Dari Biji

1700 Words
Ben membiarkan kepalanya terantuk-antuk kaca jendela bus di sepanjang perjalanannya kembali ke kota, sementara otaknya sibuk melamun tentang apa yang bisa ia lakukan untuk Jackie. Namun sekeras apapun ia berpikir, ia sama sekali tidak bisa membayangkan satu ide pun. Tanpa disadari, air mata jatuh mengaliri pipinya. “Kamu baik-baik saja, Nak?” Seorang nenek yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya memandang dengan wajah khawatir. “Kau ada masalah?” Ben mengusap air mata lalu berusaha tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Nek. Hanya saja, hari ini seseorang yang aku cintai meninggal dunia. Aku sedih belum berbuat apa-apa untuknya.” Nenek itu memandang dengan simpati, lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong kertas yang ia pangku sejak tadi. “Ambillah,” katanya sambil mengulurkan sebuah wadah plastik kecil. “Ini adalah biji bunga petunia. Mudah dirawat, dan akan berbunga dalam jangka waktu tiga bulan jika kau merawat dengan baik. Nah, yang kuberikan ini warna kelopaknya merah muda.” Wanita itu menjelaskan dengan wajah bijaksana dan senyum menenangkan. “Nak, kau memang tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuknya sekarang, tapi kau bisa menanaminya dengan bunga agat tempat peristirahatannya selalu indah.” Mendengar itu, hati Ben cukup terhibur. Kata-kata beliau benar. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah merawat tempat peristirahatan Jackie agar dia nyaman di sana. “Terimakasih, Nek,” angguknya. Saat Ben turun di halte yang membawanya kembali ke flat, Ben jadi terpikir sesuatu. Kenapa tidak ia beli saja lebih banyak bibit bunga, agar makam Jackie jauh lebih indah dan berwarna-warni? Jackie pasti suka banyak bunga. Ben sudah memutuskan. Ia berjalan pulang dan tidak lupa mampir ke salah satu toko tanaman dan bunga dekat flatnya. “Halo. Apa ada bibit bunga yang…” Ben bingung sesaat. Bunga apa yang akan dibelinya? “Ya, Pak, Anda ingin beli bibit bunga apa?” Wanita pelayan toko itu menyambut ramah. “Sebenarnya saya ingin menanam bunga berwarna-warni. Saya sudah punya biji bunga petunia, jadi saya mencari yang lain yang juga mudah ditanam.” “Anda pernah berkebun sebelumnya?” Ben menyengir, “Belum pernah.” “Nah, kalau begitu saya sarankan Anda membeli bibit bunga yang juga mudah ditanam.” Ben manggut-manggut. Wanita itu lalu mengecek rak-rak dan mengambil beberapa bungkusan kecil. “Nah, saya sarankan Anda menanam bunga-bunga ini saja. Ini semua adalah bibit zinnia, cornflower, dan marygold. Jika Anda merawatnya dengan baik, semuanya akan mekar bersamaan dengan bunga petunia yang sudah Anda punya. Akan terlihat cantik, berwarna-warni seperti yang Anda inginkan.” Ben tersenyum senang. Setelah wanita pelayan toko itu menjelaskan cara menanam dan proses perawatannya, lelaki itupun setuju untuk mengambil semua bibit yang ditawarkan lalu membayar di kasir. *** Tom Ruskin kembali ke kediaman Seymour sekitar pukul enam pagi. Wajahnya letih, tapi itu tak sebanding dengan rasa sedih bercampur kelegaan yang tergurat pada dirinya. Sedih, karena kecelakaan berefek cukup parah pada Leona, dan lega karena seluruh operasi berjalan lancar dan kondisi Leona sudah stabil. “Sayang!” seru Anna, istri Tom ketika menyambut suaminya membuka pintu. Dari wajahnya jelas bahwa ia juga terjaga semalaman. Tom memeluk sang istri, menceritakan keadaan Leona dari sejak di unit gawat darurat hingga pemindahan ke ruang VIP yang sudah dipesankan tepat setelah operasi kedua. “Oh, Tuhan!” Anna menutup mulut cemas usai mendengarkan semua penjelasan. “Semoga Nona Leona cepat sembuh. Sungguh malang, sungguh malang…” Tom mengangguk mengiyakan sambil mengelus bahu istrinya. Setelah beberapa saat, Tom membujuk Anna untuk beristirahat. “Kau juga harus istirahat, Sayang,” kata wanita tua itu setelah menyatakan persetujuan atas usul suaminya. Tom mengangguk menentramkan. “Tentu. Kau duluan, ya? Aku ingin duduk di sini sebentar.” Setelah istrinya ke tempat tidur, alih-alih duduk, Tom melangkah menuju taman tempat Leona biasa bersantai. Di sana, sembari duduk di kursi yang biasa diduduki Leona, dia memandangi bunga-bunga yang masih mengatupkan mahkota mereka, menutup wajah malu karena cahaya matahari belum datang. Tom mengenang. Ini adalah taman yang memang diperuntukkan bagi Nona seorang, bukan untuk orang lain. Untungnya bagi Tom, Roger Wright yang dia anggap hanya sebagai ‘pria yang selalu bersama Nona Leona’, tidak ikut pulang ke sini dan bermalam di kediaman ini lagi. Sebenarnya tidak ada masalah bagi Tom tentang siapa pria yang menjalin kekasih dengan Leona, namun dia hanya punya perasaan tidak suka yang muncul begitu saja. Ketidaknyamanan. Tidak enak dipandang mata, menurutnya, meskipun pria itu pekerja keras dan baik pada Leona dan semua pekerja Seymour. Sejak hubungan lelaki itu dengan Nona-nya sekitar lima bulan yang lalu, pria itu terus-terusan merongrong pada Leona agar diizinkan tinggal di kediaman Seymour. Di atas tanah seluas delapan ratus meter persegi, ada bangunan utama untuk tempat tinggal anggota keluarga Seymour dan pekerja terpercaya mereka, namun di sampingnya, berjarak lima puluh meter dari bangunan utama, ada dua bangunan lain. Satu bangunan diperuntukkan sebagai tempat kerja –dua lantai, berlantai marmer, minimalis dengan perabotan minim serta desain luas-terbuka, berisi puluhan buku dan dokumen perusahaan. Satunya lagi adalah bangunan serupa villa, didominasi bahan kayu mahal, lengkap dengan kolam renang, beberapa tanaman palem, dan dekat dengan hutan. Bangunan terakhir inilah yang selalu dimintai Roger pada Leona agar bisa ia tempati. Nona Leona akhirnya luluh, dan sudah seminggu ini memberi izin tempat tinggal pada Roger. Tom menghela napas. Jika Roger Wright itu kembali ke sini malam ini dan tetap tinggal tanpa menimbang situasi yang sedang dialami, mungkin Tom-lah orang yang pertama mendepaknya. Tapi untungnya, Roger Wright berkata bahwa ia tidak ingin tinggal di kediaman keluarga yang terkena kecelakaan tanpa seorangpun di sana. Setidaknya, aku tidak perlu melihat wajah itu sampai Nona sembuh, batin Tom. *** Keesokan harinya, Ben datang ke kantornya seperti biasa. Beberapa kolega kerja yang tahu alasan cuti Ben kemaren tampak curi-curi pandang mengamati ekspresi pemuda itu. “Ben! Kau masuk hari ini?” Joe Kataoka menepuk pundak juniornya itu keras-keras. Ben tersedak, lalu memasang ekspresi sopan. “Begitulah, Kak.” “Kenapa? Kenapa tidak cuti dua hari saja?” Ben mengangkat bahu lalu menggumamkan sesuatu tentang pekerjaan yang menumpuk. “Apa masalahnya? Jika sedikit tumpukan kerjaan akan membuat kamu dipecat, memang pada dasarnya kita ini mudah diganti, ‘kan? Replaceable.” Kataoka merendahkan kepalanya sejajar dengan kepala Ben, lalu berbisik, “Merekalah yang akan kehilangan orang berbakat sepertimu, jadi yang merugi bukan kau.” Pria itu kembali berdiri tegak dengan puas, lantas menaruh setumpuk kertas dan berkata, “Oh, iya, ini artikelmu yang kemaren masih ada yang perlu direvisi kata kepala editor. Aku setuju dengan pendapat beliau,” lanjut Kataoka seraya menyodorkan kertas teratas bertuliskan artikel kesehatan yang sudah dicorat-coret. “Untuk artikel tentang sugar craving, pembahasanmu sudah cukup bagus, sebenarnya. Tapi lebih baik diawali dengan informasi umum tentang kadar gula darah dalam tubuh dan kenapa jumlahnya bisa berfluktuasi. Kurasa ada pengaruh hormon juga,” telunjuk Kataoka mengarah pada coretan kepala artikel di bagian awal artikel. “Ada bagusnya kamu meriset juga tentang kebiasaan dan keadaan emosional seseorang sebagai faktor penyebab sugar craving. Kamu pasti tahu binge eating karena kesedihan atau stres, ‘kan? Nah, yang seperti itu. Ada beberapa ahli nutrisi yang biasa menjadi sumber andalan kita, tapi tambahkan juga jurnal kesehatan.” “Nah, untuk artikel tentang jenis ramen enak namun jarang diketahui ini,” Kataoka mengambil kertas yang berada di bawahnya, “Sedikit sentuhan dengan menuliskan pengalaman pribadi memang bagus, tapi cobalah persingkat sehingga artikelmu tetap fokus. Selebihnya sudah oke.” Kataoka mengangguk puas, lalu mengalihkan matanya ke arah Ben yang termangu –terlihat tidak menyimak penjelasannya sama sekali. Dia pun menghela napas, menggerutu dalam hati. Aku baru saja buang-buang energi, tapi anak ini tidak dalam kondisi patut dimarahi, batinnya bergolak. Kataoka menjepit hidung Ben dengan jempol dan telunjuknya, menyadarkan Ben. Lelaki itu megap-megap, kehabisan napas. “Maaf, Kak Kataoka! Aku malah melamun saat Kakak menjelaskan. Sekali lagi aku minta maaf.” “Kalau kau masih sedih, seharusnya cuti saja. Jangan sok tabah begitu.” Ben menundukkan kepalanya. “Baik, Kak.” Begitu ia menengadah lagi, Ben bertanya, “Boleh aku minta tolong dijelaskan lagi tentang revisi tadi, Kak?” Joe melambai tak peduli. “Besok saja. Toh, percuma saja kalau aku jelaskan sekarang. Revisimu pun tak akan beres. Kau tidak konsentrasi.” Jawaban itu disambut Ben dengan ekspresi canggung. “Ehm, Kak Kataoka. Apa benar, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan untuk Ja—” “Tidak,” sahut Kataoka lagi tegas sebelum Ben sempat melanjutkan. “Tidak sama sekali, Ben. Kecuali, seperti yang telah kukatakan, kau sudah punya bukti yang banyak dan kuat. Lebih baik kau fokus dulu pada hidupmu.” Sekali lagi Ben tampak berpikir jauh. “Hei, kau mau main futsal denganku dan yang lain nanti sore? Daripada terus-terusan bengong dan sedih.” “Ah, aku sudah ada agenda, Kak, nanti.” “Agenda apa?” “Menanam bunga.” “Hah? Sejak kapan kau jadi suka menanam bunga?” “Baru saja, Kak,” Ben sedikit menyengir. “Masih pemula. Aku baru beli bibitnya kemaren sore.” Joe menggeleng tak mengerti, membatin sekali lagi. Tadi muramnya seperti Hachi mencari mamanya, sekarang sudah senang saja dia macam Maruko-chan. Dasar bocah aneh! *** Di suatu tempat, Jackie merasakan jiwanya melintasi ruang dan waktu yang berbeda dalam waktu begitu singkat. Padang rumput tanpa batas horison tadi berganti menjadi kabut samar yang menutupi seluruh dirinya yang masih tersisa. Jackie tidak bisa menjangka berapa lama ia diselubungi kabut itu, hingga akhirnya kabut itu menipis dan menampakkan visual kebiruan –seakan-akan ia berada dalam dunia editan sinematik yang dingin. Jackie melihat langit-langit sebuah ruangan sebelum ia menurunkan pandangannya ke bawah. Seorang wanita muda yang baru saja ia temui tadi terbaring di ranjang standar dengan mesin-mesin penunjang kehidupan di sekelilingnya. Wanita itu dalam keadaan tak sadar diri, matanya menutup rapat, namun mesin-mesin ruangan itu menunjukkan bahwa denyut jantungnya masih ada: stabil, teratur. Jackie dan wanita muda ini jelas berada di rumah sakit, dan Jackie menyadari bahwa ia sekarang adalah entitas yang sedang mengambang di langit-langit ruangan. Sebelum Jackie lebih jauh mempertanyakan alasan ia berada di ruangan itu, tiba-tiba suatu vacuum besar tak tampak seakan menyedotnya dari bawah, menarik seluruh dari apa yang masih tertinggal dari diri Jackie. Jackie berteriak, tapi tidak ada suara yang terdengar. Jiwanya terasa terus tenggelam, dilahap vacuum tak tampak tersebut, namun tak jelas disedot kemana. Jackie masih sempat menengadah sekilas ke arah loteng ruangan di rumah sakit sebelum kepalanya ditarik seluruhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD