Leona sudah berada di jalan utama lagi. Tujuan utamanya sekarang agak lebih jauh, yaitu kontrakan yang dihuni Jacqueline Chase, mantan istri Roger, bersama kedua anaknya setelah keduanya bercerai. Tempat itu sekaligus merupakan TKP kasus yang melibatkan Chase.
Setelah dua puluh menit memegang setir mobil, Leona akhirnya sampai di lokasi. Berada di dekat batas kota, tempat itu terbilang cukup sepi, seakan-akan mereka sedang berada di desa. Hanya jumlah bangunan yang banyak serta akses yang mudahlah yang meyakinkan Leona bahwa ia masih di dalam kota yang sama. Meskipun penghuni tempat ini sedikit, sarana transportasi, supermarket, sekolah dan tempat hiburan di sini mudah dijangkau seperti di pusat kota.
Leona tidak perlu banyak bertanya untuk mencari tahu posisi tepat kontrakan itu, karena dari kejauhan ia sudah melihat sebuah rumah kecil yang dilingkupi garis pembatas polisi berwarna kuning cerah. Ia berhenti persis di depan rumah itu, yang jika saja tidak dikelilingi garis polisi, rumah itu terlihat sama normalnya dengan rumah-rumah lain.
Leona turun dari mobil dan membungkuk melewati garis kuning, melihat-lihat di sekeliling rumah. Rumah itu terkunci rapi, dan tentu saja kuncinya dipegang si pemilik kontrakan. Gadis itu mengintip melalui jendela-jendela, dan begitu sampai di bagian rumah belakang, ia melihat kamar yang di lantainya dicoreti garis kapur dengan rapi.
Inilah pertama kalinya Leona melihat langsung garis kapur yang menandai posisi tubuh korban terakhir, yang selama ini hanya pernah ia saksikan di drama-drama TV.
“Tidak ada apa-apa di situ,” ujar seseorang dari arah samping. Leona terkejut dan berbalik.
Rupanya itu suara wanita tua tetangga sebelah kontrakan, yang telah melihat Leona mengintip-intip mencari tahu.
Wanita tua yang bungkuk itu bertanya lagi, “Kau keluarganya?”
Leona tersenyum tipis. “Tidak, Bu, saya hanya teman Jacqueline Chase. Saya… masih tak percaya seorang ibu seperti Jacqueline akan tega melakukan hal sekeji itu pada anaknya sendiri. Jacqueline adalah wanita yang baik,” kata Leona memulai umpannya.
“Iya, ‘kan? Kami semua tetangga di sini juga berpikir begitu,” wanita tua itu bergegas memakan umpan Leona. “Meskipun kami mengenal Jackie hanya beberapa bulan, tapi kami, orang-orang tua ini, bisa menilai dengan tepat siapa orang yang baik dan siapa yang hanya berpura-pura baik.” Wanita itu menaikkan dagunya dengan bangga.
“Kau pasti tahu dengan asisten rumah tangganya, itu, ‘kan?”
“Ah… saya kurang tahu, Bu. Saya tidak pernah melihatnya saat berkunjung ke rumah,” bohong Leona.
“Yah, memang gadis itu jarang di rumah, dan sekalinya di rumah, jarang keluar dari kamar anak. Dia hanya berdiam diri di sana mengurusi anak kembar Jackie, tidak pernah bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.”
Wanita itu mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada Leona, membuat posturnya makin bungkuk. “Aku yakin, Nak, bahwa gadis asisten itu tidak bisa dipercaya. Gadis liar.”
Leona tidak menjawab apapun, melainkan hanya tersenyum lemah. Kedatangannya ke sini bukan untuk menggosipkan orang, akan tetapi untuk mencari lebih banyak informasi tentang hubungan Roger dengan Chase dan apa yang telah menimpa Chase.
“Apakah mantan suaminya, Roger, pernah berkunjung ke sini, Bu?” tanyanya buru-buru mengalihkan topik.
Sekali lagi wanita tua itu menyambut pertanyaan Leona dengan semangat. “Aah, kau kenal dengan mantan suaminya? Ya, wajar, karena kau temannya, ya? Aku pernah melihat lelaki itu sekali ke sini, tapi hanya sebentar. Selebihnya, tidak ada. Dia benar-benar membuang wanita itu dan anak-anaknya sendiri.”
Wanita tua bungkuk itu kembali mencerocos tentang betapa tidak bergunanya mantan suami Jacqueline Chase, bahwa kemungkinan besar keduanya bercerai karena selingkuh, lalu mendoakan agar selingkuhan lelaki itu tidak beruntung hidupnya.
“Aku percaya dengan karma. Aku harap karma berbalik pada lelaki itu dan selingkuhannya,” cibir si wanita tua.
Leona Seymour merasa tertohok. Rasa bersalah menggerogoti jantungnya. Lagipula, mana mungkin dia menginginkan menjadi selingkuhan suami orang?
Ssetelah menghabiskan beberapa menit berikutnya mendengarkan celotehan wanita tua tetangga sebelah itu, Leona izin pamit. Dia memasuki mobilnya dengan perasaan kacau balau, bahkan tangannya agak gemetar saat memasukkan kunci untuk menyalakan mobilnya. Ia juga lupa mengenakan sabuk pengaman.
Di perjalanan, Leona kesulitan berkonsentrasi pada kemudi. Kepalanya dipenuhi rasa sedih, perih, empati, bercampur dengan gejolak amarah pada Roger yang menggombalinya.
Mengapa pria itu ingin menghancurkan hidup wanita-wanita di dekatnya? Apa dia tidak punya hati? Apa dia binatang? Bahkan binatang masih punya kasih sayang. Harimau yang seekor predator hanya akan memangsa binatang yang biasa ia makan, bukan merebut daging yang telah diperoleh harimau lain. Harimau bahkan jauh lebih terhormat.
Serbuan informasi-informasi membuat kepala Leona penuh. Emosinya yang menggumpal berat di d**a akhirnya meletup menjadi tangisan yang pecah. Leona meraung, matanya terasa kabur oleh derasnya air mata yang mengalir, dan kendaraannya bergerak semakin cepat.
Untuk kesekian kali dalam pagi ini, Leona membanting setir dengan tajam saat dia melewati belokan. Namun perasaannya sudah tak terkendali lagi, bahkan mobil itu seakan bergerak di luar kontrolnya walaupun jalanan sepi, terlebih karena kecepatan mobil itu dapat naik begitu cepat.
Mobil Bentley beratap terbuka Leona bergerak terlalu ke kanan, dan sebelum gadis itu menyadari apa yang terjadi, kap depan mobil telah mendobrak pagar besi pembatas jalan hingga hancur. Mobil terus meluncur hingga tepat menabrak pohon yang kokoh, membuat Leona bersama mobilnya yang saat itu dalam kecepatan tinggi, terlempar jauh. Tubuh Leona mendarat tak lama setelah terlempar, sedangkan mobilnya yang ringsek terus berguling-guling beberapa saat sebelum akhirnya berhenti sekitar sepuluh meter jauhnya dari Leona.
Leona Seymour kecelakaan.
***
Sesampai di flat, Ben langsung menuju meja makan dan melemparkan tas selempangnya ke atasnya. Flat Ben berbentuk minimalis, dimana satu ruang utama merangkap sebagai ruang tamu, ruang makan, sekaligus dapur. Selain itu terdapat kamar tidur, kamar mandi dengan toilet, serta satu kamar kecil tambahan yang biasa ia gunakan sebagai ruang kerja. Ben sedang tidak ingin berada di ruangan kerjanya yang sempit itu sekarang, ia merasa lebih leluasa untuk membaca catatan Jackie di ruang utama yang lapang, di atas meja makan yang luas.
Catatan itu hanya disatukan oleh dua penjepit kertas tebal di sisi yang lebih panjang. Ben melepas kedua jepitan kertas itu supaya ia lebih mudah membaca.
Halaman pertama seperti yang ia baca sebelumnya saat pertama kali menerimanya dari sipir, hanya berisikan tulisan:
Untuk Temanku Tersayang,
Benedict Loski
Lelaki berambut keriting itu lalu mengangkat kertas bagian depan tadi dan memisahkannya dari tumpukan.
Halaman kedua seperti paragraf pengantar dari Jackie. Ben membolak-balik halaman seterusnya, dan nampaknya Jackie amat cermat menomori semua halaman, sehingga meskipun catatan itu hanya dijepit oleh jepitan kertas dan sewaktu-waktu bisa tercerai-berai, pembaca tetap dapat menyusun semuanya sesuai urutan.
Berikut isi halaman kedua:
Dear Ben,
Saat kau membaca catatan ini, aku yakin bahwa aku sudah tak lagi di dunia ini. Aku sengaja tidak memberitahumu tentang jadwal tepat eksekusiku, karena aku tidak ingin menjadi lemah. Aku tidak ingin terlalu percaya diri bahwa kau akan menangisiku saat perpisahan kita, namun aku yakin bahwa aku pasti menangis saat itu. Berpisah dengan satu-satunya orang yang kupercaya begitu lama –selain orangtuaku, tentunya –bukanlah hal yang mudah. Setidaknya saat aku menghadapi sendirian, hukumanku takkan terasa begitu berat.
Ben, catatan ini adalah semua yang kurasakan sejak aku memulai hidup bersamaku dengan Roger hingga eksekusiku tiba. Di sini aku menyertakan semua hal-hal yang bisa kuingat, bahkan hal terkecil sekalipun, yang setelah kutuangkan dalam bentuk tulisan baru kusadari bahwa semua itu menunjukkan bahwa Roger bukanlah pria yang baik. Aku bahkan heran dengan diriku sendiri yang begitu buta terhadap hal-hal kecil saat bersamanya. Jika aku menyadari semuanya lebih awal, setidaknya sebagian dari apa yang aku punya bisa kupertahankan, dan Robbie dan Rossie yang manis takkan pergi sia-sia seperti ini. Jika aku menyadari lebih awal, aku akan lebih waspada dengan segala tindak- tanduknya, dan aku tidak akan dikenang sebagai seorang wanita bodoh dan jahat seperti sekarang.
Aku menyesali kurangnya usaha orang-orang yang kupercaya selama kasusku untuk bertahan di pihakku. Namun karena aku juga tidak lagi punya sumber daya untuk melakukan penyelidikan sendiri, toh ujung-ujungnya ini karena kelalaianku juga.
Mungkin kau akan mendapati catatan ini terlalu banyak dihiasi keluhan-keluhanku, jadi maafkan aku untuk itu. Kau bisa membacanya di waktu luangmu, jadi jangan sampai kau mengorbankan waktumu untuk mencerna perasaanku yang tidak berharga ini. Kuharap apa yang kutuliskan di sini bisa menjadi pelajaran bagimu agar tidak mengabaikan tanda-tanda kecil yang sebenarnya menunjukkan siapa orang di sekitarmu.
Menyayangimu selalu,
Jacqueline Chase
Ben melanjutkan membaca beberapa halaman selanjutnya. Semakin jauh ia membaca, semakin perasaan hangat karena melihat tulisan Jackie itu hilang berangsur-angsur, berganti dengan rasa sedih untuk wanita itu. Setelah menit-menit berlalu, bahkan mungkin sudah satu jam, Ben mengangkat kepalanya dari kertas itu, lalu memandang dinding flatnya yang berwarna off-white polos.
Apa yang bisa kulakukan agar kasus Jackie diusut kembali, Ben bertanya-tanya dalam hati sambil bersandar di kursi dan meletakkan kedua lengan di belakang kepala.
Tiba-tiba saja sebuah ide memasuki kepalanya. Ben meraih tas di atas meja, mengambil ponsel, mencari-cari nama kontak lalu mendialnya.
“Halo?” tanya suara di seberang. Di belakang suara itu terdengar suara-suara lain yang ramai namun teredam. Jelas dia masih di kantor.
“Halo, Kak. Ini aku, Ben.”
“Ya, aku tahu. ‘Kan namamu muncul saat kau memanggilku. Ada apa? Bukannya hari ini kamu cuti, ya?”
“Betul, Kak.”
“Kalau sedang cuti, tidak usah memikirkan pekerjaan dulu. Sampai menghubungiku segala. Kau istirahat saja. Daaah.”
“Eh, tunggu, Kak!” ucap Ben buru-buru. “Sebenarnya aku ingin bertemu dengan Kakak. Sebentar saja.”
Diam sejenak di ujung panggilan. “Soal pekerjaan?”
“Bukan. Soal lain. Hmmm… Apa kita bisa bertemu di jam makan siang, Kak?”
“Boleh. Di depan gedung kantor saja, ya?”
“Baik. Terimakasih, Kak. Sampai jumpa nanti.”
“Yo.”