Di Kamar

1046 Words
Roger kembali ke apartemennya di Peak Sunset sembari bersiul riang, di lengan kirinya tergantung tas kantor sementara tangan memegang surat-surat, sedangkan tangan kanannya memutar kunci apartemennya. Begitu kakinya melangkah ke dalam, wajah Roger terkesiap dan mengeras. Seseorang memulaskan tulisan di cermin, dipulas dari bahan hitam kental, isi tulisannya: Kau akan menerima karmamu Kemarahan Roger memuncak hingga ubun-ubun. Ia mendekati cermin itu, lalu mencolek bahan hitam itu: sepertinya bitumen, bahan aspal yang cair dengan kekentalan tinggi. Roger menggerutu kesal, melempar semua barang di kedua tangan ke kasur di samping cermin. Siapa orang yang dengan mudah mendapat akses kamarnya? Dan apa tujuan orang itu mengolok-oloknya seperti ini? Ia masuk lebih dalam untuk mencari lap kecil di dalam lemari dinding di kamar mandi, namun bahkan sebelum ia menjejakkan kaki ke dalam kamar mandi, ia kembali menemukan tulisan yang sama di cermin kamar mandinya. Pria itu merasa muak. Benar-benar muak dengan olok-olokan murahan ini. Dia langsung menghambur keluar menuju lift, terus turun ke bawah, ke lantai satu di tempat bagian informasi. “Saya ingin mengajukan keluhan!” Roger menggebrak meja, mengejutkan wanita yang duduk di bagian informasi itu. Roger berteriak soal keamanan apartemen yang longgar, keabaian petugas apartemen ketika orang asing masuk, dan ancaman di cermin mengenai dirinya. “Bagaimana mungkin ada seseorang keluar-masuk kamar saya tanpa ada seorang pun yang melihat? Dan ini bukan pertama kalinya terjadi, melainkan sudah beberapa kali!” Roger memaksa wanita itu, yang sudah dikelilingi petugas apartemennya untuk mengecek kamera CCTV di lorong sekitar kamar Roger, dan anehnya, tidak ada orang asing yang terlihat selain petugas apartemen saja. “Hah!! Kamera CCTV-nya saja resolusi rendah begitu, bagaimana mungkin kita bisa tahu bahwa petugas itu benar-benar petugas? Bisa saja ia orang yang menyamar!” tuding Roger. Yang dituding tidak bisa memberikan komentar apa-apa soal itu. Setelah beberapa petugas ditambah pengelola berkumpul di situ dan mendengarkan penjelasan panjang Roger, mereka setuju soal memindahkan pria itu ke kamar lain. Roger juga berkata soal menuntut pihak apartemen jika ia tidak mendapatkan kompensasi saat itu juga dan permintaan untuk pindah kamar. “Saya ingin fasilitasnya dilebihkan karena gangguan yang saya alami! Ini ‘kan kelalaian pihak manajemen!” “Baik, Pak, kami akan memindahkan Bapak ke kamar di lantai atasnya, fasilitasnya jauh lebih bagus, lengkap, dan nyaman dibandingkan dengan kamar di lantai Bapak sekarang. Sekali lagi kami minta maaf,” Manajer itu menunduk berkali- kali. Ia ikut naik ke lantai tempat kamar Roger berada dan melongo melihat cermin bercoretan hitam itu. “Siapa yang melakukannya?” gumam manajer itu pada dirinya sendiri. “Mana kutahu?” sahut Roger sengit. “Nah, berikan kunci kamar baruku sekarang juga.” Manajer itu bingung dan tampak tak enak hati. “Mohon maaf, Pak, kami baru bisa memindahkan Bapak besok pagi. Ini sudah terlalu malam, dan bising-bising pemindahan barang tentu akan mengganggu penghuni lainnya. Bapak tidak usah khawatir, saya akan meminta para petugas memindahkan barang-barang Bapak tanpa Bapak mengeluarkan tenaga. Bapak cukup mengawasi saja.” Roger sekali lagi protes, tapi melihat kukuhnya si manajer terhadap pernyataannya karena harus bertaruh dengan kenyamanan banyak penghuni lain, akhirnya Roger pun menyerah. Ia kembali ke kamarnya dengan lelah setelah setuju dengan usul manajer bahwa ia akan mengirim salah satu petugas untuk berkeliling tiap jam di lantai Roger demi memastikan keamanan. Roger begitu letih, sehingga begitu ia menghenyakkan tubuh di kasur, ia langsung terlelap. Entah berapa lama ia melayang dalam tidur tanpa mimpi, hingga indera pendengarannya mendeteksi suara tawa lagi. Suara tawa anak kecil, dua orang. Awalnya Roger mengira bahwa ia baru saja bermimpi, tapi ketika ia sadar dengan saraf sensorinya dan memaksa membuka mata, tawa itu tetap ada. “Siapa?” bisik Roger. Dia secepat kilat bangun dan duduk, telinganya awas mencari sumber suara. Tapi semakin ia mendengarkan, semakin ia merasakan volume suara itu mengencang. Roger bergerak menuju lemari pakaian karena mendengar suara dari sana, tapi tidak ada apa-apa. Telinga menangkap suara itu dari arah bawah kasur, tapi tidak apapun juga di situ. Sekali lagi suara itu terdengar dari pendingin ruangan. Roger naik ke atas kursi, mengintipi ruas-ruas pada mesin pendingin itu, namun tidak ada apa-apa. Ia menoleh. Suara itu terdengar dari berbagai arah. Roger menjadi pucat pasi. “Aaaaaarrrggghghhhhh!!!!” teriak Roger. Roger menutup telinga dengan kedua telapak tangannya. Ia terduduk, meringkuk di atas kasur dengan wajah pucat pasi. Suara itu tiba-tiba menghilang sejenak. Roger melihat sekeliling dengan was-was. Kemana suara itu pergi? Tubuhnya bersimbah peluh dingin. Ia menoleh ke lemari pakaian, mengintip sedikit ke bawah kasur, dan melirik pendingin udara, tapi tak terdengar apa-apa lagi. Napas masih terengah-engah dan debar jantungnya masih tak stabil. Triinngggg!! Roger terlonjak di kasurnya, refleks menghindar dari sumber suara. Rupanya cuma deringan telepon. Roger lekas mengangkat panggilan itu, dan tanpa menunggu sapaan si pemanggil, ia langsung berkata, “Tolong aku!! Ada suara-suara di kamarku! Dimana-mana! Banyak!!” Hening di ujung telepon, seakan keheningan itu menggaungkan rasa tidak percaya si pendengar. “Suara apa yang Bapak Roger dengar?” Ternyata petugaslah yang menelepon Roger. “Suara anak-anak! Banyak!! Tolong aku! Aku harus segera pindah dari kamar ini!” “Apa suara itu masih terdengar, Bapak?” tanya petugas itu datar. “T—tidak lagi... tapi…” “Maaf, Pak, kami tetap akan memindahkan Bapak besok. Dan kami ingin memberitahu Bapak supaya tidak berteriak-teriak di tengah malam, karena baru saja kamar di seberang Bapak mengeluhkan teriakan Bapak.” “B-baik…baiklah.” Petugas itu menutup telepon dengan kesopanan standar, membiarkan Roger kebingungan dan ketakutan. “Apa aku berhalusinasi?” gumam Roger sendiri seraya memegangi kepalanya. “Apa aku cuma berkhayal?” Ia ingin berjaga sesaat, menunggu hingga suara itu muncul lagi, tapi tubuhnya benar-benar sudah lelah. Bahkan Roger sudah kehabisan energi untuk menuntut kurangnya rasa prihatin si petugas di telepon terhadap apa yang ia alami barusan. Sudahlah, Roger membatin pasrah seraya mengunci pintu. Ia berganti pakaian dengan piyama lalu mendorong sebutir pil tidur ke dalam mulutnya, tanpa bantuan air. Begitu tertelan, Roger meraih selimut dan memejamkan mata, berharap pil itu bereaksi lebih cepat sehingga ketika suara itu terdengar lagi, tubuhnya sudah terlalu mengantuk untuk merespon. Untuk beberapa menit, lelaki itu bolak-balik di kasur, lalu menyelimuti seluruh tubuhnya hingga kepala. Namun selang lima menit kemudian, kegelisahan itu berhenti. Ia sudah berada dalam pengaruh obat tidur ketika terdengar langkah halus di depan pintu. Ceklek. Kunci pintu kamar itu membuka. Handelnya berputar dengan pelan dan hati-hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD