Orang itu meninggalkan kamar tempat si bayi yang tertidur itu dengan sangat pelan. Ia menutup pintunya dengan hati-hati, lalu melangkah ke ruang tengah dan menyalakan TV tanpa pikiran ingin menonton acara tertentu. Ia mengganti-ganti saluran ketika layar ponselnya menyala terang.
Transfer berhasil.
Orang itu tersenyum. Ia sudah ingin sekali berfoya-foya, tapi dia belum bisa pindah hunian. Sebab, bila ia melakukannya, lelaki bodoh itu akan curiga, padahal uang yang ia berikan tak sebesar itu untuk mencukupi biaya apartemen. Tetapi untungnya si bodoh itu tidak pernah masuk ke kamar belakang di kontrakan ia tinggali kini, sehingga ia tidak tahu bahwa banyak barang mewah yang menetap di situ.
***
Setelah pembatalan janji mereka, Ben tak lagi terlalu memikirkan tentang apa yang dilakukan Ross. Pun ia tidak melanjutkan membaca catatan Jackie, karena untuk melakukan itu ia harus menguatkan hati. Jika tidak benar-benar karena desakan Inspektur Kepala Senior itu, ia mungkin membiarkan catatan itu sekitar dua bulan, tertutupi debu dalam laci, sebelum mengeluarkannya lagi dan menyelami pikiran Jackie. Dalam lima hari berikutnya, Ben fokus bekerja seperti dirinya dulu –sampai-sampai Kataoka terheran-heran. Namun, Ben merasa belum bisa mempercayakan informasi mengenai penyelidikannya itu pada Kataoka. Mungkin akan ada waktunya, tapi bukan sekarang. Waktu pun terasa begitu cepat, hingga pada Jumat malam ia mendapati pesan dari Ross untuk datang ke sebuah café yang berlokasi di Lockheed Street pukul setengah sepuluh pagi.
Ben memasuki café berpapan nama Daily Grind itu dengan perasaan familiar, sebab café ini didominasi oleh bahan kayu seperti café pertemuan mereka sebelumnya. Ketika matanya tengah sibuk mencari Ross, orang yang dimaksud itu tampak melambai tak jauh dari pintu masuk.
“Aku sudah lebih dulu memesan minuman,” Ross mengisyaratkan pada minuman di depannya dan piring kecil berisi sepotong cake. “Kau sudah sarapan pagi?”
“Oh? Sudah, Sir.”
“Baiklah. Aku traktir kau minuman dan cake, ya?” kata Ross mengabaikan wajah protes Ben. Lelaki bertubuh besar itu segera melambaikan tangannya pada waiter.
“Sepertinya Anda suka café dengan desain dominan kayu, Sir?” tanya Ben sembari memandangi sekeliling.
“Ah, tidak juga. Kau ingin makan apa?” tanya Ross begitu waiter yang dipanggil datang.
“Eh… sama dengan Anda saja, Sir.”
“Baiklah,” sahut Ross singkat lalu menoleh pada waiter, “Satu cappuccino dan satu caramel shortbread.”
Setelah tambahan pesanannya diterima, Ross langsung membuka percakapan.
“Hari Minggu pekan lalu aku harus membatalkan pertemuan kita karena aku harus pergi ke kontrakan Jacqueline.”
Ben tertegun. “Ke kontrakan Jacqueline?”
“Betul. Aku meminta tolong pada kepala forensik di satuan kepolisian untuk membantuku. Dia juga membawa dua bawahan. Aku meminta agar pengecekan sidik jari dilakukan menyeluruh di semua bagian rumah, butuh dua hari lebih. Selama pengecekan itu, aku perlu mendampingi mereka. Lagipula, akulah yang memegang kunci kontrakan itu saat ini.”
Ben menyimak dengan penuh perhatian.
“Aku menerima hasilnya hari Rabu lalu. Ini,” Ross menyodorkan beberapa halaman laporan yang dia terima. “Coba kau pelajari baik-baik data di situ.”
Ben terdiam beberapa saat bahkan ketika pesanan untuknya datang.
“Di dapur dan kamar anak hanya ada sidik jari Jackie. Ada sidik jari yang lebih kecil, kemungkinan besar itu anak-anaknya. Lalu—” ia memilah-milah kertas di tangannya, “Kenapa sidik jari Roger dan unindentified…eh…”
“Itu maksudnya sidik jari yang tidak dikenali karena bukan anggota rumah itu saat kejadian.”
“Ya, kenapa sidik jari Roger dan orang tak dikenal ini ada di seluruh tempat bersama dengan punya Jackie kecuali di dapur dan kamar anak? Dan siapa orang ini sebenarnya?”
“Menurutmu siapa?” Ross mengumpan balik.
Ben tepekur sejenak. “Apa mungkin sidik jari asisten rumah tangga? Anda ingat, ‘kan, aku pernah bilang bahwa Jackie dibantu seorang asisten yang mengurusi pekerjaan rumah tangga dan bayi-bayinya?”
Ross menyetujui. “Aku juga menduga begitu. Tapi dari arsip kasus Jacqueline, tidak ada seorang pun asisten rumah tangga di sana pada saat kejadian. Jacqueline juga mengatakan bahwa dia hanya bertiga dengan anak kembarnya saja. Keluarga itu memang pernah mempekerjakan asisten rumah tangga, tapi saat itu, tidak lagi.”
“Tunggu dulu, Sir!” Tiba-tiba Ben teringat akan catatan Jackie yang dibawanya. Ia membaca beberapa halaman catatan itu selama lima belas menit, menandainya bersama dengan halaman-halaman yang ia baca pekan lalu, lalu menyerahkannya pada Ross, mendesak untuk membacanya juga.
“Jadi begitu,” Ross mengangguk-angguk. “Kau benar, bahwa Jacqueline-lah yang menggugat cerai. Penyebabnya karena perselingkuhan Roger dengan gadis bernama Leona. Dan tak lama setelah itu, “Ross menggeleng-geleng prihatin, “Si asisten rumah tangga, Louisa, mengkhianatinya juga sehingga Jacqueline memecat gadis itu dua minggu sebelum kejadian. Astaga, susunan kronologinya disertai tanggal sedetil itu.”
Ben mengangguk. “Ingatan Jackie memang hebat.”
“Kalau begitu, bisa kita simpulkan sementara ini bahwa sidik jari yang satunya memang punya Louisa. Nah, pertanyaannya: kenapa sidik jari Roger dan Louisa ini tidak ditemukan di dapur dan kamar anak?”
“Apa karena Louisa si asisten ini sudah tidak bekerja lagi di sana saat itu?” tanya Ben coba-coba.
“Memang. Tapi sekedar informasi bagimu, Louisa pergi dua minggu sebelum kejadian. Dan untuk Roger… dia masih mengunjungi Jacqueline dan anak-anaknya dengan teratur bahkan beberapa hari sebelum kejadian.”
“Apa mungkin Roger menemui si kembar di ruang tengah, dan bukan kamar anak? Sehingga sidik jari Roger tidak ditemukan di kamar anak?”
“Bisa jadi. Anggaplah Roger memang tidak ke kamar anak dan tidak pernah menyentuh dapur –sehingga dia tidak pernah menyiapkan makanan anaknya atau mencucikan botol s**u di setiap kunjungan. Tapi Louisa berbeda. Dia adalah asisten rumah tangga yang ikut mengasuh anak. Dapur dan kamar anak adalah area kerjanya, jadi mestinya sidik jari Louisa masih tertinggal banyak di situ. Sidik jari tidak akan langsung hilang dalam dua minggu tanpa sebab.”
Ben seketika membelalak. “Sir! Apa itu artinya ada yang dengan sengaja menghapus sidik jari mereka berdua?”
“Tepat,” sahut Ross. “Di hari kejadian, polisi tidak akan membuang-buang waktu menyisir keseluruhan rumah. Mereka hanya perlu mengecek kamar anak –tempat korban ditemukan—dan dapur –tempat Jackie mempersiapkan makanan anak karena terindikasi adanya keracunan makanan, apalagi dengan penemuan kotak makanan bayi yang kadaluwarsa itu. Kedua tempat itulah yang diselidiki lebih teliti. Jadi bisa kita katakan tersangka sementara kita adalah Roger dan Jackie.”
Ben mengangguk-angguk semangat. Tak hanya karena dia merasa secercah pencerahan atas kasus Jackie, tapi juga karena analisis detektif ini amat membangkitkan minat.
“Mengingat apa yang telah mereka lakukan, itu sangat mungkin! Ini bisa menjadi bukti untuk membuka kasus kembali di pengadilan, Sir!” tukas Ben.
“Benar. Tapi kita masih butuh bukti-bukti lain. Kita baru punya satu. Untuk itulah kita harus tahu motif pelaku. Sabtu pekan lalu kita sudah memikirkan motif bila diasumsikan Jackie sebagai pelaku, namun belum selesai. Kau ingat, bahwa kau akan mencari tahu di catatan itu?”
“Ya, Sir.” Lelaki berambut keriting kecil itu lalu mengeluarkan catatan Jackie yang beberapa halamannya sudah ditandai, lantas meminta Ross untuk membacanya.
“Ini untukmu. Bukan untukku,” tolak Ross.
“Sekarang catatan ini milik saya, Sir. Saya berhak memberitahu siapapun yang saya percayai tentang isinya tanpa harus mencederai kepercayaan Jackie,” ungkap Ben. Lelaki itu sebenarnya memparafrase ulang perkataan seniornya, Kataoka, yang mengatakan mengumbar-umbar cerita Jackie adalah bentuk pengkhianatan atas kepercayaan Jackie. “Namun jika kita membacanya untuk keperluan investigasi, tak ada salahnya.”
Ross terdiam sejenak, lalu menerima dan membaca bagian yang sudah ditandai itu hingga selesai. Usai membaca, dia mengeluarkan sehelai kertas kosong dari dalam map, lantas mencoret-coret.
“Kalau begitu, kesimpulan kita yang terakhir masih valid. Kemungkinan Jacqueline menjadi pelaku karena faktor finansial adalah 0%, ketidakstabilan emosional karena perceraian 0%, dan faktor kelalaian masih 50%. Nah, untuk Roger, kira-kira apa dugaan paling mungkin yang menjadikan ia pelaku?”
Ben mengelus dagu sambil berpikir. “Dendam pada Jackie, mungkin? Roger kalah tentang hak asuh anak di pengadilan, jadi hanya itu satu-satunya yang terpikirkan bagiku. Tapi apa tidak aneh ketika ia tidak mendapat hak asuh si kembar, malah ia melampiaskan kemarahannya dengan membunuh mereka? Rasanya omong kosong. Lagipula, mereka darah dagingnya.”
“Baik, untuk sementara kita lewati dulu tentang Roger, meskipun dia tetap masih diduga pelaku karena perihal keganjilan sidik jari itu,” Ross menuliskan catatan kecil dekat nama Roger yang ia tulis di kertas. “Soal Louisa—”
Ben berkata dengan jijik, “Membunuh anak mantan majikan tidak akan menghasilkan uang sepeserpun baginya, jadi faktor finansial 0%. Tekanan pekerjaan, mungkin ya, karena selama ini ia mengerjakan pekerjaan rumah tangga sekaligus membantu menjaga bayi kembar. Tentu sulit. Tapi, aku lebih cenderung merasa faktor pengkhianatannya pada Jackie-lah yang paling berpengaruh.”
“Kurasa tidak,” bantah Ross. “Jika ia memang berkhianat dan telah pergi dari kontrakan itu, ia bebas pergi kemanapun dan mencari pekerjaan baru. Untuk apa ia membatasi kebebasan hidupnya, mencari-cari perkara lagi dengan melakukan tindak kejahatan berat?”
“Jadi…”
“Jadi, pengkhianatan itu memang menarik, tapi itu akan membawa kita pada kesimpulan bahwa ia bersekongkol dengan Roger. Terlebih karena sidik jari keduanya raib bersamaan. Jika Roger memang begitu bersikukuh mendapatkan hak asuh, aneh sekali bila ia mau bersekongkol dengan Louisa untuk melakukan pembunuhan. Juga, aku menyanggah pendapatmu soal faktor keuangan Louisa 0%,” ujar Ross, “Bisa jadi pemecatannya berpengaruh besar dan kebetulan ia juga sedang kesulitan keuangan. Untuk kembali ke yayasan penyalur tenaga kerja, ia akan kesulitan karena butuh surat rekomendasi dari majikan terakhir bahwa ia berkelakuan baik. Saya tidak yakin Jacqueline akan dengan sukarela menulisinya surat rekomendasi yang bagus. Jadi melampiaskan kekesalannya pada anak-anak Jacqueline jadi masuk akal.”
“Saya paham, Sir.”
“Ayo habiskan cake-mu dulu. Astaga, aku telah membuat kopimu hampir dingin. Setelah kau selesai makan, aku akan mengajakmu ke suatu tempat. Kau tadi bertanya, ‘kan, kenapa aku membawamu ke sini? Jawabannya ialah karena Lockheed Street cukup dekat dengan tujuan kita. Kontrakan Jacqueline.”
Ben menyeruput cappucino-nya sedikit, lalu bertanya. “Apa kita akan masuk ke dalamnya, Sir?”
“Mungkin. Tapi tujuanku adalah menanyai tetangga. Siapa tahu mereka tahu sesuatu.”
Ben manggut-manggut. Setelah memasukkan potongan kecil cake ke mulut, ia kembali bertanya, “Sir, mengapa data mengenai Louisa tidak ada dalam arsip kasus?”
“Sepertinya karena detektif penyelidik tidak ingin repot menanyai orang yang tidak terlibat. Jacqueline mungkin memberitahu mereka bahwa ia pernah mempekerjakan Louisa, tapi Louisa absen saat kejadian. Laporan ini juga tidak menceritakan banyak detil tentang kesaksian tetangga. Hanya soal apakah ada orang yang datang atau tidak, kemunculan orang mencurigakan, dan apa memang Jacqueline sepanjang hari tidak keluar rumah.”
“Jadi untuk apa kita menanyai tetangga lagi, Sir? Bukankah jawaban pertanyaan tersebut cukup memadai?”
“Belum. Kita perlu mengetahui bagaimana rumah tangga Jacqueline berjalan selama ini serta sikap Jacqueline dan Louisa terhadap para tetangga.”