bc

Gerimis, saat Aku Jatuh Cinta dan Patah secara Bersamaan

book_age12+
230
FOLLOW
1.4K
READ
second chance
friends to lovers
goodgirl
drama
sweet
bxg
childhood crush
enimies to lovers
first love
friendship
like
intro-logo
Blurb

Yamazaki Sakura adalah gadis yang tinggal di tengah keluarga miskin di Sapporo, Hokkaido, Jepang. Ayahnya adalah seorang pemabuk dan penjudi yang kasar terhadap keluarga. Saat SD, Sakura bertemu dengan Evan Komatsu dan berteman baik hingga SMA.

Sayangnya, ketika SMA teman baiknya tidak dapat lagi dihubungi dan memutuskan hubungan dengan Sakura begitu saja. Merasa patah hati, Sakura memutuskan untuk pindah ke Tokyo.

Keberadaan Sakura di Tokyo tidak berjalan mulus seperti yang ia bayangkan. Pasalnya, ia bertemu dengan pria bernama Ryu Masaki yang pernah ditemuinya tiga tahun lalu sebagai pria yang menyebalkan, kini menjadi atasannya.

Pada akhirnya, Sakura harus dibingungkan dengan cinta segitiga yang menyangkut Ryu dan sosok di masa lalunya, Evan.

Akankah Sakura mengambil keputusan dengan tepat?

chap-preview
Free preview
Masa Kecil Sakura
Aku tidak tahu bagaimana arti keluarga sebenarnya. Aku juga tidak paham, peran-peran yang harus dilakukan setiap anggota keluarga, seperti yang guru sampaikan di sekolahku. Katanya, seorang ayah adalah sosok pria yang bijaksana. Memberi nafkah serta pengajaran kepada keluarga dengan tegas dan lemah lembut. Benarkah seperti itu? Aku tidak sepenuhnya percaya, sebab ayah yang ku temui selama ini adalah ayah yang suka memarahi kami, memukul dan memaki tanpa alasan yang jelas. Jadi, peran ayah sebenarnya itu yang seperti apa? Kemudian guruku juga menyampaikan bagaimana sosok ibu yang sangat mengayomi anak-anaknya. Menenangkan ayah ketika lelah dan marah, juga mengarahkan saat ayah merasa bimbang. Namun, sekali lagi aku tidak percaya. Sosok ibu yang ku temui selama ini adalah wanita yang sangat lemah. Jangankan untuk melindungiku, melindungi dirinya sendiri dari tendangan ayah saja ia tak mampu. Saat aku dicubit, ibu tak berani menarik ayah. Pernah ibu bertengkar hebat karena ayah memukulku, dan berakhir dengan lebam di sekujur tubuhnya. Ku rasa itu membuatnya takut untuk melindungiku. Dan sekarang giliranku sebagai anak. Teman-temanku terlihat sangat gembira saat guru kami mengatakan jika kami menjadi anak yang baik, maka ayah dan ibu pasti akan semakin menyayangi kami. Dan lagi, aku menganggap apa yang guru sampaikan adalah sebuah kebohongan besar. Aku selalu berusaha baik selama ini. Bahkan, aku selalu berusaha menjadi anak yang tidak rewel dan penurut, tetap saja setiap hari aku selalu mendapat cubitan dan makian dari ayah. Jadi, bagaimana sebuah keluarga yang sebenarnya? Namaku Yamazaki Sakura, lahir sebagai keluarga Yamazaki di Ibu Kota Prefektur Hokkaido, Sapporo. Tahun ini aku menginjak usia kesembilan tahun. Seperti anak-anak pada umumnya, aku duduk di salah satu Shogakko atau Sekolah Dasar Negeri di sana. Meski aku terus bertumbuh, tapi kehidupan di keluargaku masih sama, dipenuhi oleh k*******n dan teriakan dari ayah setiap hari. Hal itu membuatku merasa sangat senang jika tengah berada di sekolah. Saat yang lain bersorak gembira ketika bel pulang berbunyi, aku malah merasa sedih dan ingin lebih lama berada di sekolah. Terkadang, aku akan berjalan sangat lambat saat pulang sekolah dan bergegas ketika berangkat hanya untuk menghindari omelan ayahku. Benar, aku sering merasa sangat lelah saat di rumah. Bahkan pesan guru untuk belajar di rumah tak bisa ku lakukan, karena ayah selalu memaki dan memaki sepanjang waktu. Gerimis yang datang saat pulang sekolah juga membuatku sangat senang. Selain baunya menenangkan, gerimis juga memberiku alasan untuk lebih lama di sekolah karena payung yang tidak pernah ku bawa, bahkan sepertinya aku tidak memilikinya. Siang ini, gerimis kembali datang. Aku tersenyum saat teman-temanku mengeluh saat lupa tak membawa payung. Apakah aku jahat jika bahagia ketika yang lain merasa putus asa? Aku duduk di selasar ruang kelas 3, memandang gerimis seorang diri. Tak terlalu deras memang, tapi aku tidak mau beranjak dan berharap gerimis semakin deras dan aku akan bertahan lebih lama di sini. Satu persatu siswa hilang dari pandanganku, ada yang memutuskan untuk menunggu di jemput, ada pula yang nekad menerobos hujan, 'tidak sabaran,' batinku. Seperti yang ku harapkan, gerimis semakin deras. Ku buka sebuah buku yang tak bersampul, mencoba kembali mengulang pelajaran yang tadi Bu guru sampaikan. Saat aku tengah membacanya, tiba-tiba terdengar derap langkah mendekatiku. Pura-pura tak mendengar, aku pun tak menoleh. Hingga, sepasang sepatu sekolah berhenti tepat di sebelahku. "Kamu lupa membawa payung?" ucapnya, aku tidak menoleh dan hanya mengangguk mengiyakan. Tanpa izin, ia langsung duduk di sebelahku. Jika didengar dari suaranya, ia adalah salah satu siswa lelaki yang tidak ku kenal, membuatku sedikit tidak nyaman. Ku geser tubuhku sedikit menjauh. "Kau mau?" Ia menyodorkan sebuah nasi kepal padaku. Ingin ku tolak, tapi perut yang sedari pagi belum diisi tak bisa dibohongi. Dengan pelan, ku ambil nasi kepal yang ia berikan, "terima kasih," ucapku tanpa menoleh. Ku gigit nasi kepal itu, rasanya sangat enak hingga membuatku hampir menangis. Rasa-rasanya, ini adalah makanan terenak yang pernah ku makan selama aku hidup. Aku terus mengunyah dan menelan, sungguh luka di rumah serasa ku lupakan begitu saja. Lama kami terdiam, siswa di sampingku kembali mengajakku berbincang. Merasa tak enak, aku pun menoleh, sebuah senyum terukir sangat indah di bibirnya. Tiba-tiba, ia mengulurkan tangan padaku, "Namaku Evan, Komatsu Evan," ujarnya memperkenalkan diri. Dengan ragu, ku sambut uluran tangannya, "Sakura, Yamazaki Sakura," balasku. Lagi, ia tersenyum. Ku akui senyumannya sangat indah. Entah karena aku jarang memperhatikan teman-temanku tersenyum, atau memang Evan memiliki senyum yang sangat hangat. "Aku juga lupa membawa payung, orangtuamu belum menjemput?" tanyanya lagi. Kali ini aku menjawabnya dengan sebuah kalimat, ku rasa Evan adalah anak yang baik. "Sepertinya orangtuaku sibuk dan tak bisa menjemputku," ujarku berbohong, karena sampai malampun tidak ada yang akan menjemputku kendati ayah dan ibuku tidak sibuk. Mendengar jawabanku, Evan mengangguk kecil, "kita bisa menunggu mereka bersama, orangtuaku juga sedang ada urusan, dan menyuruhku menunggu sebentar," jelasnya. Aku mengangguk, dan mencoba tersenyum. Entah mengapa perasaan hangat ini mengalir begitu saja. Evan sangat pandai bergaul, buktinya kami dengan cepat akrab. Padahal, aku termasuk anak yang tidak suka berbicara banyak dengan orang lain. Namun, dengan Evan aku merasa bisa berbincang dengan normal. Bahkan, sikap lucu Evan sesekali membuatku tertawa. Banyak hal yang kami bicarakan, dari pelajaran hingga permainan yang biasa Evan mainkan. Aku sangat senang mendengarkan ceritanya. Hingga cukup lama, tiba-tiba ada suara yang memanggil nama Evan, sepertinya ia sudah dijemput. "Aku sudah dijemput," ucapnya. Aku mengangguk, "pulanglah lebih dulu, sebentar lagi orangtuaku pasti datang," kilahku. Ia mengangguk dan segera berlalu. Sebenarnya aku sedikit sedih, saat Evan berpamitan pulang padaku. Keheningan kembali menemaniku, bersama hujan yang masih enggan untuk berlalu. Saat aku kembali memandang hujan, Evan berlari menghampiri, menyodorkan sebuah payung saat tiba di depanku. "Pakai ini, takutnya orangtuamu belum datang," ujarnya. Ku raih payung itu dan mengucapkan terima kasih sekali lagi. Ku buka payung yang Evan pinjamkan, memakainya untuk pulang ke rumah. Sebenarnya aku ingin lebih lama di sekolah, tapi mengingat Evan meminjamkan payung aku jadi ingin segera memakainya. Tak lama berjalan, aku sampai di depan rumah kumuh dengan satu pintu. Ku simpan payung yang Evan pinjamkan ke dalam tas sebelum masuk rumah, dan bergegas masuk setelahnya. "Aku pulang," sapaku sembari menutup pintu. Tak ada jawaban, hanya terdengar suara gemericik air di belakang, sepertinya ibu sedang mencuci baju. Ku letakkan tas di kursi dapur dan segera mendekati ibu untuk membantu. Namun, belum sempat aku duduk ibu sudah menyadari kehadiranku dan menyuruhku untuk makan saja, tidak usah membantu. "Kau sudah pulang? Makanlah, ibu sudah menyiapkannya di meja," ucap ibu tanpa menghentikan aktivitas mencucinya. "Ibu sudah makan?" tanyaku, melihat ibu yang sepertinya sangat kelelahan. Menjadi buruh cuci, membuat ibu tak sempat makan. "Ibu sudah kenyang, kamu makan saja," jawabnya, aku tahu ibu berbohong. Tanpa menjawab lagi, aku berlalu menuju dapur, membuka tudung saji dan meraih piring yang hanya berisi nasi sisa semalam dan kedelai yang ibu hangatkan. Belum selesai ku suapkan satu sendok ke mulut, tiba-tiba ayah keluar dari kamar dan merebut jatah makan siangku. Begitulah ayahku, kerjanya hanya mabuk, tidur, dan membuat masalah di rumah. Aku heran, kenapa ibu tidak pergi saja dari pria seperti ini. "Ayah lapar," ujar pria berbadan kurus, merebut piring di depanku. Mendengar itu, ibu tergopoh menghampiri kami dan mencoba mengambil jatah makanku dari ayah. Sudah kuduga apa yang akan terjadi, ayah mendorong ibu dan membentaknya. Aku hanya menghela napas, tak ada rasa takut pada ayah. Hal ini, sudah menjadi tontonan sehari-hari, aku hanya sudah terbiasa. "Tak apa Bu, aku sudah makan," ujarku, kemudian meninggalkan dapur menuju kamar. Apakah semua keluarga seperti ini? Apakah Evan juga memiliki ayah yang kasar? Mungkinkah hanya aku yang merasakannya? Jika iya, kenapa harus aku yang Tuhan pilih?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.9K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

My Secret Little Wife

read
98.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook