Bintang merebahkan tubuhnya. Mengingat tangisan Kejora tadi entah kenapa membuat Bintang kini jadi susah tidur. Perasaannya gelisah. Berbalik ke kanan-ke kiri di atas ranjang pun tidak berhasil meredakan kegelisahannya. Untuk pertama kalinya Bintang melihat Kejora menangis, untuk pertama kalinya pula ia berani untuk memeluk gadis itu. Dan untuk pertama kalinya juga, ia merasa sekhawatir ini akan sesuatu yang padahal tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan dirinya. Dan sesuatu itu bukan tentang Rasi.
“Ck!” Bintang mendecak, dengan punggung terangkat kembali duduk.
Tidak suka merasakan hal itu, Bintang putuskan untuk bangkit. Bergegas keluar dan langkahnya berhenti tepat di depan pintu kamar Kejora yang bersebelahan dengan pintu kamarnya. Tangan Bintang sudah terangkat. Bersiap mengetuk, dan menemui Kejora untuk sekedar bertanya, ‘apa lo baik-baik aja?’.
Akan tetapi belum sampai itu terjadi, tiba-tiba Bintang ragu.
Kalau tentang Rasi, biasanya Bintang tidak pernah ragu. Namun tidak tahu kenapa kalau tentang Kejora, Bintang selalu saja ragu. Selalu berpikir seribu kali tiap kali ingin melakukan sesuatu untuk gadis itu, terkecuali kalau memang keadaannya sudah mendesak seperti tadi yang membuatnya tidak ragu-ragu lagi untuk memeluk gadis itu.
Urung akan niatnya, seketika Bintang menurunkan tangannya kembali. Lalu memilih untuk duduk saja di depan pintu kamar gadis itu, dengan punggung bersandar dan kedua kaki yang sedikit tertekuk.
“Ibu...”
“Ibu...”
Samar-samar mendengar lirihan Kejora, membuat Bintang langsung beranjak dan kini tidak ragu lagi untuk masuk ke kamar gadis itu yang biasanya memang tidak pernah terkunci.
Bintang mendekat. Dilihatnya Kejora sedang tertidur, akan tetapi tidurnya tampak jelas tidak nyenyak. Seluruh wajah gadis itu dibanjiri keringat. Matanya terpejam, namun pejamannya tampak terlalu rapat, hingga membuat dahinya berkerut, dan kepalanya bergerak-gerak kecil; seperti ada ketakutan yang ia lihat dalam gelap matanya yang terpejam, dan saat ini dirinya sedang berusaha untuk keluar dari kegelapan itu.
Baru saja Bintang ingin membangunkan, tiba-tiba tangan kanannya tertahan oleh salah satu tangan Kejora yang tiba-tiba pula memeganginya sangat erat.
“Ibu...” Kejora melirih berulang-ulang karena mimpi buruknya.
Tanpa sadar Kejora memegangi jari-jemari Bintang semakin erat, seperti enggan untuk dilepaskan, membuat Bintang pun jadi tidak tega untuk melepaskannya. Malah alih-alih melepaskan, Bintang justru mengapit tangan Kejora dengan tangan kirinya juga. Mengusap punggung tangan gadis itu, tanpa sedetikpun memalingkan pandangannya dari wajah gadis itu. Bintang cemas. Bintang hanya bisa berharap genggaman kedua tangannya saat ini, setidaknya dapat menenangkan gadis itu walau hanya di dalam mimpi.
“Kejora?” panggil Bintang, pelan.
Meski agaknya mimpi buruk Kejora tidak kunjung menghilang. Gadis itu masih tampak menyerukan ibunya dengan desahan gelisah.
“Ibu...”
Sehingga akhirnya Bintang membangunkan gadis itu dengan menepuk-nepuk pelan salah satu pipinya. Sampai sesaat kemudian Bintang ikut terkejut, ketika tiba-tiba sepasang mata bundar Kejora terbuka sempurna, bersamaan dengan punggungnya yang terperanjat duduk.
“Lo mimpi buruk?” tanya Bintang yang tanpa sadar menyiratkan kekhawatiran pada intonasi suaranya.
Bahkan hingga detik ini, Bintang masih khawatir. Mata Bintang berkeliling ke segala penjuru sekolah lantai satu, mencari keberadaan Kejora yang tidak biasa-biasanya tidak ada di saat jam istirahat sudah berdering sejak sepuluh menit lalu.
“Nyuk! Ayo, ngantin. Ntar keburu masuk lagi,” ajak Oskar yang disertai dengan protes.
“Ntar, bentaran,” sahut Bintang tanpa menoleh, lantaran ia masih sibuk menegaskan penglihatannya pada setiap wajah perempuan berambut pendek yang tampak dari kejauhan.
“Lo nyari apaan, sih? Gue udah laper banget, nih!” protes Oskar lagi, namun kali ini dengan mengusap perutnya yang keroncongan.
Sampai saat pandangannya menangkap siluet keberadaan Kejora, Bintang langsung meninggalkan Oskar sambil mengusir, “Lo ke kantin duluan aja sono. Ntar gue nyusul.”
“Daritadi, kek, ngomong. Tahu begini gue nggak usah nungguin lo.”
Mengabaikan ucapan Oskar, Bintang lebih terfokus pada Kejora yang berjalan sendirian entah ingin ke mana. Bintang mengikuti gadis itu, sampai-sampai ia tidak sadar kalau saat ini Oskar sudah duduk di kursi yang berada tidak jauh dari posisinya berdiri. Bintang tidak sadar, kalau ternyata gadis itu berjalan sendirian menuju kantin. Sama saja seperti tujuan awal dirinya dengan Oskar.
Oskar yang melihat kedatangan Bintang, tentu saja heran. “Lo ngapain nyuruh gue duluan, kalau lo juga mau ke sini, kunyuk?!”
“Emang salah? Gue bilang kan, gue nyusul,” tanggap Bintang santai, seraya mengambil posisi duduk tepat berhadapan dengan Oskar, di satu meja kantin yang sama. Walaupun pandangannya sama saja seperti tadi; tidak lepas memerhatikan Kejora.
“Nyusul pala lo peyang! Orang gue aja baru sedetik, nih, naruh p****t. Tahu-tahu lo udah ada di sini juga.”
“Ck! Berisik lo,” decak Bintang kesal akan kebawelan Oskar, dengan melempar tatapan sinis, lantaran telah mengganggu aktivitasnya yang sedang serius memerhatikan Kejora. “Udah, mending sana buruan pesen mie ayam buat gue sekalian.”
“Duitnya?”
“Pay later.”
Jika kebanyakan orang-orang biasa pay later dengan menggunakan ovo, kartu kredit, dan lain sejenisnya. Pay later yang digunakan versi Bintang ini jenisnya berbeda. Yaitu; pakai duit lo dulu, ntar gue ganti’.
Kini giliran Oskar yang mendecak kesal. Resiko memang kalau punya teman yang pelitnya kebangetan seperti Bintang ini.
Acuh tidak acuh akan reaksi Oskar, Bintang tetap kembali memerhatikan Kejora yang sejak tadi ia perhatikan belum bicara. Bahkan ketika Naomi memesankan makanan untuknya pun tidak dimakan. Minuman juga hanya ia sedot sedikit.
Sampai akhirnya Naomi putuskan untuk bertanya dengan bisik, “Are you okay?”
“Hm.” Kejora mengangguk samar. Kemudian mengaduk-ngaduk minumannya lagi supaya tidak terlihat jelas oleh Naomi kalau sebenarnya ia memang tidak sedang baik-baik saja.
Bagaimana Kejora mau baik-baik saja, sedangkan bayang-bayang masa kecilnya belakangan ini mampu mengembalikan traumanya. Bayang-bayang tentang ibunya ketika sedang dipukuli oleh ayahnya. Sampai bayang-bayang ketika ibunya mulai sakit-sakitan hingga akhirnya pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Bagaimana mungkin Kejora bisa baik-baik saja dalam keadaan seperti sekarang ini?
“Ibu tahu nggak, kalau Kejora itu sayaaaaaaang, banget sama Ibu.”
Wajah pucat Lily mengulum senyum. Dengan membalas pelukan tangan-tangan mungil putrinya yang melingkar di pinggangnya, ia juga menutur, “Ibu juga sayaaaaaaaaang banget sama Kejora.”
“Kalau Ibu sayang sama Kejora, Ibu janji jangan pernah tinggalin Kejora, ya?”
Seketika senyum Lily memudar bersamaan dengan pelukan mereka yang terurai. “Kalau untuk yang satu itu Ibu nggak bisa janji, sayang.”
“Kenapa, Bu?” tanya Kejora kecil dengan rautnya yang polos.
“Karena setiap manusia yang datang, pasti akan ada waktunya untuk pergi. Termasuk Ibu,” lantun Lily, lembut. “Makanya kalau nanti udah tiba waktunya untuk Ibu pergi, Kejora jangan nangis, ya. Kejora anak Ibu, kan?”
Kepala gadis cilik itu mengangguk, yang tak lama Lily mengusap puncaknya.
“Kalau kamu anak Ibu, kamu harus kuat dan nggak boleh gampang nangis. Oke?”
Tess
Mengingkari janjinya, tepat di detik ini air mata Kejora menetes tanpa ada yang menyadari, termasuk dirinya, dan kecuali satu. Tidak ada isak tangis yang terdengar, ternyata sesak saja sudah mampu mendorong air mata gadis itu sampai lolos dari tahanan pelupuk matanya. Namun kemudian yang Kejora sadari malah tangan Bintang, yang tiba-tiba saja menarik tangannya. Membawanya tidak tahu ke mana. Bintang, yang ternyata menjadi satu-satunya orang yang menyadari air mata Kejora saat itu.
“Ikut gue,” katanya.
***