Mama: Bintang, hari ini Mama lembur. Nanti kamu perhatikan Kejora ya. Jangan sampai dia telat makan dan telat pulang lagi.
“Ini sebenernya yang anak kandung Mama siapa, sih?” gerutu Bintang, bertanya pada dirinya sendiri. Yang kemudian ia langsung tak acuh mengantungi ponselnya tanpa membalas pesan tersebut.
Bintang yang sudah membawa gelas, kembali berjalan melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda menuju lemari es. Namun tiba-tiba sesuatu berhasil mencuri perhatiannya.
Brak!
Bintang mendengar seseorang seperti baru saja mendobrak pintunya dari luar. Sesegera mungkin Bintang meletakkan gelasnya dan berlari mendekati sumber kegaduhan. Tidak ada siapa-siapa di sana. Pintu masih tertutup sempurna.
Lalu, bunyi apa tadi?
Dengan ragu, tetapi tetap memberanikan diri, Bintang mengendap-ngendap mendekati salah satu jendela besar rumahnya, untuk dapat mengintip dari celah gorden, mengenai apa yang membuat pintu rumahnya seperti ada yang ingin mendobrak tadi.
Persis di depan pintu, Bintang melihat Kejora bersama seseorang dan tampaknya terikat perseteruan di antara mereka berdua. Bintang tidak dapat mendengar jelas, akan tetapi dapat terlihat jelas oleh penglihatannya, Kejora tampak berupaya keras untuk menjauhkan seseorang itu dari dirinya. Berkali-kali Kejora mendorong tubuh seseorang itu hingga tersungkur, namun berkali-kali pula seseorang itu bangkit dan menghampirinya. Bahkan kali ini tangannya yang besar, mencengkram lengan Kejora dengan kasarnya.
“Lepasin!” sentak Kejora, memberontak.
Bintang memang tidak mengenal seseorang itu. Namun Kejora sangat mengenalnya. Seseorang itu ayahnya. Surya.
“Kejora tunggu dulu, Nak!” Surya menahan dengan memperkuat cengkraman tangannya. “Dengarkan Ayah dulu. Ikut Ayah sebentar,” bujuknya.
“Nggak mau! Kejora nggak mau ikut sama Ayah!” tolak Kejora, tanpa peduli keinginan ayahnya yang keras. “Lepasin, Yah, tangan Kejora sakit! Kejora mohon jangan sakiti Kejora sama seperti Ayah menyakiti Ibu!”
“Kalau kamu tetap keras dengan keinginanmu⸺”
Cklek
Suara pintu terbuka, seketika mampu memotong ucapan Surya dalam sekejap. Sepasang mata Kejora yang hampir menitikan air, juga sepasang mata merah yang penuh amarah besar milik Surya, secara bersamaan tertuju pada Bintang yang baru saja membuka pintu. Membuat fokus Surya teralih, dan tanpa sadar, tiba-tiba saja tangannya sudah tidak lagi mencengkram apa-apa.
Saat terlepas, cepat-cepat Kejora berlari masuk ke dalam rumah. Tadinya Surya refleks ingin menyusul, tetapi tangan Bintang yang tiba-tiba menghalau membuat pria itu tidak bisa melewati pintu sama sekali. Apalagi menyusul Kejora sampai dalam.
“Minggir kamu!” gertak Surya.
Namun tidak gentar, Bintang menyahut santai, “Om siapa?”
“Saya ayahnya! Saya hanya ingin mengajak putri saya untuk tinggal bersama saya!”
“Boleh aja, sih, Om. Tapi kan ini rumah saya. Saya nggak bisa membebaskan orang lain yang nggak saya kenal untuk masuk-masuk ke rumah saya. Jadi maaf, dengan segala hormat saya harus meminta Om untuk pergi dari rumah saya,” usir Bintang tidak peduli, ayah macam apa yang tega menyakiti anaknya sendiri?
Lagi-lagi Bintang menyelamatkannya. Kejora menghela napas sedikit tenang, meski perasaannya masih belum tenang sama sekali. Sedih, takut, cemas, semua melebur dalam benaknya menjadi satu. Membuat air matanya seketika menetes tanpa mampu lagi ia sadari basah di pipinya.
Sedih karena tiap kali ia melihat wajah ayahnya, entah kenapa tiap kali itu juga kejadian k*******n yang dialami ibunya selalu terbayang-bayang di ingatan Kejora. Tiap pukulan yang membuat ibunya penuh memar. Tiap pukulan yang membuat ibunya meringis kesakitan. Terus terang, Kejora tidak sanggup mengingat itu semua.
Dan kini Kejora juga takut. Takut kalau-kalau ayahnya datang menemuinya lagi, di saat tidak ada seorang pun yang bisa menyelamatkannya. Di saat tidak ada Bintang dan tantenya.
Kejora cemas akan itu semua. Cemas akan dirinya sendiri, lantaran ia tidak mau dirinya kembali terjebak ke dalam kenangan buruk di masa kecilnya. Kenangan yang bahkan sampai detik ini masih berpotensi membuat ia trauma tiap kali mengingatnya. Tidak mau. Kejora tidak mau!
Bruk!
Kedua kaki Kejora yang tiba-tiba saja terasa lumpuh, seketika menjatuhkan tubuhnya sendiri sampai benar-benar terduduk lemah di lantai. Hingga pada akhirnya, ia menangis juga walau dengan isakan kecil yang tertahan. Membuat Bintang yang semula hanya diam-diam memerhatikan, detik itu juga langsung berlari menghampirinya. Memeluknya erat, tanpa lagi memikirkan ragu. Karena yang ada di kepala Bintang saat ini hanyalah; gadis itu yang membutuhkan dirinya.
Bintang memang tidak tahu-menahu tentang apa yang dialami Kejora sampai membuat gadis itu seperti ini. Apa yang membuat gadis itu setakut ini pada ayahnya sendiri. Bintang sungguh tidak tahu. Akan tetapi entah kenapa cukup dengan memeluknya seperti ini, mendengar tangisannya, Bintang merasa dadanya ikut sesak, seolah mampu merasakan semua yang gadis itu rasakan.
Sementara di pihak lain, dengan isak yang semakin terdengar jelas, juga air mata yang semakin menderas, tangan Kejora mencengkram kuat bagian belakang baju Bintang. Gadis itu kini menangis sesenggukan sampai bahunya berguncang-guncang kecil, berupaya untuk menahan segala sesak yang menjelimat di dadanya, menyiksanya dengan luka tanpa darah.
Jujur saja Kejora tidak memiliki siapa-siapa lagi yang bisa ia jadikan tempat untuk berlindung, selain tantenya. Oleh karena itu pelukan ini, Kejora sangat berharap Bintang tidak terburu-buru melepaskannya.
***
“Ibu, Kejora ingin bisa memainkan lagi ini!” seru gadis cilik itu, saat pertama kali ia mendengar alunan instrumental piano yang dimainkan oleh ibunya.
Dengan jari-jarinya yang terus memainkan sebuah lagu berjudul Spring Time, Lily tersenyum seraya menoleh pada Kejora sebentar.
“Boleh kan, Bu? Kejora mau belajar. Kejora juga ingin bisa main piano seperti Ibu. Keren!” puji Kejora dengan mengacungkan ibujarinya yang mungil di hadapan Lily, membuat Lily dalam sesaat langsung menghentikan permainan pianonya.
“Bisa aja ngerayunya, nih, anak Ibu.” Sejenak Lily meletakkan kedua tangan kecil milik putrinya di atas beberapa tuts piano. “Ikuti gerakan jari-jari Ibu, ya?”
Kejora mengangguk. Tak lama ujung jari-jemari Lily mulai menekan tiap tuts hitam dan putih, beberapa secara bersamaan. Dengan serius, Kejora memerhatikan tiap jarak yang dipijaki oleh jari-jemari ibunya. Mencoba untuk mengenali perbedaan-perbedaan suara dan nada yang tertangkap pendengarannya.
Musiknya indah sekali. Dan Lily tampak memainkannya begitu tulus. Sampai lagu habis setengah, Lily berhenti, menurunkan tangannya.
“Ayo, sekarang giliran kamu yang coba. Pelan-pelan aja, nggak apa-apa.”
Kejora mengangguk, menurut. Namun belum sempat ia membunyikan apapun, tiba-tiba saja sebuah tangan besar menarik tubuhnya sampai terangkat dan berada jauh dari kursi piano yang didudukinya. Kejora tersentak dan ketakutan. Pun dengan Lily. Ketika Surya datang dan merusak suasana menjadi menegangkan karena amarahnya. Bukan, Lily bukan takut dirinya disakiti Surya. Melainkan Lily takut kalau Surya sampai marah dan lebih memilih untuk menyakiti Kejora ketimbang dirinya, karena kesalahan yang ia perbuat dengan mencoba-coba mengajarkan Kejora memainkan alat musik yang paling dibencinya itu.
Tangan Lily bergerak cepat meraih salah satu tangan Kejora untuk berdiri di balik punggungnya saja. “Jangan sakiti Kejora. Sakiti saja aku, karena semua adalah salahku!”
“Masih berani kamu bermain piano?!” bentak Surya dengan pelototan nanar. “Berani kamu mengenalkan Kejora dengan alat musik s****n ini?!”
Brak!
“Argh!”
Dengan tega, Surya mendorong tubuh Lily hingga wanita itu menjerit kencang lantaran kepalanya yang membentur ujung lancip sudut meja yang berada di belakangnya.
“Ibu!” Kejora berlari menghampiri lalu memeluk ibunya. “Ibu, kepala Ibu terluka. Ada darahnya,” ucap Kejora sambil mengusap pinggir luka di kening ibunya. Tak lama setetes air mata yang sudah lama mengembang di pelupuk matanya terjatuh di pipi tembamnya.
“Nggak apa-apa, Nak. Ini cuma luka biasa, kok. Nanti diobati juga sembuh,” sahut Lily berbohong, dengan senyuman tenang meski nyatanya yang Kejora lihat wajah itu juga penuh air mata, kesakitan.
Kejora berdiri di hadapan ayahnya. Dengan kepala menenggak, sepasang mata sendunya menatap kesal, menyorot lurus pada bola mata Surya. “Kenapa Ayah selalu menyakiti Ibu?! Kenapa Ayah menikahi Ibu kalau Ayah membencinya?”
“Kejora dengar Ayah, Nak.” Seraya mengambil posisi setengah berjongkok, kedua tangan Surya mengunci pergerakan bahu mungil Kejora. “Ayah nggak membenci Ibu. Tapi Ayah melakukan ini karena Ayah nggak suka lihat ibu kamu memainkan alat musik itu. Apalagi mengenalkan kamu dengan alat musik itu.”
“Kenapa? Kenapa Ayah nggak suka?!” cecar Kejora, yang membuat ayahnya terdiam.
“Kejora sini, Nak.”
Kejora berbalik. Kemudian berlari memeluk ibunya kembali, dan langsung mengelapi tetesan darah di dahi ibunya dengan menggunakan baju yang ia kenakan saat itu.
“Ibu pasti sakit.”
“Ibu...”
“Ibu...”
“Kejora?”
Seketika Kejora terkejut. Saat tiba-tiba punggungnya terangkat sempurna, saat itu pula ia mendapati dirinya sudah berada di tengah-tengah ranjangnya. Tidak sendirian, Kejora juga mendapati Bintang yang tidak tahu sejak kapan sudah berada di kamarnya sekarang. Duduk di pinggir ranjang, dan barusan telah membantunya untuk bangun dari mimpi buruk itu.
“Lo mimpi buruk?” tanya Bintang yang tanpa sadar menyiratkan kekhawatiran pada intonasi suaranya.
Meski kemudian Kejora malah membalasnya dengan bertanya balik. “Kenapa lo ada di sini?”
***