Itu Adalah Milikmu

1590 Words
Ben yakin dia sudah menempuh pertigaan yang benar. Ini adalah kedua kalinya Ben berkunjung ke sini –kunjungan pertama saat itu ia pergi bersama Jackie. Walaupun begitu, Ben merasa masih ragu-ragu, meyakinkan dirinya bahwa ia tidak tersesat, karena kunjungan pertamanya itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Sudah banyak perubahan di sekitar kota. Ben bahkan tidak yakin apa warna cat rumah itu masih krem atau apakah Toko Elektronik Sona masih ada atau tidak. Untunglah, rasa pesimis Ben langsung menghilang tatkala ia melihat plang besar bertuliskan “Toko Elektronik Sona” sekitar tiga puluh meter darinya. Ben mempercepat langkah dan menghela napas lega: rumah itu masih berwarna krem. Setelah membunyikan bel dan menunggu beberapa lama, Ben menunggu hingga pintu dibukakan oleh seorang asisten rumah tangga –ia langsung tahu itu asisten rumah tangga karena wanita di depannya itu terbilang muda, dengan kain lap kotor di tangannya. Matanya memandangi Ben penuh selidik. “Selamat siang,” Ben menyapa ramah, “Saya Benedict Loski, ingin bertemu dengan Mr. dan Mrs. Chase. Apa beliau ada di rumah?” Wanita itu tidak menjawab, “Maaf, Anda siapanya keluarga Chase, ya? Saya harus berjaga-jaga, karena saat ini banya kriminalitas dan Mrs. Chase tidak berniat meladeni sales kar—” “Ben!” terdengar suara girang dari arah belakang wanita tadi. Kedua orang yang berdiri di depan pintu langsung menoleh. “Mrs. Chase,” sapa Ben. “Apa kabar, Nak?” sambut wanita tua itu sembari memeluk Ben. Dia mempersilakan Ben duduk dan segera memanggilkan suaminya yang ada di ruang tengah. Sementara itu, asisten rumah tangga tadi yang merasa ia tidak punya keperluan apa-apa di sini, langsung mengundurkan diri melanjutkan pekerjaannya. Mrs. Chase seorang wanita berusia enam puluh tahun dengan rambut berpotongan pendek dan putih seluruhnya karena uban. Suaminya, Mr. Chase lebih tua dua tahun darinya, dengan kepala sepenuhnya botak. Namun hal yang membuat Ben salut adalah kedua-duanya tampak segar bugar, berjalan dengan punggung tegap dan lurus, serta masih memiliki penglihatan dan pendengaran yang sempurna. Sepertinya keduanya benar-benar menghabiskan waktu dengan menjaga kesehatan mereka baik-baik. Setelah ketiga orang itu berbasa-basi, Ben langsung pada pokok pembahasan. Bahkan sebelum Ben menyentuh topik itu, samar-samar ia sudah melihat gurat kesedihan yang ditutup-tutupi pada wajah pasangan tersebut. Ben menguatkan hati dan menjelaskan bahwa eksekusi Jackie sudah dilaksanakan hari ini, dan dia sudah dimakamkan pada pukul sebelas. Ben menduga kedua suami-istri itu akan larut dalam emosi beberapa saat, namun dugaannya meleset: keduanya jauh lebih tegar meskipun tetap menitikkan air mata. “Terimakasih, Nak, sudah mengabari kami,” kata Mr. Chase sungguh-sungguh ketika ia menyeka air mata. Istrinya menghembuskan hidung dengan sapu tangan, lalu menutupi sebagian wajahnya. Mr. Chase melanjutkan. “Jackie memang selalu tidak ingin membebankan siapapun. Sejak ia tahu bahwa ia anak angkat kami –meskipun kami tidak menganggapnya seperti itu dan selalu memperlakukannya seperti anak kandung sendiri—Jackie sepertinya merasa perlu membalas budi, dan… mungkin bisa disebut tahu diri. Jackie sempat mengabari kami tentang hukuman yang diterimanya, tapi tidak pernah memberitahu kapan tepatnya waktu pelaksaaannya.” Ben mengangguk paham. “Dia juga membohongiku soal jam pelaksanaannya, Mr. Chase. Aku baru bisa datang ketika eksekusi sudah dilaksanakan dan mayat Jackie akan dipersiapkan untuk penguburan. Jackie juga berpikiran yang sama terhadapku.” Mrs. Chase sudah agak lebih tenang meski matanya masih berkaca-kaca. “Jackie anak yang manis dan baik.” Untuk beberapa saat perbincangan Ben dengan pasangan Chase berkisar tentang kenangan mereka mengenai Jackie. Ben tidak mencegah mereka, sebab kenanganlah yang membuat seseorang yang meninggal itu memang pernah hidup sebelumnya. Ben menunggu hingga suasananya tepat untuk memberitahu keduanya tentang catatan akhir hidup Jackie. Mr. dan Mr. Chase terkejut saat menerima catatan yang disodorkan Ben. “Ini… catatan Jackie kami?” “Benar, Mrs. Chase. Saya tahu dia menulis di sana bahwa catatan itu untuk saya, tapi saya rasa keluarga Jackie lebih berhak atas catatan itu.” Mr. Chase mengamati tulisan di halaman pertama sejenak dalam diam, lantas dengan tegas menggeleng, didukung istrinya. “Tidak, Nak. Bila Jackie telah memperuntukkan catatan ini bagimu, itu artinya kami tidak punya hak memilikinya.” “Tapi—” “Bawalah, Nak. Kau teman dekatnya, kau orang yang ia percayai. Mungkin ia merasa catatan itu akan lebih berguna bagimu ketimbang bila berada di tangan kami.” “Jackie juga pasti merasa ada hal-hal di sana yang hanya bisa dimengerti olehmu, karena kau seumuran dengannya, dibandingkan kami orantuanya,” Mrs. Chase menambahkan. Ben kembali protes, namun pasangan Chase bersikeras. “Kalau begitu… mungkin kalian bisa membacanya hingga selesai, setelah itu aku akan kembali lagi ke sini untuk mengambil catatan itu. Dengan begitu, catatannya tetap di tanganku.” “Nak,” kata Mr. Chase. “Kau sangat menyayangi Jackie, bukan? Begitu juga kami. Jadi mari kita tidak melanggar apapun tentang pesan terakhirnya, ya? Jangan mengkhianati kepercayaan Jackie padamu.” “Tapi membaca tidak melanggar sama sekali, Mr. Chase.” “Jackie sudah dengan jelas menulis bahwa catatan ini untukmu, yang artinya hanya kamu yang boleh memiliki dan membaca isinya. Ya, ‘kan?” Ben terdiam. Sementara dalam keheningan itu, Mrs. Chase segera meraih kedua tangan Ben. “Berjanjilah pada kami untuk menjaga catatan Jackie, ya? Itu sudah cukup bagi kami. Itu sudah seperti kau menjaganya setelah ia pergi.” *** “Paramedis tadi mengatakan denyut jantungnya sudah mulai melemah. Sudah dilakukan CPR, tidak ada reaksi.” “Segera ambil tindakan.” Begitu brankar yang membawa Leona diturunkan dari dalam ambulans, petugas rumah sakit bergegas mendorongnya ke dalam ICU, diiringi dua polisi yang sedari tadi mengawal ambulans dengan motor mereka masing-masing. Lampu indikator ruang ICU menyala merah, lantas pintunya ditutup. Kasak-kusuk dokter dan para perawat dari dalam ruangan gawat darurat tersebut bahkan bisa terdengar oleh kedua polisi yang berdiri di luarnya. Mereka saling bersahut-sahutan memberi dan menerima perintah medis sembari bekerja dengan cekatan. “Napas masih belum stabil. Ada trauma di otak.” “Pastikan oksigenasinya cukup.” “Baik, Dok.” “Cek tanda vitalnya sekali lagi, terutama temperatur dan denyut.” “Baik, Dok.” “Ada tulang dadá yang patah dan beberapa fraktur.” “Kita bisa melakukan operasi setelah kondisi pasien stabil.” “Dok, terdeteksi adanya haemothorax -pendarahan di rongga dadá. Cukup serius. Kemungkinan ada organ terdampak,” kata asisten dokter dengan wajah berpeluh dan frustasi. Dokter tadi tampak terdiam beberapa detik, lalu memutuskan untuk keluar dari ruangan. Dia perlu kepastian. Sesaat sebelumnya, ketika pintu unit gawat darurat masih tertutup, Tom Ruskin datang tergesa-gesa mencari bagian informasi untuk menanyakan keadaan Nonanya. Pelayan keluarga Seymour itu memang dihubungi polisi sebagai karena nomornya adalah nomor teratas yang sering dihubungi dan dinamai “Tom Ruskin – Kediaman Seymour” di kontak Leona. Tidak butuh waktu lama bagi Tom untuk tahu bagaimana keadaan Leona, sebab kedua polisi tadilah yang menemuinya segera. “Anda Tom Ruskin?” “Betul, Sir,” sahut Tom dengan tak sabaran dan gelisah. “Saya bekerja pada Nona Leona. Bagaimana keadaan beliau?” “Belum ada kepastian dari Dokter, namun sepertinya cukup serius,” kata salah satu polisi sambil melambaikan tangan ke arah ruangan gawat darurat. Napas Tom seakan tercekat, lantas ia terduduk di lantai rumah sakit yang dingin itu. “Bersabarlah,” kata polisi yang satunya menenangkan, “Kita doakan yang terbaik baginya.” Polisi yang tenang itu memapah Tom Ruskin yang masih gemetar sedih ke deretan bangku di dekat unit gawat darurat tadi dan duduk bersama pak tua itu. Polisi yang satunya –yang menginfokan keadaan Leona –masih berdiri dengan wajah sulit dimengerti. “Maafkan kami yang terkesan tidak berperasaan untuk memahami kondisi Anda saat ini, tetapi setahu saya Anda pelayan di kediaman Seymour? Dapatkah kami mengetahui keluarga dan karib terdekat Seymour untuk rincian detil pelaporan kecelakaan?” Tom Ruskin menggeleng pelan. “Nona Leona adalah pewaris tunggal, Sir. Tidak ada karib kerabat dekat yang tinggal di kota ini, bahkan di negara ini. Kebanyakan di luar negeri. Orangtua Nona tewas dalam kecelakaan lebih sedekade yang lalu. Sejak itu, saya dan istri saya, Anna Ruskin yang menjaga Nona. Untuk urusan keuangan dan biaya hidup, semuanya dipegang oleh pengacara keluarga. Jadi orang terdekat Nona saat ini adalah saya dan istri.” Polisi yang berdiri tadi nampaknya bersimpati. “Wanita yang malang.” Sebelum salah satu dari ketiga orang itu sempat berkomentara apa-apa lagi, pintu unit gawat darurat menjeblak terbuka, menampakkan sosok dokter berkening terlipat. Dengan cepat dia mendekati kerumunan. “Siapa wali Nona Leona Seymour?” tanyanya melihat ke sekeliling, tanpa mengarahkan pertanyaan pada polisi maupun Tom. Namun kedua polisi langsung memberi isyarat tangan kepada Tom bersamaan dengan Tom yang merespon dokter itu. “Saya walinya, Dok.” “Kami perlu mengoperasi pasien segera. Ada beberapa trauma (cedera) serius yang harus ditangani sesegera mungkin bila ingin menyelamatkan nyawa beliau. Saya butuh konfirmasi dan persetujuan dari wali.” “Baik, saya setuju. Tolong lakukan yang terbaik, Dokter,” lugas Tom. Dokter tadi mengangguk. “Nanti Anda bisa tinggalkan rincian-rincian lain mengenai pasien di bagian administrasi.” Si dokter tidak membuang-buang waktu melainkan segera kembali ke ruang tadi. Dalam waktu lima detik, ranjang Leona sudah didorong keluar secepat mungkin diiringi beberapa petugas medis yang berlarian. Dua-tiga dari mereka sudah mendahului menuju ruang operasi karena mereka perlu mempersiapkan peralatan. “Nah, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain menunggu dan berharap. Kalau Anda tidak keberatan, kami akan menanyai Anda di sini sebentar serta meminta data diri. Kami juga akan membantu Anda mengurusi detil administrasi nanti.” Tom Ruskin yang masih goyah mulai menguatkan diri. “Baik, Sir…-Oh! Tunggu sebentar,” katanya seraya merogoh saku, mencari-cari ponsel. “Saya harus menghubungi tangan kanan keuangan Seymour sebentar untuk keperluan biaya rumah sakit, sekaligus menginformasikan teman dekat Nona Leona.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD