Antara Hidup dan Mati

1988 Words
Roger mengendarai mobil dengan uring-uringan. Bagaimana tidak, kesibukannya bersenang-senang di café bersama beberapa orang sore tadi mesti diganggu oleh sebuah telepon dari pihak Peak Sunset tentang dokumen penting yang baru dikirimkan ke apartemennya. “Kenapa mesti telepon segala? ‘Kan bisa tunggu sampai saya pulang ke apartemen?” Roger membentak wanita di ujung telepon. “Maaf, Pak, tapi kami perlu memberitahu Anda segera karena dokumen tersebut sepertinya penting. Begitu yang disampaikan oleh…eh, kurir tadi.” Roger menggerutu tak jelas lalu menginfokan bahwa ia akan segera ke sana. Roger tahu persis, bahwa ia sudah mengganti alamat surat-menyuratnya dengan alamat keluarga Seymour, bukan menggunakan alamat apartemen lagi. Ia juga sudah memastikan semua itu dipindahkan ke data baru kantor sejak tiga bulan lalu. Setelah menutup telepon, ia segera menuju tempat parkir dan menyalakan mobil SUV-nya. Atau lebih tepatnya, mobil SUV miliknya bersama Jackie yang dibeli dengan uang bersama pula. Roger mencibir memandang dasbor mobil itu. Kenapa pula ia begitu menginginkan mobil jelek begini jika tahu ia bisa mendapatkan beberapa dari koleksi mobil sport milik Leona? Ah, tapi untuk sekarang mobil butut ini ada gunanya juga, setidaknya sampai hubungannya resmi dengan gadis kaya raya itu. Setidaknya ia punya citra sebagai lelaki muda berambisi dan pekerja keras hingga mampu membeli mobil kelas menengah ini, sebab gadisnya amat menyukai pria yang setia, halus, dan tekun. Roger telah sampai di kompleks Peak Sunset dan langsung menuju apartemennya. Begitu kakinya mendekati pintu, matanya langsung bertumbukan dengan amplop coklat resmi dan bersegel di lantai. Roger meraih amplop itu dan membaca. Dalam sekejap, mata coklat Roger membulat, gerak-geriknya langsung waspada. Cepat-cepat pria berambut cokelat itu memasukkan kunci ke lubang kunci, membuka pintu dan menguncinya kembali. Di sofa, Roger membaca semua detil laporan dari Bagian Administrasi Pengadilan Kota. Beberapa kali ia menghembus napas lega. Makiannya karena ditelepon oleh pihak Peak Sunset tadi berubah menjadi rasa syukur sebab laporan ini tidak dialamatkan ke kediaman Seymour. Bila semua data ini sempat jatuh ke tangan pelayan, atau lebih parahnya ke tangan Leona, semua kedok Roger sebagai pria biasa yang pintar dan baik hati akan sepenuhnya terbongkar. Dan ia tidak mau hal itu terjadi. Tidak sebelum dia bisa mengeruk keuntungan terlebih dulu dari keturunan Seymour nan kaya itu. Ketika ia masih menikmati keberuntungannya hari ini, ponsel Roger tiba-tiba berdering. “Ya, Tom?” Roger mengangkat panggilan dari kepala pelayan Leona. “Tuan Wright, saya ingin mengabarkan bahwa Nona… Nona baru saja kecelakaan,” ucap Tom terbata-bata. “Parah sekali, Tuan. Nona dibawa ke Queen Mary Hospital, sekarang beliau sedang dioperasi.” Roger terkejut. “Ada apa? Kenapa bisa kecelakaan?” “Lebih baik Tuan datang ke sini secepatnya.” Kalimat Tom Ruskin terdengar mendesak. “Saya akan menceritakan semua detil yang saya dapatkan dari polisi kepada Tuan.” “Baik, baik. Saya segera ke sana.” Panggilan terputus, bersamaan dengan Roger yang melempar bundel dokumen itu dengan jengkel. Saat hubungan resminya dengan Leona hanya tinggal sejengkal lagi, kenapa Leona malah kecelakaan? “Aku tetap harus bergegas,” Roger bergumam sendiri, mengunci lagi pintu apartemennya dari luar. Ia masih perlu menyelamatkan mukanya, apalagi potensi keberuntungannya. Sementara itu di rumah sakit, di depan ruang operasi, Tom Ruskin berkali-kali menyeka keringat di pelipis. Polisi tadi sudah kembali ke kantor, tangan kanan keuangan Seymour yang sempat datang juga sudah pergi, dan kini hanya ia seorang yang harap-harap cemas dengan kondisi Nona-nya yang malang. Detik jarum jam rasanya bergerak begitu lambat. Ruang operasi masih tertutup selama satu setengah jam terakhir. Berapa lama lagi operasi ini akan berlangsung? Sekitar tiga puluh menit kemudian, Tom mendengar langkah-langkah kaki tergesa-gesa mendekatinya. Roger. Lelaki yang menurutnya sama sekali licik, tapi entah kenapa dicintai Nona Leona. “Bagaimana kabar Leona?” tanya Roger khawatir. Napasnya masih tersengal-sengal. “Masih dioperasi, Tuan.” Roger mengangguk, lalu duduk di samping Tom tanpa berbicara apa-apa lagi selama waktu-waktu ke depan. Setelah menunggu sekian lama, akhirnya lampu indikator ruang operasi dimatikan dan pintu membuka. Beberapa anggota medis keluar membawa peralatan yang telah digunakan dengan wajah-wajah lelah. Operasi berlangsung empat jam penuh. “Bagaimana keadaan Nona, Dok?” Tom langsung menyerbu dokter yang keletihan itu. Dokter itu membuka maskernya. “Operasinya berlangsung lancar, namun keadaan Nona Seymour masih belum stabil. Kami masih perlu mengobservasi keadaannya sebelum melakukan operasi lanjutan.” “Operasi lanjutan?” Dokter tadi mengiyakan. “Terdapat beberapa tulang patah dan retak yang memerlukan tindakan operasi juga. Sejauh ini kami hanya mengoperasi untuk menghentikan pendarahan internal area rongga dáda karena ada organ yang terdampak. Ada cedera di kepala juga, meskipun tidak terlalu serius, namun sudah kami tangani juga.” Meskipun sang dokter sudah menyederhanakan kata-katanya, Tom tampak masih kebingungan, lantas hanya mengangguk kosong. Dokter itu menepuk-nepuk bahu Tom lembut. “Mari kita doakan saja selama masa observasi ini, keadaannya makin membaik. Sedikit petunjuk saja sudah cukup untuk membawa pasien untuk operasi tulangnya.” “Jadi… jadi… saat ini kami belum boleh melihat keadaannya?” Roger akhirnya ikut bicara. “Belum. Ruang observasi sama terbatasnya dengan ruang operasi. Hanya yang berkepentingan saja yang dapat masuk. Jika Nona Seymour cukup kuat menghadapi semua ini, seharusnya dalam jangka waktu dua puluh empat jam ini –paling lambat 48 jam– kondisinya sudah mulai stabil.” *** Leona membuka matanya perlahan. Sebuah cahaya menyilaukan membuatnya mengangkat lengan untuk menutupi separuh wajah sambil setengah memicingkan mata. Dia berada di atas kabut. Leona berusaha melihat sekelilingnya, kemudian membiarkan matanya menyesuaikan dengan kondisi cahaya. Setelah beberapa saat barulah ia memahami di mana ia kini berada. Leona sedang duduk di sebuah padang rerumputan luas berwarna hijau yang membentang hingga sejauh matanya memandang. Batas padang hijau itu seakan menyatu dengan horison langit karena kabut yang tadi dilihatnya –kabut yang mirip seperti kabut pagi hari. Ada yang luput dari penglihatan Leona sebelumnya, bahwa selain dirinya, ada banyak orang lain yang sedang duduk-duduk di padang hijau itu. Mereka berkelompok-kelompok, namun tidak sedikit pula yang duduk sendiri. Semuanya tampak tenang menikmati duduk bersantai mereka dalam pakaian jubah putih mereka, begitupun dengan Leona. Leona terpana dengan apa yang ada di depannya dan mulai bertanya-tanya: ini dimana? Sebelum ia mampu memikirkan jawaban pertanyaan tersebut, sebuah suara menyapanya. “Halo.” Leona menoleh ke kanan, ke arah suara. Sesosok wanita cantik tersenyum padanya, membuat Leona juga otomatis membalas senyum. “Nyaman sekali di sini, bukan? Tidak ada beban, tidak ada kesedihan,” sambung wanita itu sembari memandang matahari di balik perlindungan lengannya. “Kita… ada dimana?” tanya Leona. “Dimana lagi? Kita sedang berada di antara hidup dan mati, bukan?” Wanita itu mempertanyakan kebingungan Leona seakan itu hal yang lucu. Leona bersitatap dengan wanita itu sejenak, seakan berusaha mengingat sesuatu. Sesuatu yang familier pada wajah kawan duduknya ini. “Di pintu itulah,” kata si wanita menunjuk pintu yang jauh dekat horison yang tersamarkan, “…Kita akan memasuki dunia sesudah kehidupan yang sebenarnya. Sekarang kita hanya menunggu giliran untuk dipanggil masuk.” Leona berpikir sejenak, dan mendadak beberapa saraf –jika ia masih dianggap memiliki saraf – dalam otaknya seakan terhubung, menimbulkan percikan ingatan. “Hei, aku tahu siapa kamu,” kata Leona tanpa basa-basi. “Kamu Jacqueline Chase, mantan istri Roger Wright.” Jackie, yang sedari tadi duduk mendampingi Leona dengan wajah ringan, berubah sedikit. Senyumnya menghilang, berganti dengan pandangan menyelidik. “Kau benar. Bagaimana kau bisa tahu aku? Kau…kenal Roger?” “Aku yakin kau sudah mengenaliku,” Leona berkata penuh keyakinan. “Ya, aku kenal Roger. Maafkan aku karena telah membuat hidupmu sulit.” Jackie mengerutkan kening. “Apa maksudnya?” Tanpa berbelit-belit, Leona langsung menuturkan kisah hidupnya dan perjalanannya hingga bertemu Roger. Gadis itu juga dengan lancar menceritakan penemuannya tentang Roger yang menyebabkan ia mengetahui siapa Jackie dan bagaimana semua pemahaman itu mengganggu keadaan emosionalnya, menyebabkan kecelakaan. “Bukankah semua ini sungguh tragis?” Jackie bertanya retoris seraya menatap Leona haru. “Tapi kamu masih punya kesempatan hidup, Leona. Kamu masih bisa menghapus kegagalan itu dan mencari lelaki yang lebih baik.” Jackie lalu tertawa getir. “Aku sudah kehilangan semua yang aku punya. Sepeser pun tak bersisa. Bahkan jika aku diberi kesempatan lagi, aku mungkin akan menenggelamkan diri saja.” Kernyitan marah terpatri jelas di wajah Leona yang anggun. “Siapa bilang aku masih punya kesempatan dan kau tidak? Kita masih berada di tempat penentuan ini, ‘kan? Belum tentu kau akan mati, Jackie. Mari hidup kembali dan membalas semua perlakuan buruk Roger padamu. Pada kita.” “Tidak,” geleng Jackie. Tangannya menunjuk label nama yang sejak tadi tidak pernah disadari Leona terpasang apik dekat leher. “Label namamu masih nyata, lihat? Kau akan kembali. Label namaku sudah mulai menghilang, perlahan transparan,” kata Jackie menunjuk miliknya. “Sudah cukup jelas, siapa yang tinggal, siapa yang pergi. Lagipula, aku di sini karena eksekusi mati, ya ‘kan? Petugas medis tidak akan begitu lalai membiarkan terpidana mati hidup kembali.” Ah, betul juga, batin Leona. Gadis itu memiringkan kepala sedikit, mengamati wajah menyerah Jackie. “Tidakkah kau punya penyesalan, Jackie?” “Tentu ada.” “Kemarahan? Rasa putus asa? Keinginan untuk mengulangi apa yang sudah terlanjur terjadi?” Jackie bingung dengan pertanyaan bertubi-tubi ini. “Betul, aku masih merasakan semuanya. Tapi untuk apa dikenang lagi? Rasa sakit ini, sudah aku tinggalkan dalam tubuhku di pekuburan belakang penjara. Keinginan mengulang? Hmph,” Jackie menghembus napas sinis, “Aku sudah ditakdirkan untuk mati. Aku takkan meminta apa-apa lagi.” Tangan halus Leona meraih kedua tangan Jackie, menatap matanya dengan serius. “Kembalilah, Jackie. Lakukan apapun yang masih belum kauselesaikan. Aku tidak memiliki siapapun di dunia ini lagi selain para pekerja di keluargaku. Aku pewaris tunggal tanpa keluarga dekat. Aku tidak ingin kembali hanya untuk melihat wajah lelaki busuk itu lagi. Tapi kau,” Leona mengeratkan pegangannya, “Kau bisa melakukan banyak hal.” Jackie tertegun. “B…bagaiman-a?” Leona melepaskan label namanya, menukarnya dengan milik Jackie. Sebelum Jackie menyadari apa yang terjadi, label nama Leona sudah terpasang di pakaiannya. “Kau—!” Jackie kehabisan kata-kata. “Tidak mungkin! Aku tidak mau!” Dia berusaha melepaskan label itu, namun ditahan Leona. Kedua wanita itu berebutan label, merusuh, namun Leona jauh lebih kuat. “Ya, ini mungkin, dan kau harus mau,” Leona bersikukuh. “Aku memiliki apapun yang kau butuhkan saat ini. Kekayaan, pengacara, sumber daya, koneksi, semuanya! Tolong kembalilah, Jackie,” pinta gadis itu seraya menggeleng. “Aku sudah muak dengan hidupku ini. Duniaku lamban, tumpul, kesepian. Setelah apa yang Roger lakukan padaku, aku tidak yakin masih punya keinginan mencari pasangan hidup lagi. Namun kau berbeda, Jackie! Kau masih punya orangtua, ‘kan? Teman? Kembalilah, dan selesaikan apa yang belum selesai bagimu! Kembalilah dan gunakan kesempatan ini sebaik mungkin! Kembalilah, dan gunakan hidup, tubuhku nanti, untuk mencapai cita-cita yang kau inginkan!” “Kau juga masih punya orang-orang yang menyayangimu, yang setia pada keluargamu,” Jackie ikut menggeleng pedih. “Bukankah, kita…menipu kematian?” Sebuah gemuruh dari arah langit menggelegar, namun gemuruh itu tidaklah menakutkan melainkan memberi pemahaman pada semua orang bahwa inilah waktunya. Satu-persatu, kelompok-kelompok yang bersantai tadi beranjak, berjalan memasuki pintu di ujung horison. Leona beranjak dari duduknya, menahan Jackie yang berusaha mencegah. Bahkan tanpa berjalan pun, sebuah kekuatan gaib membuat siapa saja yang masih tertinggal di padang rumput dengan label mulai memudar, bergerak sendiri menuju pintu itu. “Jika benar kita mampu menipu kematian itu, mari kita lihat, apakah aku bisa melewati pintu itu atau tidak? Jika bisa, maka berjanjilah untukku bahwa kau akan menjaga semua orang yang setia padaku selama ini. Perlakukan mereka dengan baik, terutama Tom dan Anna. Percayalah pada mereka, namun tetap jaga rahasia pertukaran jiwa kita!” Demikian permintaan terakhir Leona, bersorak ke arah Jackie yang tertinggal di padang itu bersama beberapa orang yang lain. Leona masuk ke pintu itu lalu hilang dari pandangan. Sebuah pertanda bahwa kematian ternyata tidak sepemilih itu dalam mengambil nyawa. *** Sementara itu, jauh di dimensi lain, di suatu bangunan beraroma steril, gumaman-gumaman kelegaan terdengar antara beberapa orang berpakaian hijau muda. Salah satu dari mereka berbisik-bisik pada yang lain, membuat yang dibisiki itu bergegas mempersiapkan tindakan selanjutnya: operasi kedua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD