Penolakan Identitas

1197 Words
Inspektur Senior Ross meregangkan tubuhnya sembari mengecek jam dinding: pukul empat pagi. Sudah sekitar dua jam dia duduk di ruang kerjanya yang tepat berada di sebelah kamar. Inspektur Ross memang sudah memiliki jadwal rutin seseorang yang berusia di atas tiga puluh tahun: tidur tak lebih dari pukul sembilan malam. Matanya tak sanggup lagi untuk begadang sebagaimana masa mudanya dulu. Namun saat ia menginjak usia lima puluh tahun ini, tak hanya jam tidurnya yang jadi lebih awal, namun bangunnya pun lebih awal. Istrinya sudah terbiasa dengan hal ini, dan biasanya tidak akan bertanya-tanya lagi bila ia tak mendapati suaminya di kamar pada pukul dua atau tiga. Artinya, Ross sedang melamun di ruang tengah, atau tengah memreteli berkasnya di ruang kerja. Sehari sebelumnya, Ross segera mendatangi divisi terkait tentang kasus Jackie, tepat setelah ia meminta izin pada Superintenden Kwan. Namun ia tak pernah menyangka dengan apa yang ia dapat ketika mendatangi mereka dengan surat izin Bos Kwan. “Setipis ini?” tanyanya pada staf Pengarsipan Kasus. “Begitulah, Inspektur. Karena ini memang sudah ditetapkan sebagai pembunuhan berencana.” “Dengan bukti segini?” “Mereka bilang itu sudah cukup, Pak Inspektur.” “Mereka… siapa?” “Para pengacara, hakim, dan koroner,” sahut staf itu dengan wajah agak bersimpati. “Kasus ini memang seakan belum selesai, tapi tidak banyak yang bisa dilakukan jika hakim memutuskan untuk ditutup.” “Tidak ada pemeriksaan forensik?” Kali ini Ross bertanya pada Kepala Divisi Forensik yang memberikan sebuah map tipis. “Tidak, Inspektur. Penyebab kematiannya diputuskan sudah cukup jelas. Anda bisa lihat keterangan dari rumah sakit dalam map ini.” Inspektur Senior Ross hanya bisa mengangguk diam lalu berterimakasih. Saat ia berkunjung ke Divisi Kriminal dan menanyai detektif yang menangani kasus tersebut, tak banyak juga yang bisa ia harapkan. “Begini, Inspektur. Anda bisa membaca laporan kasus kami. Yang ini,” kata detektif Hector Martin. “Maaf, saya tidak bisa menerima permintaan Anda untuk wawancara sebentar terkait kasus tersebut. Yah, karena sudah ditutup. Lagipula saya masih punya banyak kasus yang perlu dipecahkan,” detektif Martin itu mengerling jam tangannya dengan gaya congkak dan sok sibuk. Jika bukan karena keperluan untuk mendapatkan dokumen laporan kasus, ingin sekali Ross menekek kepala Hector Martin yang sok pintar itu. Ross menghela napasnya, sekali lagi memerhatikan kertas-kertas yang terhampar di atas meja kerjanya. Informasi yang ia peroleh minim sekali. Terlalu terbatas. Bahkan jumlah kertas itu tak cukup untuk menutupi meja kerjanya yang luas. Setelah menghabiskan dua jamnya dengan sia-sia, Ross pun memutuskan untuk membuat daftar orang-orang yang hendak dikunjunginya. Menanyai saksi dan orang-orang terdekat sepertinya satu-satunya jalan yang bisa ia jadikan titik awal. Namun, ada satu orang yang ia yakini bisa ia temui dengan cukup mudah. Bahkan, lelaki inilah yang akan datang ke tempat kerjanya pukul delapan pagi nanti. *** Indera pertamanya yang aktif kembali adalah indera penciuman: hidungnya merasakan wangi steril udara yang asing. Indera pendengarannya mendeteksi cicit burung dari luar, dan keheningan yang tenteram. Ketika membuka mata, ia melihat sesosok wanita bertubuh gempal duduk termenung sembari melempar pandangannya ke luar jendela. Wanita itu menggerakkan kepalanya sedikit, menciptakan bunyi gesekan lembut rambut dan bantal, namun wanita gempal di sampingnya menoleh secepat kilat padanya dengan wajah terkejut sekaligus gembira. “Nona!” serunya seraya menangkupkan kedua tangannya pada tangan si terbaring itu. Wanita gempal itu punya wajah keibuan yang menyenangkan untuk dipandang. “Bagaimana perasaan Nona? Ada yang sakit?” Wanita yang terbaring itu tak menjawab apapun melainkan memandang sekilas ke sekelilingnya. “Saya dimana?” Wanita gempal itu menjawab penuh haru. “Nona di rumah sakit sekarang. Syukurlah, Oh Tuhan, syukurlah,” ucapnya berulang. Yang diberi jawaban tampak mengernyitkan kening sedikit. Itu tidak membantunya memahami kenapa ia bisa sampai di rumah sakit. Pun tidak menjelaskan siapa wanita gempal di dekatnya sekarang. “Anda siapa?” Gurat keterkejutan tergambar di wajah wanita gempal itu sesaat, namun dalam sekejap menghilang, berganti dengan wajah kemakluman. “Nona, lebih baik Nona istirahat dulu. Saya akan panggilkan, Dokter, ya?” “Tapi saya tidak tahu Anda ini siapa. Bagaimana bisa Anda kenal saya?” Pertanyaan ini menghentikan langkah wanita gempal tadi yang hendak keluar kamar. Wajahnya menoleh dengan perasaan cemas, namun dia tidak mengeluarkan kata-kata apapun. Alih-alih, dia lalu kembali meneruskan langkah keluar dan kembali beberapa menit kemudian dengan seorang dokter. “Wah, kau sudah sadarkan diri,” sambut si dokter tersenyum, meski ekspresinya menunjukkan keletihan seusai operasi ganda semalam. Dia masuk tepat ketika si pasien berniat mengangkat kepala untuk bangun. “Jangan bangun dulu. Kamu baru saja menjalani operasi untuk empat puluh persen bagian dalam tubuhmu. Bergerak akan membuat proses pemulihanmu lebih lama. Kecuali kau suka berbaring di rumah sakit berbulan-bulan. Oh, di kepalamu juga ada jahitan. Bisa berdarah sewaktu-waktu kalau kau keras kepala.” Guyonan dokter itu pasti akan membuat pasien menyengir jika keadaannya tidak sememusingkan ini. Dokter ini gila, begitu pikirnya. Bagaimana mungkin dia diselamatkan dari situasi final itu? Siapa yang menyelamatkan? “Dok…” wanita gempal tadi mengikuti dokter dengan perasaan takut-takut, ragu hendak mengucapkan sesuatu. Dokter tadi memberi isyarat simpatik tanpa sepatah kata, melainkan mengecek mesin-mesin penunjang hidup pasien dan monitor tanda vital. Dia belum bisa melakukan pemeriksaan fisik secara langsung, berhubung si pasien baru saja dioperasi rongga dádanya, dijahit kepalanya, serta dibalut gips kaki dan lengannya. “Bagaimana perasaanmu?” tanyanya. “Biasa saja, Dok.” Dokter tadi mengangguk. “Miss Leona Seymour, saya sarankan Anda nikmati istirahatmu, jangan pikirkan apapun. Dua hari ini kau sudah masih dalam pengaruh anestesi dan tidur seperti bayi, nah cobalah seperti itu lagi. Lakukan hingga beberapa minggu ke depan.” Pasien tadi menyipitkan matanya. “Tapi—” “Jangan membantah. Kau ingin cepat sembuh, kan?” potong dokter itu seraya menggoyang sedikit (tanpa alasan penting) wadah infus pasien yang setengah penuh berisi ringer laktat. “Tapi—” “Nyonya, apa Anda bisa ikut ke ruangan saya? Supaya saya lebih mudah menjelaskan kondisi Miss Seymour sekarang.” Wanita bertubuh gempal tadi menggeleng, “Dok, Anda tidak mengerti. Nona Leona—” Sebelum perkataan wanita gempal itu maupun dokter sempat berlanjut, pasien tadi nampak tak sabar, gemas melihat keduanya mengabaikan dirinya. Dia mengangkat kepala sedikit, menarik napas dalam-dalam meskipun dádanya sakit lalu berusaha berteriak. “Kalian ini bicara apa? Siapa Leona? Saya bukan Leona! Saya Jackie. JACKIE!!” Keduanya terdiam, lalu menoleh perlahan ke arah pasien dengan mata membelalak, seakan-akan mereka sedang melihat hantu dalam sebuah adegan film horor. Wanita gempal tadi sekali lagi menciut dalam kecemasan, “Saya bilang juga apa, Dok! Ada yang salah dengan Nona!” *** Tom Ruskin terseok-seok bangun dari ranjangnya ketika ia mendengar dering telepon kediaman Seymour berbunyi. Siapa yang begitu lancang menelepon pagi-pagi sekali begini, gerutunya dalam hati dengan rasa kesal. Sekarang baru pukul tujuh, dan kemarahan Tom sangat wajar mengingat dia baru pulang dari rumah sakit pukul enam pagi ini dari rumah sakit. Ia bahkan baru benar-benar menghenyakkan tubuhnya ke kasur lima belas menit lalu. “Halo, kediaman keluarga Seymour,” Tom berusaha keras agar suaranya tetap terdengar sopan tanpa amarah. Sahutan si penelepon di ujung telepon membuat Tom menaikkan alisnya sedikit. Ekspresinya melembut tanpa berkata satu kata pun, namun sesuatu yang gawat sepertinya terjadi karena dalam sedetik matanya membelalak. Tanpa berkomentar apa-apa, Tom menutup telepon dan secepat kilat bersiap-siap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD