bukanlah sembarangan apartemen murahan yang mudah dimiliki seseorang pada posisi yang ia jabat sekarang (meskipun ia bekerja di bidang pemrograman dan teknologi). Peak Sunset beserta fasilitasnya berkelas. Berprestis. Jadi bukan kenyamanan hunian alasannya. Melainkan gangguan yang ia alami semalam. Dengan padatnya skedul dan melimpahnya pekerjaan, Roger biasanya selalu dapat terlelap dalam tidur tanpa bermimpi apapun. Namun mimpinya semalam –tentang tawa dua anak kecil--- begitu gelisah. Dia berguling resah di kasur, mengubah posisi tiap lima menit sekali karena tawa mereka seakan berdenging nyata di kepalanya. Dan setelah hampir dua jam dalam kegelisahan, dia akhirnya memutuskan meminum obat tidur. Sekejap, Roger sudah tenggelam dalam lelap. Tapi tetap saja kurang tidur ini menggangguku. Sebenarnya, ada yang lebih menggangu Roger meskipun dia tidak mengindahkannya. Tawa kedua anak di mimpi semalam mengingatkannya pada kedua anak kembarnya. Meskipun mereka adalah anaknya dengan Jackie, tetap saja dia berkontribusi separuh genetik pada mereka. Roger sudah terikat pada mereka karena mereka adalah darah dagingnya, dan pria itu sama sekali tidak menampik rasa kasih sayang untuk mereka. Saat Roger menaruh odol pada sikat giginya, ponselnya di kamar tidur berbunyi tipis –menandakan notifikasi pesan masuk. Pria itu pun mengeceknya, dan satu-satunya kata yang keluar dari mulutnya adalah bukan kata pertama yang ingin ia ucapkan di pagi hari. “Sialan!” umpat Roger. Uangku habis. Kirimi aku uang. Begitu bunyi pesan itu. Roger mengumpat sekali lagi dan melempar ponselnya ke tempat tidur dengan penuh kekesalan. Aku memang berhasil mencapai tujuan-tujuanku, tapi kalau aku akan diperas begini, apa gunanya, gerutu Roger seraya menaruh wadah odol dengan kekuatan walau odol itu tidak bersalah apa-apa padanya. *** “Pagi, Roger,” sapa Bryce datar begitu ia melewati kubikel Roger yang sudah ditempati penghuninya. “Pagi,” sahut Roger pendek dengan wajah kusut. Kekusutan itu terpampang cukup jelas hingga membuat Bryce menyipitkan mata memandanginya. “Kau baik-baik saja?” “Ya, aku baik. Kenapa?” “Kau terlihat sangat kacau,” kata Bryce menyenyuminya dengan wajah tak enak. Roger hanya mengangkat bahu. “Mungkin karena hari ini kita harus lembur,” jawabnya singkat. Hari itu memang Sabtu, akhir pekan. Terkadang beberapa tim terpaksa harus lembur di Sabtu dan Minggu untuk mengejar target permintaan klien. Hari ini hanya tim Roger dan tim Bryce yang stay di kantor. “Klienmu… sulit?” tanya Bryce lagi. “Tidak juga.” “Oke,” angguk Bryce tanpa melepaskan pandangan dari Roger, seakan-akan Roger adalah sesuatu yang aneh. “Kau tidak terlihat seburuk ini saat perceraianmu dengan Jackie,” tukas Bryce. “Kau juga tidak seburuk ini saat kematian anak-anakmu.” Perkataan Bryce seakan memencet tombol amarah Roger terlebih karena kepalanya yang masih pusing karena kurang istirahat. Tangannya mengepal, memukul meja. “Maksudmu?? Kau ingin bilang bahwa aku tidak menyayangi Jackie maupun anak-anakku?” “Tidak,” kata Bryce sambil lalu, berjalan meninggalkan kubikel Roger. “Aku hanya berkomentar saja.” “Aku tidak butuh komentarmu!” teriak Roger. Sebenarnya, begitu kasus perceraian dan kasus anak-anak mereka menimpa Roger dan Jackie, tsunami simpati dari rekan kerja mereka berdatangan. Terlebih lagi pada Roger, karena Roger-lah yang masih dapat mereka temui setiap hari di tempat kerja setelah Jackie mengundurkan diri di masa kehamilannya. Semuanya mengucapkan belasungkawa, menepuk bahu Roger menabahkan, kecuali satu orang. Bryce. Sejak dulu, Bryce dan pasangan kekasih itu memang dekat karena mereka memasuki kantor pada gelombang rekrutmen yang sama dan menjadi kepala tim pada tahun yang sama. Namun sebenarnya, dibandingkan dengan Roger, Bryce lebih sefrekuensi dengan Jackie meskipun Bryce-Jackie tidak saling menaruh perasaan satu sama lain. Dan saat perceraian Roger dan Jackie terjadi, satu-satunya rekan kantor yang berada di pihak Jackie adalah Bryce. Sayangnya, dia tak mendapat kontak Jackie karena wanita itu sudah tersibukkan dengan urusan pengadilan, apalagi Jackie pindah kontrakan dan mendadak juga mengganti nomor ponselnya. Tahu-tahu, ia mendengar bahwa wanita itu dihukum mati. “Oh, ya, Roger,” Bryce berbalik badan ke arah kubikel yang ia tinggalkan tadi. “Salah satu temanku bekerja di perusahaan teknologi Pointer, Ltd. Dia bilang dia merasa pernah melihatmu datang ke perusahaannya. Beberapa bulan lalu.” Roger mendengus. “Jadi?” “Ya… jadi aku pernah bilang bahwa kau rekan kerjaku karena ia pernah melihat fotomu di beranda media sosialku. Dia bilang kau pernah datang ke Pointer di hari kerja.” “Apa hakmu memperlihatkan fotoku padanya,” salak Roger. “Kau ini tidak tahu privasi, ya, Bryce? Kau rasanya sangat berubah akhir-akhir ini.” “Aku tidak memperlihatkan fotomu padanya. Tapi kita berdua, dan semua karyawan di sini punya dokumentasi saat pesta kantor tahun lalu. Admin kantor mengunggah foto-foto itu ke media sosial dan menandai kita semua di sana. Jadi semua temanku dan temanmu di media sosial dapat melihat foto seluruh karyawan.” Wajah Bryce datar. Roger terdiam sesaat. “Jadi, apa kau benar-benar tidak pernah ke Pointer?” “Tidak.” “Aneh sekali,” gumam Bryce. “Kalau begitu, mungkin temanku yang alpa. Tapi masalahnya, dia begitu bersikeras soal ingatannya tentang wajahmu.” *** Pagi yang buruk itu cukup untuk membuat Roger uring-uringan selama jam kerja. Bahkan setelah satu jam login ke absensi digital, dia sudah mulai tidak betah. Triing. Ponsel Roger kembali bergetar. Roger mengangkat telepon itu dengan malas-malasan tanpa melihat penelpon. “Ya, halo?” “Halo, Rogue,” sapa suara di ujung panggilan. “Kau tidak membalas pesanku.” Roger membisikkan u*****n marah untuk kesekian kalinya. “Kau kira aku ini mesin ATM? Bagaimana mungkin aku mengirimimu uang lagi setelah mentransfer minggu lalu?” responnya, masih dalam bisikan. “Ya, bisa dong. Uang minggu lalu sudah kupakai, kubelanjakan sampai habis. Hari ini aku butuh transferan lagi.” “Berani sekali kau memerasku!” “Tidak. Kita sudah punya perjanjian, ‘kan? Kau sudah menyetujuinya, jadi kau seharusnya tidak marah.” “Menyetujui dengan terpaksa,” geram Roger. “Memangnya kamu akan mau menyetujuinya denga sukarela?” tantang penelpon itu. “Aku licik. Kau licik. Pokoknya, kirimkan saja sebanyak seribu Dollar ke rekeningku. Batasnya sampai jam dua belas siang. Kalau tidak…” “Ya, ya aku paham!” sergah Roger. “Nah, itu kau sudah tahu konsekuensinya, Rogue. Aku memegang kartu as-mu.” Roger mendengus. “Tapi beri aku waktu untuk bernapas! Aku akan melebihkannya jadi seribu lima ratus Dollar, jadi tolong jangan minta uang lagi sampai dua minggu ke depan. Mengerti?” “Oke,” sahut si penelpon itu riang. “See you, Rogue! Have a nice day!” Roger menutup telepon tanpa berkata apa-apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD