1. Terpesona

2239 Words
Dua minggu lagi keponakan kesayangan Ofelia akan merayakan ulang tahunnya yang kesepuluh. Ofelia ikut disibukkan mempersiapkan acara spesial anak tunggal dari kakak sulungnya yang bernama Aline. Beruntung hari ini tanggal merah, sehingga ia memiliki waktu luang menemani kakak iparnya yang tak lain adalah ibu Aline mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan di pusat kota Jakarta untuk berbelanja keperluan pesta ulang tahun Aline. “Cakep ini buat Aline,” ucap Ofelia pada sebuah gaun berpotongan cantik dan elegan dengan warna dominan biru muda, warna kesukaan Aline. “Tapi kemahalan nggak sih, buat anak seusia Aline?” komentarnya setelah melihat price tag yang menggantung di bagian belakang gaun. Hera refleks melihat ke arah yang ditunjuk oleh Ofelia. “Cakep juga. Nggak kemahalan kok. Standar aja harganya. Sesuailah sama model dan bahannya,” balas Hera santai. “Menurut lo Aline bakal suka?” tanya Hera meminta pendapat Ofelia. Tentu saja Hera tidak perlu mengkhawatirkan soal harga jika ingin membeli sesuatu karena pendapatan bersih suaminya dari bisnis properti dan perhotelan membuat wanita itu hidup serba berkecukupan bahkan cenderung berlimpah. Bahkan meski sudah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, Ofelia juga sering kecipratan rizki dari kakak-kakaknya. Apalagi dia anak bungsu dan anak perempuan satu-satunya dalam keluarga. “Suka, kok. Anak itu apa pun model baju selama masih ada unsur warna sky blue dia pasti suka,” ucap Ofelia. “Dijadiin kado juga oke, nih…” sambung Ofelia meyakinkan sang kakak ipar pada pilihannya. “Ya, janganlah, Dek. Kado beda lagi,” balas Hera sembari terkekeh. Akhirnya Ofelia tak mendebat keputusan kakak iparnya setelah melihat gaun pilihannya sudah berada di atas meja kasir, beserta beberapa potong pakaian yang harganya di luar nalar untuk ukuran pakaian anak di bawah umur, menurut Ofelia. Setelah keluar dari outlet pakaian anak-anak, Ofelia mengajak Hera untuk makan siang karena perutnya sudah mulai protes ingin segera diisi. Sekarang sudah jam dua siang sedangkan dia hanya sarapan roti selai kacang pada jam delapan pagi. Ketika Ofelia sedang menunggu pesanannya datang tiba-tiba Hera melontarkan sebuah pertanyaan padanya. “Dek, akhir-akhir ini gue perhatikan tiap weekend lo selalu ada di rumah Mami. Biasa juga nongki-nongki sama temen kantor lo yang bule itu. Siapa, deh, namanya… Aril, Sahril, Azril?” Ofelia terbahak mendengar deretan nama-nama orang yang disebutkan oleh kakak iparnya itu. Ditambah lagi tidak ada satupun yang benar dan wanita itu merasa kesal pada dirinya sendiri karena selalu mengalmai kesulitan dalam mengingat nama seseorang meski sudah beberapa kali bertemu. “Aril siapa, Kak? Vokalis band? Ya kali gue begaul sama artis,” balas Ofelia di sela tawanya. “Lagian sejak kapan Aril kayak bule?” Tak ayal komentarnya itu membuat tawanya pecah sekali lagi. Hera pun ikut tertawa berkat komentar lucu adik iparnya itu. “Ya, gimana…, Kakak ipar lo yang satu ini payah banget dalam hal nginget nama orang,” ujar Hera membela diri. “Siapa sih, pokoknya temen kantor lo yang ada bule-bulenya itu.” “Daryl?” tebak Ofelia. “Nah, iya. Maksud gue itu Daryl. Masih jalan sama dia lo?” “Maksudnya jalan yang gimana ya, Kak? Bisa agak spesifik nggak pertanyaannya?” “Jalan dalam artian kencan gitu.” “Kencan apaan? Orang gue sama dia cuma temenan doang. Lagian si Daryl itu ada pacarnya, Kak.” “Oh, sama lo udah putus?” “Putus gimana? Nyambung aja nggak,” jawab Ofelia sembari terkekeh geli. “Jadi lo sama temen bule lo itu nggak pernah pacaran selama ini?” tanya Hera terheran-heran. “Ya, nggaklah. Kita cuma temen kantor tapi kadang hangout bareng kalau lagi senggang after office hour,” jelas Ofelia santai. Hera hanya bengong mendengar penjelasan Ofelia soal hubungan pertemanan yang dijalani oleh adik iparnya itu. Dimana laki-laki yang sedang mereka bahas adalah laki-laki yang menurut pemahaman Hera sebagai wanita, lebih pantas menjadi pacar Ofelia dibanding hanya sekadar teman kantor. Namun melihat ekspresi dan tatapan Ofelia yang sama sekali tidak menyiratkan kesedihan layaknya seseorang yang baru saja mengalami patah hati akibat putus cinta, Hera percaya seratus persen pada penjelasan adik iparnya, bahwa laki-laki bernama Daryl yang sedang mereka bahas adalah benar-benar hanya sebatas teman kantor yang terkadang juga menghabiskan waktu untuk hangout dengan Ofelia di luar jam kantor. Justru Hera yang kini memandang iba pada Ofelia. Ketika usia Ofelia masih 27 tahun tidak ada satupun anggota keluarganya yang mengkhawatirkan soal jodoh si bungsu ini, meski semua juga tahu bahwa Ofelia belum memiliki pacar bahkan calon pacar. Namun kini saat usia Ofelia hampir memasuki angka 30 dan belum menunjukkan gelagat memiliki calon pacar apalagi pacar, satu persatu anggota keluarganya mulai mengkhawatirkan kehidupan percintaan si bungsu. “Tapi lo cocok sama si bule itu, Dek. Kenapa nggak nyoba ningkatin hubungan kalian dari cuma sekadar teman kantor jadi calon teman hidup? Ya, pertama-tama coba pacaran dulu. Lagian status hubungan dia masih berpacaran, kan? Belum menikah dengan pacarnya itu, kan?” lanjut Hera masih ingin membahas soal Daryl. Ofelia terdiam. Membicarakan Daryl membuat ia jadi teringat awal mulanya bertemu Daryl hingga bisa betah berteman dengan laki-laki berparas bule itu selama hampir tiga tahun tanpa sekalipun pernah membawa perasaan spesial di dalam pertemanan mereka. ~ Ofelia bertemu Daryl untuk pertama kalinya sekitar dua setengah tahun yang lalu. Saat itu keduanya adalah seorang trainee muda di perusahaan food and beverage asal Jerman yang beroperasi sekaligus memiliki cabang pabrik di Indonesia. Salah satu dari lima perusahaan terbesar di bidang yang sama itu bernama Riilfud. Ofelia tidak memiliki ekspetasi apa pun ketika Daryl memperkenalkan diri hari itu. Awalnya Ofelia tidak terlalu memerhatikan keberadaan Daryl di ruang pertemuan kantor Riilfud pagi itu. Terlebih bukan hanya mereka berdua saja calon trainer yang mendapatkan kesempatan bertatap muka langsung dengan Tuan Frederick, founder Riilfud yang sengaja datang jauh-jauh dari Jerman untuk menemui para eksekutif muda dan siap mengabdikan diri di perusahaannya. Ada lima orang yang hadir di ruangan itu termasuk Daryl dan Ofelia. Sampai ketika Daryl berdiri dan menjadi orang pertama yang memperkenalkan diri di ruangan itu setelah Tuan Frederick masuk. Setelah diperhatikan lama-lama ternyata Daryl tidak hanya tampan, tapi gaya berpakaian dan gaya bicaranya sangat menunjukkan bahwa dia adalah pria cerdas, mapan dan menawan. Ada sesuatu dalam diri Daryl yang membuatnya layak menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya. Tidak hanya memiliki penampilan yang menarik, dia juga memiliki manner dan attitude yang bagus. Namun meski terlihat sopan dan santun, entah kenapa Ofelia merasa perlu berhati-hati pada laki-laki yang hampir memiliki nilai sempurna hanya dalam sekali pertemuan itu. Pertemuan yang dihadiri oleh Ofelia membahas soal proses pelatihan kerja yang akan diikuti oleh para peserta pelatihan muda di Jerman pekan depan. Tak hanya menyampaikan hal-hal penting terkait pelatihan kerja, hari itu juga dibagikan amplop coklat ukuran kwarto yang berisi tiket pesawat, modul yang berisi materi pelatihan kerja serta jadwal acara selama di Jerman nanti. Urusan paspor dan visa juga selesai diurus oleh perusahaan dua hari yang lalu. Jadi bisa dipastikan Ofelia hanya perlu mempersiapkan diri untuk mengikuti pelatihan kerja selama kurang lebih sepuluh hari. Selama hampir tiga jam dengan beberapa sesi dalam pertemuan yang dihadiri Ofelia hari itu berakhir pukul dua siang. Setelah dirasa tidak ada yang perlu ditanyakan lagi Ofelia meninggalkan ruang pertemuan bersama dengan peserta pelatihan lain yang sudah lebih dulu berpamitan pada Tuan Frederick. Ofelia sama sekali tidak memerhatikan Daryl lagi karena setelah bersalaman dengan bos Riilfud beserta petinggi HRD yang mendampingi pria berkebangsaan Jerman tersebut, gadis itu nyelonong pergi tanpa sempat basa basi dengan yang lainnya. Saat berada di lift menuju basement tiba-tiba perut Ofelia terasa perih. Dia mengangkat tangan kiri untuk melihat jam yang melingkar di pergelangannya. Jarumnya sudah menunjukkan pukul dua. Dia baru sadar kalau belum makan siang. Tadi ketika berangkat ke kantor Riilfud, dia memang belum sempat sarapan. Perutnya hanya diisi sepotong croissant dan americano ice yang ia beli di coffee shop tak jauh dari gedung perkantoran tempat kantor Riilfud berada. Namun dia cukup yakin bukan itu penyebab tubuhnya menunjukkan sinyal sakit. Sepertinya bukan karena telat makan. Pikir Ofelia. Setelah diingat-ingat dia baru sadar kalau tanggal ini sudah waktu periodnya. Ofelia memelankan langkah ketika keluar dari lift. Ia takut jika berjalan tergesa semakin memperparah nyeri di perutnya. Gadis itu memutuskan mengistirahatkan tubuhnya di salah satu sudut basement. Posisi parkir mobilnya cukup jauh dari pintu basement sehingga dia perlu usaha lebih keras untuk mencapainya. Ofelia mengaduk-aduk tasnya untuk mencari obat anti nyeri yang biasa ia bawa di tasnya. Dia segera memasukkan satu butir obat ke mulutnya dan berharap sakit di perutnya segera membaik. Tak berselang lama Ofelia mendengar suara laki-laki di belakangnya. “Hey, kamu kenapa? Ada masalah?” Ofelia refleks menoleh lalu menggeleng cepat. “Nggak kenapa-kenapa. Nggak ada masalah juga,” jawabnya sambil menegakkan tubuh lalu melanjutkan langkah menuju tempat mobilnya diparkir. Laki-laki yang tak lain adalah Daryl itu menatap tak percaya. Dia terus mengikuti langkah Ofelia yang sedikit sempoyongan. Dia mengkhawatirkan gadis yang wajahnya terlihat lebih pucat dari terakhir mereka bertemu beberapa menit lalu. Daryl mempercepat langkah ke arah Ofelia yang kini sedang bersandar pada sebuah mobil. “Ini mobil kamu?” tanya Daryl melihat Ofelia yang terus menekan tombol pada kunci mobilnya. “Iya, ini mobil aku. Mungkin alarmnya lagi eror,” jawab Ofelia. “Saya rasa ini bukan mobil kamu. Soalnya ada mobil lain yang ngeluarin bunyi blip-blip waktu kamu nekan remote control,” ujar Daryl sembari menunjuk ke arah mobil tipe citycar warna putih yang berada di baris berikutnya. “Oh, iya. Aku belum begitu hapal. Sebenarnya yang aku bawa mobil kakakku,” ucap Ofelia, lalu menegakkan tubuhnya dan mulai melangkah lagi. “Perlu bantuan?” “Nggak perlu. Terima kasih.” Ofelia terus melangkah dengan cepat. Hingga tanpa terasa tubuhnya tiba-tiba terasa ringan hingga membuatnya seperti limbung ke belakang. Beruntung Daryl belum beranjak dari tempatnya berdiri dan mata terus tertuju ke arah Ofelia, sehingga dia bisa dengan sigap melompat ke arah Ofelia dan menangkap tubuh gadis itu. Tanpa ragu Daryl membantu Ofelia berjalan ke arah mobilnya yang benar. Ofelia sama sekali tidak bisa menolak bantuan yang diberikan oleh Daryl. Tubuhnya terlalu lemah untuk mengeluarkan sinyal hati-hati pada orang asing saat ini. Kendati begitu Ofelia merasa sedikit tenang karena orang yang sedang membantunya ini tidak terlalu asing juga. Setidaknya keduanya sudah saling berkenalan beberapa menit yang lalu. Dan mereka berada di tempat kerja yang sama. Sambil membuka pintu mobil bagian penumpang Daryl berkata, “Saya antar kamu pulang. Katakan di mana alamat rumahmu.” Ofelia yang merasa lebih baik setelah duduk di mobilnya menggeleng cepat, “No, thanks.” Ofelia lalu bergeser ke arah bangku sopir dan mulai menyalakan mesin mobilnya. “Kamu yakin bisa nyetir sendiri dengan selamat sampai rumah?” tanya Daryl tak yakin. “Iya, aku nggak apa-apa. Tadi cuma agak pusing. Mungkin tekanan darahku turun. Sekarang sudah lebih baik,” ujar Ofelia berusaha meyakinkan Daryl yang kini sedang menatapnya penuh waswas. Daryl mengangguk paham. Dia sedikit menjauh dari mobil Ofelia untuk memberi jalan pada gadis itu supaya bisa mulai menjalankan mobilnya. Setelah mobil Ofelia berlalu dia sendiri bergegas menuju mobilnya yang terpakir tak jauh dari sana. Dia segera menyalakan mesin mobil dan melajukannya mengikuti mobil Ofelia. Entah kenapa ada sesuatu yang muncul secara tiba-tiba di dalam hatinya yang ingin memastikan bahwa Ofelia harus sampai rumah dengan selamat. Selama ini ia tidak pernah begitu memedulikan kondisi orang yang baru dikenalnya sekalipun orang itu adalah wanita. Namun pengecualian untuk Ofelia. Seperti memiliki firasat buruk pada saat memutuskan mengikuti mobil Ofelia, Daryl menebak gadis itu sedang tidak sehat sehingga tidak akan mengemudi dengan kecepatan melebihi rata-rata. Sehingga bukan hal sulit bagi Daryl untuk menyusul mobil Ofelia. Sesaat setelah Ofelia memasuki salah satu rumah besar bergaya klasik yang terletak di sebuah kawasan pemukiman padat penduduk, tiba-tiba saja Daryl merasakan sebuah kelegaan yang luar biasa. Dia kemudian melajukan mobilnya kembali meninggalkan rumah yang telah dimasuki oleh mobil Ofelia, melanjutkan perjalanannya sendiri. ~ Hari itu adalah hari pertama Ofelia bekerja di Jakarta dan dia tidak membuat persiapan dengan baik terutama dalam menghadapi tamu bulanannya. Beruntung dia selalu sedia obat anti nyeri di dalam tas sehingga sakit di perutnya bisa teratasi untuk sementara waktu. Setidaknya sampai dia kembali ke rumah dengan selamat. Tiba-tiba saja Ofelia meringis membayangkan jika terjadi sesuatu hal yang buruk saat di jalan pulang tadi. Ofelia yang tinggal di Jepang selama sepuluh tahun masih harus membiasakan diri kembali dengan situasi dan kondisi jalanan Jakarta. Belum lagi dia masih agak canggung karena harus mengendarai mobil sendiri. Sementara ketika tinggal di Jepang dia terbiasa menggunakan alat transportasi umum yang canggih. Mobil hanya digunakan jika terpaksa atau dalam keadaan darurat. Itupun memakai jasa supir sewaan. Saat sedang mengganti pakaiannya Ofelia tiba-tiba teringat pada sosok laki-laki yang tadi membantunya berjalan di basement. Sewaktu berada di jarak yang sangat dekat seperti itu Ofelia bisa mencium aroma parfum maskulin, mahal dan juga digemari oleh banyak wanita tentunya. Ofelia tidak yakin merek parfumnya, tapi dari aroma citrus yang lembut dan tetap wangi meski telah digunakan selama berjam-jam mereknya tidak jauh-jauh dari Calvin Klein One, Hugo Boss atau Acqua Di Gio. Pikir Ofelia mencoba menebak merek parfum yang digunakan oleh Daryl. Bukan hanya parfumnya yang menarik perhatian Ofelia. Lebih dari itu laki-laki yang ia yakin dari ujung kaki hingga kepala tidak memakai barang-barang yang dibeli di toko Minang, ternyata memiliki wajah yang bukan hanya sekadar tampan tapi sangat tampan hingga membuat siapapun mudah terpesona hanya dengan sekali pertemuan. Sayangnya penilaian itu hanya berlaku bagi perempuan lain saat melihat Daryl, bukan Ofelia. Kendati begitu sebuah senyum tanpa alasan terulas di wajah manis Ofelia saat mengingat tatapan penuh kekhawatiran yang ditunjukkan oleh Daryl padanya. Meski terlihat tulus tapi Ofelia sama sekali belum merasakan getaran apa pun di dadanya. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD