Malam itu, setelah tangis Dira mereda dalam pelukan Disa, suasana kamar terasa lebih hening dari biasanya. Seolah kata-kata yang tersisa hanya berani bersembunyi di balik napas tertahan. Dira masih duduk menunduk, tangan gemetar, mata sembab menatap lantai. Disa menatapnya dengan tenang, walau detak jantungnya mulai tak beraturan.
“Ada yang perlu kamu bilang lagi, Kak?” tanya Disa lembut.
Dira menahan napas. Ia tahu waktunya telah tiba. Waktunya membuka seluruh luka dan dosa yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
“Dis...” Suaranya nyaris tak terdengar. “Ayah dari anak ini... Adrian.”
Disa tidak langsung menjawab. Matanya hanya menatap jauh, seakan sedang mencari logika di tengah perasaan yang perlahan remuk kembali. Ia mengangguk pelan.
“Aku sudah duga,” gumamnya singkat.
Dira menoleh cepat, seolah tak percaya adiknya tak bereaksi lebih keras. “Aku... aku juga harus jujur satu hal lagi, Dis.”
Disa tetap diam, menunggu.
“Itu bukan hanya sekali... Kami... kami sering... saat kamu nggak di rumah. Aku nggak tahu harus bagaimana, semuanya salah. Aku... aku lemah, dan aku bodoh...”
Tangis itu pecah lagi, kali ini lebih sesak. Dira memeluk perutnya seakan hendak melindungi buah hatinya dari amarah dunia. Tapi yang ia dapati hanyalah Disa yang kembali mengusap pundaknya dengan tenang.
“Disa, tolong maki aku. Tampar aku, aku pantas dihukum. Aku tahu aku hancurin kamu, aku tahu semuanya salah.”
Disa menghela napas dalam, lalu menggeleng pelan.
“Aku udah nggak punya tenaga buat marah, Kak. Rasanya... udah lewat semua. Yang tersisa Cuma sisa-sisa hati yang mungkin udah nggak utuh. Tapi aku tahu, kalau aku biarin amarah terus tumbuh, aku bakal hancur. Dan aku nggak mau itu terjadi.”
Malam itu, Dira memohon pada Disa agar diberi kesempatan menebus kesalahan. Salah satu caranya: memberitahu Adrian secara langsung. Disa menyetujui, walau dalam hati ia tahu pertemuan itu hanya akan menjadi satu luka baru untuk disimpan dalam diam.
Keesokan harinya, Dira menghubungi Adrian dan memintanya datang ke rumah. Suaranya tenang tapi jelas mengandung kecemasan. Adrian menyanggupi tanpa banyak tanya, meski hatinya tak tenang.
Sore itu, Adrian datang mengenakan kemeja biru tua, seperti biasa—rapi, bersih, dan membawa aura dingin yang selama ini Disa kenal. Dira menjemputnya di depan dan mengajaknya masuk ke ruang tamu. Tak lama kemudian, Disa keluar dari kamarnya, duduk di kursi seberang mereka, tanpa sepatah kata pun.
Suasana hening beberapa saat. Dira menggenggam jemarinya yang basah oleh keringat, lalu menghela napas.
“Aku hamil,” katanya lirih. “Anak ini... anak kamu, Adrian.”
Adrian terpaku. Pandangannya beralih pada Disa, yang masih duduk tenang di ujung ruangan. Tak ada kemarahan di wajah adik perempuan itu, hanya senyum tipis yang entah menyiratkan ketabahan atau kekosongan.
Dira menahan napas. Ia tahu, itulah senyum paling menyakitkan dari semua yang pernah ia lihat. Senyum seseorang yang benar-benar patah... namun memilih berdiri.
Disa menatap mereka berdua, kemudian menautkan jemarinya perlahan di pangkuan.
“Aku nggak akan bilang apa-apa soal masa lalu kalian,” ucapnya tenang. “Tapi kalau kalian memang sudah sejauh ini... aku harap kalian pikirkan masa depan anak itu.”
Dira menatap Disa dengan mata berkaca. “Disa... aku—”
“Aku cuma minta satu hal,” potong Disa lembut, namun pasti. “Nikahlah. Bukan buat kalian. Tapi buat anak itu. Dia berhak lahir dalam rumah yang sah.”
Adrian tampak terkejut, dan Dira mulai menangis dalam diam. Disa hanya berdiri, lalu menatap mereka sekali lagi sebelum beranjak ke kamarnya.
“Kalau butuh bantuan untuk ngurus pernikahan, kabari saja. Aku akan bantu semampuku.”
Pintu kamar tertutup. Sunyi. Tapi di baliknya, seorang perempuan sedang mencoba membangun ulang dirinya. Bukan karena ia sudah sembuh… tapi karena ia harus bertahan.
***
Setelah pintu kamar Disa tertutup, suasana kembali senyap. Dira duduk dengan kepala tertunduk, sementara Adrian masih membeku di tempat duduknya. Helaan napas Dira terdengar berat, seperti sedang menahan beban bertahun-tahun yang akhirnya meledak dalam sekali ucap.
“Aku nggak berniat bikin semua jadi serumit ini, Adrian…” bisik Dira pelan, nyaris tak terdengar.
Adrian menoleh perlahan. “Sejak kapan kamu tahu kamu hamil?”
Dira mengangkat wajahnya yang basah. “Baru kemarin. Aku curiga karena telat dan... aku beli test pack. Aku tes di kamar mandi. Begitu lihat dua garis merah itu, aku... bingung harus gimana.”
Adrian memijit pelipisnya. “Kenapa kamu nggak langsung bilang?”
“Karena aku takut. Aku takut kamu marah. Takut Disa makin benci aku.” Suaranya bergetar. “Aku tahu semua ini salah. Tapi... aku juga nggak bisa bohong. Kita sering... waktu Disa nggak ada.”
Adrian mengatup bibirnya rapat. Pandangannya kosong.
“Aku yang salah. Aku yang mulai duluan,” lanjut Dira lirih. “Kita egois. Dan sekarang... kita nggak bisa kabur lagi dari konsekuensinya.”
Adrian menatap perut Dira, lalu kembali ke matanya. “Kamu yakin mau pertahankan anak ini?”
Dira mengangguk pelan. “Aku nggak tega buang dia, Adrian. Dia nggak salah.”
Adrian menarik napas panjang, lalu menghembuskan perlahan. Wajahnya menegang, tapi tidak ada nada menolak. Justru sebaliknya, ia menatap Dira dengan tatapan penuh tanggung jawab yang mulai tumbuh dalam diam.
“Kalau begitu… kita harus tanggung jawab. Kita harus pikirkan langkah ke depan,” gumam Adrian. “Termasuk... menikah.”
Dira terdiam. Kata-kata itu begitu nyata, dan entah mengapa, justru terasa menyayat. Ia ingin hal itu terjadi dalam keadaan yang benar, bukan seperti ini.
“Kamu yakin?” tanyanya dengan suara kecil.
“Aku yang buat ini semua jadi rumit. Aku nggak akan kabur. Kalau itu satu-satunya jalan buat anak kita lahir dengan benar... aku akan jalani.”
Air mata Dira jatuh. Ia menggenggam tangan Adrian, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa campur aduk: lega, sedih, bersalah, dan takut... semua jadi satu.
Di balik pintu kamar, Disa berdiri memandangi dinding kosong. Ia mendengar semua. Tapi tak ada lagi air mata. Hatinya telah kosong terlalu lama.
***
Beberapa hari kemudian, di rumah sakit...
Suasana ruang tunggu rumah sakit pagi itu tenang. Dira duduk di sebelah Adrian dengan raut gugup. Tangannya tak berhenti memainkan resleting tas, sementara Adrian sesekali menatapnya, mencoba memberi ketenangan lewat genggaman ringan di punggung tangannya.
Begitu namanya dipanggil, mereka masuk ke ruangan pemeriksaan.
Dokter menyambut mereka dengan senyum ramah, mempersilakan Dira berbaring di ranjang pemeriksaan, lalu mulai menjalankan proses USG. Dalam hitungan menit, layar monitor menunjukkan gambar samar-samar hitam putih dengan denyut kecil di tengahnya.
“Ini janinnya,” ujar sang dokter, menunjuk layar. “Sekitar enam minggu usianya. Detak jantungnya bagus, sehat. Selamat, ya.”
Dira hanya bisa menatap layar itu. Matanya perlahan basah, bibirnya bergetar. Perasaan takut, bingung, haru, semua menyatu dalam diamnya. Adrian, yang berdiri di sisi ranjang, memandangi layar yang sama. Ia terdiam, tapi tangannya secara spontan menyentuh bahu Dira—menguatkannya.
Dalam perjalanan pulang...
Dira menyandarkan kepalanya di jendela mobil, memeluk hasil print USG di d**a. Hening menemani mereka beberapa menit, sampai Dira tiba-tiba berkata pelan, “Aku pengin bubur ayam.”
Adrian menoleh. “Sekarang?”
Dira mengangguk, mengerucutkan bibir. “Yang di depan ruko pasar. Yang abang-abangnya jualan pakai gerobak itu.”
Adrian tersenyum kecil. “Kamu ngidam?”
“Mungkin.” Dira meliriknya sambil memeluk lengan Adrian seperti anak kecil. “Ngidam pertama, gak boleh ditolak. Nanti anak kita ngiler terus.”
Adrian tertawa pelan. “Baiklah, calon ibu manja. Kita cari bubur ayamnya.”
Sesampainya di rumah...
Langit senja menyambut ketika Disa membuka pintu rumah. Ia baru saja pulang kerja, menanggalkan tas dan jaketnya di gantungan. Lehernya pegal, wajahnya lelah.
Namun, suara langkah tergesa menyambutnya. Dira muncul dari kamar, membawa selembar kertas.
“Dis, kamu udah pulang!” serunya riang.
“Hmm?” Disa memandang heran. “Kenapa ceria banget?”
Dira menyerahkan hasil USG. Disa menatapnya, kemudian beralih pada gambar hitam putih di kertas itu. Ia terdiam beberapa detik, lalu senyum pelan muncul di wajahnya.
“Ini… beneran?” Disa menatap Dira.
Dira mengangguk, pipinya merah karena senyum yang tak bisa ia sembunyikan.
Disa spontan menepuk tangan dengan senang, lalu memeluk kakaknya erat. “Aku bakal jadi tante! Aduh, Kak, selamat ya!”
Adrian yang baru masuk membawa dua bungkus bubur ayam hanya bisa menatap mereka dengan ekspresi yang tak bisa didefinisikan: lega, haru, dan tetap... bersalah.
Namun hari itu, setidaknya satu hal terasa ringan: tawa Dira, pelukan hangat Disa, dan kehadiran kecil yang mulai tumbuh di dalam rahim seorang perempuan yang ia sakiti, tapi juga ia jaga dengan diam-diam.