Di Jalan yang Sama

1845 Words
Pukul dua belas, ketika semua orang sedang istirahat makan siang, Ben sudah menunggu di kursi taman dekat kantor. Rasanya ganjil berada di sekitar kantor di hari kerja, meskipun absen dirinya valid. Ben meletakkan kantong plastik di sampingnya ketika suara seseorang memanggilnya dari arah gedung itu. “Kak Kataoka!” sahut Ben sembari membalas lambaian tangan Joe Kataoka yang makin mendekat. Pria berumur empat puluh tahunan itu terlihat tetap masih muda dengan potongan rambut sebahu, celana jeans biru berpadu dengan kemeja yang tidak terkancing sepenuhnya. Dia terlihat mirip dengan Han Lue dari Fast and Furious, dan beberapa kolega kerja memang memanggilnya begitu. Kataoka berlari-lari kecil dan langsung duduk di samping Ben sembari menyugar rambutnya beberapa kali. “Bagaimana kabarmu?” tanya Kataoka, yang jelas sekali lebih pada perhatian, bukan basa-basi. Pria itu adalah atasan langsung Ben Loski dengan jabatan sub manajer, yang bertugas menaksir tulisan Ben yang layak dipublikasikan, mengedit, dan mengajukan pada kepala tim. Kataoka-lah orang pertama yang mesti menjadi tempat pertama pelaporan Ben maupun pengajuan cutinya, jadi dia tahu persis alasan Ben tidak hadir hari ini. Ben berusaha tersenyum dan membalas pertanyaan itu, namun tidak bisa. “Aku turut berduka atas kepergian kawanmu,” tukas Kataoka jujur, “Tentunya sangat sulit bagimu, apalagi kau sudah bersamanya sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu.” Ben masih tidak menjawab, melainkan menyodorkan kantong plastik dan memperlihatkan isinya pada Kataoka. “Aku membeli beberapa kaleng kopi dan roti isi. Ambillah Kak Kataoka, sebagai rasa terimakasihku sekaligus karena aku telah menyita jam makan siangmu.” Kataoka terkekeh. “Di luar jam kerja begini, panggil aku Joe saja,” ujarnya selagi mengambil sekaleng kopi pahit dan satu dari beberapa roti lapis di dalam kantong. “Kau tidak seharusnya sungkan begini jika ingin membicarakan sesuatu, sampai-sampai membawakan aku makanan dan minuman segala.” “Tidak apa-apa, Kak… eh, maaf,” ucap Ben buru-buru. “Sepertinya aku sudah terbiasa memanggilmu Kak Kataoka. Tapi… aku meminta Kakak ke sini bukan sekedar untuk berbicara, tapi juga sekaligus meminta sesuatu. Jika itu mungkin.” Kataoka memandangi Ben sebentar, lalu membuka kaleng kopinya dan meneguk kopi pahit itu. Karena Ben mengambil kaleng yang ada di lemari pendingin minimarket, kopi itu tak hanya terasa enak bagi Kataoka tapi juga menyejukkan. Ia mencecap-cecapkan lidahnya dengan puas. “Terimakasih, ya, kau sudah repot-repot membawakan kopi kesukaanku. Ini,” tangannya menawarkan kaleng kopi dari kantong bawaan Ben. “Kau juga harus minum denganku. Ahhh, segar sekali.” Kataoka menunggu hingga koleganya itu ikut minum sebelum menghirup kopinya sekali lagi, lalu melanjutkan obrolan dengan nada menyemangati, “Kau ingin membicarakan apa denganku, Ben?” Ben menghirup napas, lalu dengan lancar membicarakan tentang eksekusi mati Jackie yang tidak dapat ia hadiri karena kesengajaan Jackie, hingga sampai pada catatan yang wanita itu tinggalkan untuknya, yang berisi banyak hal-hal yang tidak banyak diketahui publik. “Kakak, apa mungkin kita mempublikasikan semua catatan Jackie ini melalui media, supaya kasusnya tidak jadi ditutup dan tetap diinvestigasi?” Ben memohon. “Kepala tim selalu mempercayai penilaian dan pertimbangan Kakak. Jika Kakak setuju dengan ideku, meyakinkan kepala tim tentu hal yang mudah.” Joe Kataoka mengangguk pelan, memahami keinginan Ben. “Kau sudah membaca semua isinya?” “Yah… belum, baru beberapa halaman. Jika Kakak ingin membacanya terlebih dahulu, aku membawa catatannya bersamaku,” Ben cepat-cepat membuka tas selempangnya dan mengeluarkan bundel kertas yang dimaksud. “Tidak, Ben, jangan,” Kataoka merentangkan lengan kanannya, menahan Ben mengeluarkan catatan itu dari tas. “Ben, Jacqueline Chase, temanmu sengaja menulisnya hanya untukmu. Bukan untukku. Dia mempercayaimu sebegitu dalamnya hingga mempercayakan kisah hidupnya hanya padamu. Bukankah itu suatu pengkhianatan saat kau malah menggembar-gemborkan curahan hatinya di media massa?” Bagai tersambar petir, Ben langsung menjadi kaku begitu pemahaman ini masuk ke benaknya. Kataoka menghela napas, lalu menghirup kopinya lagi. “Ben, aku paham betapa kau menginginkan keadilan untuk temanmu. Tapi ini bukan langkah yang tepat.” “Me…mengapa, Kak? Bukankah dengan begini kasus Jackie akan viral kembali? Dan kasus ini akan mendapat perhatian kepolisian dan hakim sehingga besar kemungkinan mereka akan membuka lagi kasus ini dan kembali menyelidiki,” Ben membela diri. “Kakak tentu tahu bahwa tekanan masyarakat sangat berpengaruh pada orang-orang yang bekerja dalam pelayanan masyarakat, seperti polisi. Jika masyarakat sudah mendesak meminta sesuatu, mereka mau tak mau akan melakukan sesuai permintaan itu, ‘kan?” “Betul,” Joe Kataoka membenarkan. “Namun kau melupakan poin penting, Ben.” “Apa itu, Kak?” “Bukti.” “Bukti?” “Ya. Apa yang kita punya sekarang adalah catatan dari sudut pandang Jacqueline, tanpa bukti-bukti konkrit yang dapat mendukung perkataannya. Jika ini dipublikasikan, selain kau telah mencederai kepercayaan Jacqueline, kau hanya akan menciptakan sensasi seperti gosip-gosip tabloid saja, dan kepolisian maupun pengadilan tidak akan tertarik untuk mengambil gosip picisan begitu. Jikalau masyarakat mendesak, mereka dapat membela diri dengan mengemukakan kurangnya bukti yang dapat membenarkan cerita Jacqueline. Kau paham?” Ben memandang Kataoka sesaat dengan putus asa, lalu mengangguk lemah. “Selain itu,” sambung Kataoka, “Kita ini penulis artikel di media terkenal dan sudah handal kredibilitasnya. Jika sudut pandang Jacqueline benar, maka media kita akan dihujat karena melanggar etika kepenulisan. Cerita pribadi orang tidak dapat diumbar begitu saja hanya karena kau dipercaya untuk mendapatkannya. Jika sudut pandang Jacqueline salah dan tidak ada satu-dua hal pun yang menyokong kebenaran ceritanya, maka kredibilitas media kita akan ternodai. Hal paling buruknya? Kita berdua plus kepala tim akan dipecat karena melakukan publikasi sembarangan.” Ben tidak merespon, namun hal ini dapat dengan cepat dipahami Kataoka. Lelaki itu mengambil satu roti lapis dan menyodorkannya pada Ben. “Aku paham kau ingin mengusahakan yang terbaik untuk temanmu, meskipun dia kini telah meninggal, kau tentu ingin dia dikenang dengan baik, bukan? Namun ada hal-hal yang harus dipertimbangkan. Setidaknya, jika kau memang bersikeras, carilah bukti pendukungmu. Semakin banyak, semakin bagus.” Wajah Ben agak lebih cerah mendengarkan perkataan Kataoka. Dia mengangguk, lalu menerima roti lapis dari sub manajernya itu. Sementara sang sub manajer mengambil satu roti lagi untuk dirinya sendiri. “Nah, mari makan.” Untuk beberapa saat, keduanya terdiam, sibuk mengunyah roti masing-masing. Hingga semenit kemudian, Joe Kataoka memecah keheningan. “Satu hal lagi yang bisa kusarankan padamu adalah menanyakan pendapat pihak ketiga.” Ben menelan rotinya. “Pihak ketiga?” “Ya.” “Siapa?” “Siapa lagi kalau bukan keluarga Jacqueline sendiri?” Kataoka balik bertanya. “Aku sudah memberikan pendapatku, namun mungkin mereka bisa memberikan saran yang lebih pas, terlebih ini menyangkut anggota keluarga mereka. Jacqueline masih punya orangtua, ‘kan?” “Ya, Kak. Masih.” Kataoka menepuk lututnya dengan ekspresi kemenangan. “Nah, daripada menunjukkan catatan Jacqueline kepadaku, bukankah orangtua mereka lebih berhak untuk mengetahui catatan itu, dan mungkin termasuk mengetahui tentang isinya? Mereka juga lebih berhak untuk memikirkan apakan menerbitkan tulisan anaknya adalah keputusan yang tepat atau tidak, bukan?” *** “Astaga, lukanya parah sekali.” “Ambulans mana ambulans?” “Cepat panggil ambulans!” “Sabar, sabar. Ambulans sudah dipanggil, kita cuma bisa menunggu sekarang?” “Bagaimana kalau kita pindahkan dulu tubuhnya? Kasihan kalau dibiarkan tergeletak begini.” “Ayo—“ “JANGAN!! BAGAIMANA KALAU ADA LUKA DALAM? TULANG RETAK? KALAU TAMBAH PARAH GARA-GARA DIPINDAHKAN, MEMANGNYA KAMU MAU TANGGUNG JAWAB?” “Minta paramedis segera ke sini supaya dia dapat pertolongan pertama!” “Ada yang punya nomor paramedis?” “Ya... maaf, saya ‘kan cuma menyarankan. Tidak bermaksud memperparah keadaannya, kok.” “MANA PARAMEDIS?” “Paramedis sudah di jalan. Harap bersabar!” “Polisi mana polisi? Kenapa belum ada yang datang, sih?” Keramaian yang gaduh yang mengelilingi Leona dan mobilnya yang ringsek itu akhirnya tenggelam oleh bunyi sirine polisi dan klakson dua motor yang ditunggangi paramedis. Polisi segera menghalau penonton yang berusaha dekat-dekat dengan tempat kejadian dan memasang perimeter, sedangkan paramedis dari rumah sakit segera mendekati tubuh Leona usai memarkirkan motor mereka dengan tergesa-gesa. Salah satu dari ketiga orang berseragam putih itu memeriksa mata, mulut, dan telinga Leona dengan menggunakan senter kecilnya. Satu lagi menekan karotid leher dan bagian jantung Leona, berharap denyutnya masih ada di sana. Sementara yang seorang lagi memeriksa memar dan luka di sepanjang lengan dan tungkai, serta menekan-nekan beberapa bagian kulit gadis itu. “Pernapasannya normal, tapi detak jantungnya terus melemah.” “Dugaan ada tulang yang patah.” “Kepalanya terkena benturan cukup parah. Semoga tidak ada pendárahan internal.” “Cepat beri elevasi pada kaki supaya aliran darah lebih banyak ke otak.” Ketiganya bergegas menaruh benda semacam bantal di bawah kedua tungkai Leona. Setelah itu, mereka berusaha mengolesi memar-memar ringan yang bisa mereka atasi. Salah satu dari mereka mengusahakan CPR, namun tidak ada reaksi. Tak lama kemudian, terdengar sirine ambulans meraung-raung dan mendekat secepat kilat. Ketiga paramedis itu bertukar informasi dengan petugas ambulans dan mereka segera menaikkan tubuh Leona ke dalam ambulans. Tak butuh semenit sebelum akhirnya ambulans pergi dengan sirine meraung-raung lagi, meninggalkan orang-orang yang berkerumun tadi sebagai penonton. Mereka berbincang sejenak setelah menyaksikan apa yang terjadi, lalu perlahan-lahan keramaian itu berangsur berkurang, menyisakan dua-tiga polisi yang berjaga di tempat kejadian. *** Siang itu, lalu lintas di Dandelion Highway yang biasanya lengang karena orang-orang masih sibuk bekerja atau istirahat siang, tiba-tiba jadi pusat perhatian karena kemunculan ambulans yang melesat dengan kecepatan luar biasa tinggi. Untunglah, hanya ada beberapa mobil dan bus-bus dalam dan antar kota yang beroperasi saat itu, sehingga tentunya ambulans itu akan bisa sampai dengan cepat di rumah sakit terdekat, Queen Mary Hospital. Penumpang-penumpang di bus yang bergerak pelan di sisi kiri tampak membuka kaca jendela mereka dan melongokkan separuh kepala keluar. Terdengar bisik-bisik di antara mereka, sebab setelah ambulans itu lewat, sebuah mobil polisi juga mengikut di belakangnya. Semua orang di dalam bus jelas menduga itu kecelakaan, termasuk Ben yang jadi salah satu penumpang. “Ada kecelakaan, ya, sepertinya?” Begitulah pertanyaan yang berulang-ulang mereka ajukan antara sesama penumpang. Sopir bus, yang sepertinya juga sama ingin tahunya, kemudian menyalakan TV yang terpasang di atas kepalanya, di samping panel tujuan. Begitu TV menyala, berita yang mereka harapkan pun muncul. “Sebuah kecelakaan tunggal mobil terjadi di dekat belokan menuju Lockheed Street. Pengemudi sekaligus korban dalam peristiwa tersebut teridentifikasi bernama Leona Seymour, 25 tahun. Korban terluka cukup parah dan sudah dilarikan ke rumah sakit terdekat Queen Mary.” Ben menyimak berita itu tanpa perasaan apa-apa selain simpati bagi si korban, sementara beberapa penumpang berusia lanjut tak jauh darinya bergumam betapa malangnya seorang wanita muda harus mengalami kecelakaan tersebut. Lelaki berambut keriting kecil-kecil itu sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Ben mengeluarkan notes kecil yang biasa ia bawa-bawa ke kantor. Notes itu sudah menjadi bagian dirinya, dimana ia mencatatkan kontak dan alamat-alamat penting, koneksi-koneksi yang ia butuhkan untuk riset artikel-artikel, kontak kerabat, juga alamat orangtua angkat Jackie. Sesampai di perhentian terakhir bus ini, aku hanya perlu naik bus kota jurusan nomor A10 dan berhenti di halte pertama, lalu masuk ke pertigaan terdekat di sebelah kiri, dan mencari rumah berwarna krem dekat Toko Elektronik Sona, batin Ben seraya terus mengamati tulisan alamat yang tertera di notes-nya itu. Beberapa kali ia mengulang-ulanginya, seperti merapal mantra, bahkan penumpang lanjut usia tadi yang sudah selesai dengan topik mengenai kecelakaan sekarang mulai membicarakannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD