“Siapa Tante?”
“Hoamm! Ngantuk banget!” Bintang yang mengikuti langkah mereka dari belakang, langsung saja menginterupsi dengan ucapan tidak pentingnya.
“Nanti juga kamu tahu,” bisik Naina di telinga Kejora, yang diam-diam mengulum senyum. Sementara Kejora dibuat bingung olehnya. “Udah, kamu ganti baju, gih. Habis itu Tante temenin makan malam.”
Kejora menurut. Dengan tersenyum, ia mengangguk. Dan bergegas menjalankan apa yang diperintahkan oleh Naina.
***
Tepat hari ini, Maya dan Januar bercerai, dan Rasi menyaksikan persidangannya dari awal hingga akhir. Tidak ada air mata atau tangisan apapun. Rasi menyaksikannya hanya dengan terus menggenggam erat jari jemari mamanya. Karena untuk menguatkan mamanya melewati ini semua, ia sendiri pun harus lebih kuat dari apapun dalam menghadapinya.
Biru dan Bintang menemaninya, meski mereka berdua hanya duduk di kursi belakang tanpa berucap sepatah katapun, di saat sejujurnya ada ribuan kata yang sangat ingin mereka sampaikan kepada Rasi untuk membuatnya merasa lebih baik.
Biru yang kini sudah tampak merasa lebih membaik daripada hari-hari sebelumnya yang ia lewati tanpa Rasi ketahui, memutuskan untuk keluar dari ruang persidangan lebih dulu. Berharap dengan ini, ia dapat memberi waktu untuk Rasi dan mamanya lebih lama lagi. Namun tak lama berselang Bintang tiba-tiba menyusulnya.
“Lo nggak tahu apa-apa tentang Rasi.” Satu kalimat pertama yang Bintang ucapkan tepat di depan pintu keluar, seketika membuat Biru otomatis menghentikan langkahnya. Sampai saat Biru telah berbalik menghadapnya, Bintang menyambung ucapannya yang sumbang. “Rasi nggak seperti yang lo bayangkan. Di balik senyumnya yang sering dia kasih ke lo, Rasi itu rentan. Lebih rentan dari yang lo perkirakan. Dia bisa nangis seharian ketika mendengar kata-kata yang menyakitkan dari orang lain. Bahkan tanpa lo tahu, dia selalu nangis berhari-hari dan mengurung diri di kamarnya, tiap kali lo menghilang dan nggak pernah menganggapnya ada.”
“Walaupun gue sahabatnya dari kecil, tapi satu-satunya orang yang paling banyak mendapat maaf dan senyum dari Rasi itu lo. Sesakit apapun perasaannya karena lo, pilihan dia tetap akan selalu jatuh di lo. Selama ini gue ingin mempercayakan dia ke lo. Tapi tiap kali lo sakitin dia, hal itu selalu buat gue ragu. Apa lo bisa jadi orang yang tepat untuk menjaga dia?” lanjut Bintang.
“Terus mau lo sekarang apa?” Biru melontar tanya, lantaran sejujurnya ia tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk membahagiakan Rasi, sedangkan untuk berada di sisi gadis itu saja dirinya tidak bisa berlama-lama.
Bintang menatap tegas sepasang mata Biru, menandakan ia tidak akan bermain-main dengan perkataannya kali ini. “Jangan pernah datang kalau cuma untuk pergi. Jangan pernah datang kalau cuma untuk singgah, bukan menetap. Dan jangan pernah memberi harapan kalau ujungnya lo nggak mampu untuk mewujudkan harapan itu. Karena pada akhirnya, kehadiran lo cuma menorehkan luka yang menyakiti dia.”
“Nggak bisa menetap selamanya untuk dia bukan kemauan gue. Menyakiti dia juga bukan kemauan gue. Gue selalu berusaha melakukan yang terbaik buat dia semampu gue, melakukan segala sesuatu yang nggak menyakiti dia semampu yang gue bisa, Tapi sekeras apapun yang mencoba, kadar kemampuan yang gue punya nggak sebesar yang lo bayangkan,” balas Biru dengan sedikit penekanan. Sampai sesaat kemudian ia pun mengajukan pertanyaan balik pada Bintang. “Lo berlaku kayak begini apa karena lo suka sama Rasi?”
Bintang menggagu sesaat. Pandangannya meliar, menghindari kontak mata dengan Biru. “Selamanya gue cuma akan jadi sahabat dalam hidup dia. Pasal gue suka ataupun nggak sama dia, yang jelas gue nggak mau liat dia nangis dan tersakiti oleh siapapun. Termasuk lo!” tandasnya, seraya menyorot tajam kembali sepasang mata Biru.
Biru mengangguk samar usai menarik napasnya yang terasa begitu berat. Berlalu dengan perasaan yang sungguh sangat tidak tenang. Jujur saja saat ini satu-satunya orang yang paling berada di posisi serba salah hanyalah Biru. Sementara semua orang cuma bisa menghakimi perbuatannya tanpa tahu kenyataan apa yang dirasakannya. Tanpa tahu beban berat apa yang harus ia tahan setiap hari dalam hidupnya. Tanpa tahu sesakit apa ia harus menyembunyikan perasaannya terhadap Rasi.
Takdir tidak berada di tangannya. Dia tidak tahu apakah penyakitnya akan sembuh atau tidak. Kendali takdir sepenuhnya ada pada Tuhan, dan dia tidak tahu bagaimana akhir dari hidupnya nanti. Yang jelas ia tahu dirinya hanya menginginkan yang terbaik untuk Rasi.
Di pijakannya, tersisa Bintang yang masih racau akan pikirannya sendiri. Apakah yang dilakukannya barusan adalah pilihan yang terbaik untuk Rasi?
“Mama di sini sama Bintang dulu, ya?”
Suara Rasi yang tidak sengaja terdengar, seketika membuat Bintang menoleh. “Kamu mau ke mana, Ras?”
“Ke toilet, sebentar. Mau ikut?” seloroh Rasi yang kontan diberi pelototan oleh Bintang.
***
Tidak di toilet seperti yang dikatakannya, Rasi hanya berdiam diri di sebuah lorong sepi yang nyaris tidak ada seorang pun lewat di sana.
Gadis itu menangis, tanpa ingin ada tahu. Tanpa ingin ada yang mendengar isakannya. Juga tanpa ingin ada yang melihat air matanya. Terlihat kuat di depan banyak orang sejujurnya bukan hal yang mahir Rasi lakukan. Bukan pula hal yang mudah baginya. Semua itu menyakitkan. Membuat dirinya seperti orang mati yang kehabisan napas. Dadanya sesak tak tergambarkan. Matanya sakit terus-menerus menahan air yang selalu ingin menetes di pipinya saat ini.
Perlahan Rasi mengubah posisi berdirinya menjadi duduk dengan kaki yang tertekuk sempurna. Punggungnya menempel pada dinding yang terasa dingin menusuk sampai ruang rusuknya. Dengan wajah yang terbenam pada kedua lipatan tangannya di atas lutut, gadis itu mulai menangis sesenggukan menumpahkan rasa lelahnya akan semua yang telah terjadi.
Sampai tiba-tiba tangan seseorang yang menyentuh lembut salah satu bahunya membuat kepalanya terangkat. Dilihatnya sosok Biru yang entah sejak kapan sudah duduk menggunakan lutut dan tumitnya, tepat di sebelahnya.
“Jangan pernah nangis sendiri. Gue di sini, ada buat lo,” lantun Biru dengan sorot mata mendalam, yang seketika itu Rasi langsung memeluknya erat.
***
Kejora melangkah memasuki ruang musik di sekolahnya. Duduk tepat di hadapan sebuah piano besar berwarna hitam seraya membukanya. Alih-alih memainkan alat musik itu, Kejora hanya memerhatikan tiap tuts berwarna hitam dan putih yang membentang di hadapannya, sambil mendengarkan instrumental Spring Time dengan headset yang menyumpal di kedua lubang telinganya.
“Ibu, kenapa Ibu suka sekali bermain piano?” Di tengah ketika Lily sedang mengajarkan cara memainkan piano, Kejora bertanya pada Ibunya yang duduk tepat di sebelahnya.
Sesaat Lily berhenti menekan lima tuts yang menempel di ujung jari-jemarinya. “Karena Ibu belajar banyak dari piano tentang kehidupan yang sebenarnya.”
Kejora yang tidak mengerti tampak diam, menunggu penjelasan Lily selanjutnya.
Lily tersenyum menoleh pada Kejora, seraya mengusap puncak kepala gadis mungil itu. “Coba kamu tekan lima tuts aja, satu persatu.”
Kejora mempraktekannya. Tangan mungilnya menjelajah asal pada tuts berwarna hitam dan putih secara acak. “Kenapa, Bu? Apa hubungannya piano ini dengan kehidupan yang sebenarnya?”
“Kamu dengar kan, kalau tiap tuts yang kamu tekan tadi semuanya memiliki suara nada yang berbeda-beda?”
Kejora mengangguk.
“Sama seperti suara pada tiap tuts piano itu yang berbeda-beda, kehidupan yang sebenarnya pun demikian,” tutur Lily. “Setiap manusia terlahir berbeda-beda dengan pilihan hidup yang juga berbeda-beda. Maka dari itu sekarang tugas kita bukanlah saling menyamakan satu sama lain. Tetapi saling melengkapi satu sama lain. Lengkap, bukan sama. Walau kamu putri ibu, kamu nggak mungkin bisa sama persis seperti ibu. Tapi justru karena kita berbeda, makanya sekarang kita bisa saling melengkapi.”
“Pantes aja Ibu bisa main piano, aku nggak bisa walaupun udah belajar tiap hari.”
“Bukan kamu yang nggak bisa, tapi Ibu yang nggak bisa ngajarin kamu dengan benar. Nanti ikut les piano aja mau?”
Kejora menggeleng. “Kejora maunya diajarin sama Ibu.”
Prinsip itu, sampai detik ini masih Kejora pegang teguh. Kejora tidak pernah mau belajar piano dengan siapaun, di tempat les mana pun, selain belajar dengan ibunya. Karena walau ia akui memang ada banyak orang di luar sana yang bisa bermain piano, menurutnya tetap saja tidak ada satu orang pun yang bisa memainkan alat musik itu sama persis seperti ibunya memainkannya, selain Bintang.
Sejenak Kejora menutup kembali piano tersebut. Lalu meletakkan kepalanya, dengan tangan terlipat yang menjadi bantalannya. Kejora menaruh kepalanya tepat menghadap ke arah pintu masuk. Berharap ketika ia membuka matanya, Bintang datang dan mengajaknya pulang bersama seperti waktu lalu. Lantaran ia tahu Bintang pasti akan ke ruangan ini untuk menghabiskan waktu beberapa jam sebelum pulang ke rumah.
Namun baru beberapa saat Kejora memejamkan matanya, tiba-tiba seorang pria tua berkumis putih menggoyakkan bahunya. Pak Kisno, petugas kebersihan sekolah yang biasa berkeliling untuk membersihkan tiap ruangan selain ruang kelas⸺karena masing-masing ruang kelas sudah memiliki petugas piket, sehingga jasanya tidak diperlukan lagi di sana.
“Neng, bangun, Neng?” ujarnya dengan mendesis, yang membuat mata Kejora perlahan kembali terbuka. “Kalau mau tidur di rumah aja. Biar ruangan ini bisa Bapak bersihkan.”
“Maaf, Pak.” Kejora langsung terperanjat dari duduknya, dan keluar.
Terlihat area sekolahnya sudah lengang. Yang artinya, sebagian siswa-siswi kemungkinan sudah pada pulang. Atau mungkin seluruhnya? Jadi tinggal dia saja sendiri?
Sesaat Kejora menengok jam tangan merah yang melingkar di pergelangannya. Sudah pukul lima, hampir setengah enam. Sepertinya dugaan kedua-lah memang yang benar. Dengan segera gadis itu berjalan tergesa-gesa menyusuri trotoar, menuju halte bus. Sehingga tidak sadar kalau ada seseorang yang mengintainya dari kejauhan. Mengikutinya ke mana pun ia mengarahkan langkah.
***