bc

Yang Terdalam

book_age12+
100
FOLLOW
1K
READ
drama
tragedy
comedy
twisted
sweet
like
intro-logo
Blurb

Ini tentang mereka yang terjebak dalam sebuah magnet rasa.

Tentang mereka, yang harus bermain dengan perasaan masing-masing.

Tentang mereka, yang mencintai. Namun tidak dicintai

Juga tentang sebuah rasa. Yang terdalam....

Cerita ini adalah sequel atau lanjutan dari kisah yang berjudul Tak Ada Selamanya.

Tentang mereka, Rasi, Bintang, Kejora, di langit Biru.

chap-preview
Free preview
Prolog
Di atas sebuah bukit yang pernah ia kunjungi bersama Rasi saat ingin memotret merahnya langit senja, Biru mengajak Kejora untuk sedikit membuat gadis itu tenang. Duduk tepat di puncaknya, yang bersentuhan langsung dengan rumput hijau di sana. “Apa lo sadar, kalau tindakan lo tadi itu nggak cuma membahayakan diri lo, tapi juga bisa membahayakan orang lain?” tanya Biru seraya menoleh pada lawan bicaranya yang terus saja menatap ke depan. Tanpa membalas tolehan Biru, Kejora menjawabnya hanya dengan menggeleng. Membuat Biru mengerutkan dahi, alih-alih bertanya lagi. “Gue nggak sadar apa yang gue lakuin tadi, ketika tiba-tiba keberadaan seseorang membuat trauma gue kembali. Bahkan kalau ada mobil yang menabrak gue sampai mati pun, mungkin gue juga nggak akan sadar.” “Trauma?” Biru masih bertahan melabuhkan pandangannya pada Kejora, meski tidak sedetik pun gadis itu melihat ke arahnya. “Waktu kecil gue punya trauma sama seseorang yang selalu menyakiti Ibu gue. Dan sampai sekarang trauma gue sama orang itu masih belum hilang, walaupun terakhir ibu gue minta gue untuk memaafkan dia.” Sesaat kemudian barulah Kejora menoleh dengan senyum. “Makasih, ya.” “Buat?” “Makasih karena lo udah menyelamatkan gue.” “Ha?” Biru semakin tidak mengerti dibuat Kejora. “Kalau lo nggak narik gue dari tengah jalan tadi, bisa aja sekarang gue udah mati karena ketabrak. Atau lebih buruknya kalau lo nggak ngajak gue pergi tadi, kemungkinan besar orang itu udah bebas menyakiti gue sekarang...” Dengan senyuman getir Kejora pun melanjutkan, “setelah ibu gue udah nggak ada.” Sedangkan di sisi lain, Biru yang mendengarkan itu merasa mengerti namun juga tidak mengerti. Mengerti akan trauma Kejora yang bisa saja kambuh tanpa tahu waktu dan tempat. Akan tetapi Biru tetap tidak bisa mengerti meski dirinya sudah berusaha untuk mengerti, mengenai seseorang yang diceritakan Kejora, yang telah menyakiti ia dan ibunya, juga yang telah menimbulkan trauma dalam dirinya. “Orang itu...” Biru menggantungkan kalimatnya, lantaran ragu untuk bertanya. Sampai tiba-tiba Kejora bangkit berdiri, menyurutkan niatannya. Sejenak Kejora menengok arloji mini yang melingkar di pergelangan tangannya. “Gue balik dulu, ya.” “Ayo, gue anter,” sahut Biru yang juga ikut menyusul Kejora berdiri. Namun kemudian Kejora menyergah, “Nggak usah.” “Nggak apa-apa. Gue masih punya banyak waktu luang buat anter lo.” Kejora tetap menolaknya. “Gue udah pesen taxi online, kok. Lagi pula sekarang gue lagi tinggal di rumah temennya Tante gue. Nggak enak kalau pulang udah mau malem gini dianter sama cowok. Apalagi kita baru aja kenal kan.” Sesaat Biru memahami. Akan tetapi saat berikutnya tetap saja ia tidak yakin, setelah apa yang gadis itu alami. “Gue anter aja.” “Nggak usah. Beneran, deh, gue bisa balik sendiri kalau udah pakai taxi online.” “Yakin?” Kejora mengangguk mantap. Lantas Biru menjadi yakin akan pilihan yang diambilnya. Setelah itu Biru hanya mengantar sampai Kejora benar-benar masuk ke dalam taxi online-nya. Menitipkan Kejora pada seorang Bapak yang merupakan supir taksi tersebut. *** Di depan pintu rumahnya, sambil berkacak pinggang dengan sebelah tangannya dan memegangi ponsel di sebelah tangannya lagi, Bintang berjalan bolak-balik sama persis seperti setrika panas sedang pakai. Sesekali Bintang juga menengok layar ponselnya hanya untuk melihat pukul berapa sekarang. “Bintang, masuk. Di luar dingin!” pekik Naina dari dalam. “Iya, ntar.” Bintang menyahut. Decakan berkali-kali tercipta dari mulutnya. “Ke mana, sih, itu anak. Udah jam segini masa belum pulang juga?” Sesaat Bintang mengalihkan matanya pada benda pipih di tangannya. Mencari kontak Kejora, membuka ruang obrolan, namun seketika ia matikan lagi layar ponselnya. “Nggak-nggak. Dia kan suka sama gue. Ntar kalau gue tanya lagi di mana, yang ada dia malah kepedean, lagi. Mikir yang macem-macem. Nggak, deh. Jangan.” Usai memasukkan kembali ponselnya ke dalam kantung celana pendeknya, Bintang memilih duduk kursi kayu yang ada di teras rumahnya. Iya, menunggu seperti ini akan terlihat lebih baik dan tidak akan ketahuan. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, hampir setengah delapan. Namun Kejora masih belum pulang juga. Sehingga hal tersebut kian membuat Bintang cemas tanpa sadar. Bagaimana tidak cemas? Mereka satu sekolah. Jelas-jelas Bintang tahu hari ini sama sekali tidak ada kelas tambahan untuk kelas mana pun. Termasuk kelas Kejora tentunya. Tetapi kenapa bisa gadis itu pulang seterlambat ini, lebih dari biasanya? “Ah!” Tidak bisa duduk diam akan pikirannya yang terus berkecamuk, membuat Bintang memutuskan untuk kembali berdiri. Berjalan mondar-mandir persis seperti sebelumnya. Menengok arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangannya juga jam digital pada layar kunci ponselnya. Membandingkan sekaligus mengecek, apakah ada yang salah dengan salah satu jamnya itu? Tetapi sepertinya tidak. Jarum jam dan menitnya berjalan seirama. Lalu apanya yang salah? Kejora yang salah! Iya, pasti ada yang salah dengan gadis itu sampai membuatnya pulang terlambat selarut ini. Bintang yakin! “Bintang?” panggil Naina, yang tak lama disusul dengan suara langkah mendekat. “Kok, jam segini Kejora belum pulang, ya? Mama jadi khawatir.” “Kenapa baru khawatir sekarang! Daritadi Mama ke mana aja, ha?!” kesal Bintang dengan refleks pada mamanya. Bukan kesal, sih. Cuma tidak habis pikir saja. Bagaimana bisa mamanya yang seharusnya memiliki naluri sebagai seorang ibu, baru merasa cemas akan keberadaan Kejora sekarang, ketika dirinya saja sudah mencemaskan gadis itu sejak tadi. Sejak langit sudah mulai gelap, dan mereka hanya makan malam berdua sedangkan biasanya bertiga. Mendapat sentakan seperti itu dan tidak menyangkut soal Rasi, seketika membuat Naina terheran-heran. “Bukannya begitu, tadi itu Mama pikir Kejora emang ada kelas tambahan, belajar kelompok atau apa. Makanya Mama tunggu dulu, mana tahu dia bakal ngabarin.” “Halah, mana ada kelas tambahan sampai jam segini. Kelas tambahan di sekolah Bintang, tuh, paling banter sampai jam 4 atau jam 5. Lagian juga sekarang hari Rabu. Kelas tambahan cuma diperbolehkan ada di hari Jumat. Masa Mama nggak tahu, sih?” Mendengar Bintang mengoceh tidak biasa-biasanya, apalagi dengan nada kekhawatiran yang tersirat, saat itu juga dahi Naina berkerut rapat. “Kamu kenapa, sih, marah-marah begitu? Tumben? Oh, jangan-jangan daritadi kamu diri di luar emang lagi nunggu Kejora pulang, ya? Kamu kesal sama Mama yang baru khawatir sekarang, padahal kamu udah khawatir karena Kejora pulang terlambat, dari tadi?” tebak Naina kemudian, yang benar-benar tepat sasaran. Tidak meleset barang satu senti pun. “Bukan begitu, Ma. Masalahnya⸻” “Masalahnya apa, hm?” Naina menampilkan senyum menggoda. Sehingga Bintang jadi salah tingkah sendiri. “Masalahnya, Mama tahu sendiri kan Kejora itu perempuan. Terus sekarang manusia itu lebih membahayakan daripada hantu ataupun binatang buas. Jadi⸻” “Jadi apa?” timpal Naina memotong lagi, masih dengan senyum yang sama. “Jadi? Ja⸻jadi,” Tiba-tiba lidah Bintang berbelit. “Jadi, ya, bahaya aja bagi Kejora. Bagi Mama juga. Soalnya Tante Milka kan udah nitipnya ke Mama. Kalau Kejora kenapa-napa, pasti Mama orang pertama yang bakal disalahin,” dalihnya sempurna, walau tidak lancar. “Tambahan kan Mama sama Tante Milka bersahabat. Mama nggak mau kan hal ini sampai merusak⸺” Krek! Suara roda pagar yang berputar menggiling besi, detik itu juga membuat Bintang dan Naina menoleh dan menghentikan adu mulut mereka. “Assalamu’alaikum,” salam Kejora sambil menutup kembali pagar itu. Melihat kedatangan Kejora seketika Naina mengembus napas lega. Namun Bintang jauh lebih lega. Naina menghampiri Kejora, namun Bintang memilih menetap di pijakannya. “Kamu dari mana aja, sayang? Tante cemas kamu kenapa-kenapa. Apalagi Bintang,” adu Naina sekalian menceplos, selagi menuntun Kejora untuk masuk ke dalam rumah. Berpapasan pandang dengan mamanya, Bintang langsung melotot tegas pada mamanya. Bukan maksud bersiap jadi anak durhaka, akan tetapi godaan mamanya yang sudah keterlaluan ia rasa sudah tidak bisa ditolerir lagi saat ini. Dan mendapat pelototan pun agaknya tidak mempan, lantaran terlihat mamanya malah tertawa. “Aku tadi ketemu⸺” Di tengah kalimatnya yang belum habis, tiba-tiba Kejora membungkam mulutnya. “Maksudnya tadi aku ketemu temen SMP aku di jalan. Terus jadinya main dulu. Maaf, ya, Tante aku lupa ngabarin ke Tante,” tutur Kejora dengan raut wajah penuh rasa bersalah. “Oh, gitu ceritanya. Kali ini Tante maafin, deh. Tapi lain kali jangan gini lagi, ya. Apapun kondisinya, sesibuk apapun kamu, pokoknya harus ngabarin Tante. Soalnya kalau kamu sampai kenapa-napa bukan cuma Tante sama Tante kamu aja yang cemas. Ada lagi satu orang yang lebih cemas dari kami.” “Siapa Tante?”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MENGGENGGAM JANJI

read
475.0K
bc

Loving The Pain

read
3.0M
bc

Me and My Broken Heart

read
34.6K
bc

THE DISTANCE ( Indonesia )

read
580.1K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

Wedding Organizer

read
47.0K
bc

Escape from Marriage - Kabur dari Derita Pernikahan Kontrak

read
257.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook