Hari-hari berlalu lebih cepat dari yang Dira bayangkan. Setelah keputusan di ruang tamu malam itu, semuanya berubah. Adrian membawa keluarganya datang secara resmi untuk melamar. Orang tua Adrian, yang awalnya sempat kecewa karena hubungan mereka dimulai diam-diam, akhirnya luluh ketika melihat kesungguhan Adrian dan wajah Dira yang menunduk penuh rasa hormat.
Persiapan pernikahan mereka digelar besar-besaran. Adrian, yang ternyata adalah CEO dari sebuah perusahaan teknologi terkemuka, tidak ragu mengerahkan semua koneksinya demi pernikahan yang disebut orang tuanya sebagai “peristiwa keluarga.”
Gaun pengantin rancangan desainer kenamaan, gedung megah di tengah kota, katering premium, hingga undangan digital eksklusif—semua membuat Dira yang selama ini hidup sederhana merasa canggung sekaligus takjub. Beberapa kali ia bahkan menoleh pada Disa, seolah ingin memastikan dirinya tidak sedang bermimpi.
“Kakak yakin mau semua ini?” tanya Disa suatu malam saat mereka sedang memilih warna untuk seragam bridesmaid. Disa duduk di sisi tempat tidur, memegang tablet berisi referensi warna dusty peach dan champagne.
Dira mengangguk, lalu menyender di bahu adiknya. “Kakak gak nyangka... Adrian segini seriusnya. Dia bahkan bilang, ‘Kamu bukan pengganti siapa-siapa, kamu ibunya anakku dan itu segalanya.’”
Disa tersenyum. Dalam hatinya masih ada luka, tapi ia tidak ingin menjadi beban untuk kebahagiaan siapa pun.
“Kakak pantas bahagia. Mungkin caranya nggak indah, tapi setidaknya... akhirnya kakak sampai juga di tempat yang aman.”
Hari-hari selanjutnya diisi dengan jadwal fitting, pemotretan prewedding, gladi resik, dan pertemuan antar keluarga besar. Dira jadi sering keluar masuk salon dan butik, kadang lupa waktu, dan sering merengek ke Adrian karena lelah atau bingung dengan urusan detail pesta.
Lucunya, Adrian yang dulu dikenal serius dan dingin di kampus, sekarang berubah menjadi pria sabar yang siap memijat kaki Dira saat ia mengeluh pegal karena pakai heels terlalu lama.
“Aku nikah sama CEO,” celetuk Dira sekali waktu saat mencoba veil panjang bertabur manik-manik.
Adrian memeluknya dari belakang. “Dan aku nikah sama calon ibu dari anakku. Siapapun kamu, apapun masa lalunya—aku tetap jatuh cinta.”
Dira tersenyum malu, sementara di sisi ruangan, Disa mengamati dalam diam. Ia tidak lagi merasakan iri atau marah, hanya kekosongan yang perlahan-lahan ia pelajari untuk terima.
***
Hari pernikahan semakin dekat. Hanya tinggal dua minggu lagi, dan setiap harinya seperti berlomba dengan waktu. Dira semakin mudah lelah, namun ia juga semakin bersinar. Perutnya yang mulai membuncit tak mengurangi keanggunan ketika ia mengenakan dress satin putih saat sesi pemotretan prewedding di taman kaca mewah milik rekan bisnis Adrian.
Disa kini lebih banyak berada di sisi kakaknya, menjadi adik yang diam-diam melindungi. Ia ikut hadir dalam setiap fitting, membantu memantau daftar undangan, bahkan menjadi tempat curhat ketika hormon kehamilan membuat Dira menangis tanpa alasan.
“Susah ya jadi calon pengantin hamil,” gumam Dira di satu malam, merebahkan diri di pangkuan Disa sambil mengelus perutnya yang hangat.
Disa membelai rambut kakaknya. “Tapi kakak kuat. Kakak cantik. Dan kakak nggak sendirian.”
Dira tersenyum, meski matanya basah. “Kakak takut... semua ini terlalu mewah buat kakak. Takut nggak pantas. Takut orang-orang menghakimi.”
“Kakak bukan dinilai dari masa lalu, tapi dari keberanian kakak memperbaiki semuanya,” balas Disa lembut. “Kakak pantas. Kakak ibu dari anaknya Adrian, dan kakak adalah orang yang selama ini selalu jagain aku. Sekarang giliran aku jagain kakak.”
***
Sehari Sebelum Akad
Sore itu turun perlahan seperti kelambu emas yang menutupi langit kota. Jalanan ramai, tapi di dalam apartemen penthouse yang sejuk dan tenang, waktu seolah berjalan lebih pelan.
Dira berdiri di depan cermin besar di ruang rias, mengelus pelan bagian perutnya yang membulat. Gaun satin warna nude tergantung rapi di samping, sementara suara Adrian terdengar samar dari ruang tengah, sedang menelepon vendor dekorasi.
Sekilas, semua tampak sempurna.
Pernikahan mewah. Calon suami yang mapan. Keluarga yang sudah menerima. Tapi di balik senyum kecilnya, ada gelombang kecil yang tak bisa dia tenangkan—entah karena gugup... atau karena dia tahu, bahagia yang ia jalani tidak benar-benar bersih dari luka masa lalu.
Pintu kamar diketuk pelan.
Adrian menyembul dengan senyum tipis. “Sudah siap? Toko bunga baru saja menghubungi, buketmu sudah bisa diambil.”
Dira mengangguk, menyeka sisa lip balm di sudut bibirnya, lalu melangkah pelan ke arah Adrian.
“Aku mau ambil sendiri,” ujarnya sambil meraih tas kecil.
“Kamu yakin?” tanya Adrian, menatap perut Dira dengan cemas. “Kita kan bisa minta dikirim.”
Dira menatapnya sejenak, lalu tersenyum samar. “Aku Cuma mau mengingat hari ini. Hari terakhir jadi Dira sebelum resmi jadi istri kamu. Hari terakhir sebagai kakaknya Disa yang belum... benar-benar pulih.”
Nama itu keluar seperti hembusan angin dingin. Disa. Adik kandungnya. Satu-satunya saudara yang menemaninya sejak kecil. Dan juga perempuan yang diam-diam menyimpan luka karena cinta yang sama.
Adrian menghela napas. Tidak ada yang bisa dia katakan tanpa terasa menyakitkan.
Dira menyambung pelan, “Kamu tahu, dia nggak pernah bilang apa-apa. Nggak minta apapun. Tapi aku tahu, setiap kali dia tersenyum melihat kita, ada bagian dari dirinya yang harus dia kubur dalam-dalam.”
Adrian menunduk. “Aku salah. Tapi kamu tetap pilih tinggal, tetap pilih aku. Dira... kalau besok kamu ragu, kita bisa—”
“Enggak.” Dira memotong cepat, lalu meraih tangan Adrian. “Aku tetap pilih kamu. Bukan karena kamu sempurna. Tapi karena... kamu adalah rumah dari anak ini. Dan karena aku nggak mau lagi kehilangan siapa pun.”
Mereka saling menatap, lalu berpelukan dalam diam.
Beberapa menit kemudian, Dira pamit. Dengan langkah pelan dan hati yang sedikit berat, ia menuruni lobi apartemen menuju mobil.
Sementara itu, di tempat lain, Disa sedang menyelesaikan laporan klien di kantor. Tangannya cekatan di atas keyboard, wajahnya lelah tapi tenang. Tidak ada yang tahu, saat jendela kecil di samping mejanya membingkai langit senja, hati Disa sedang berbisik—bahwa badai akan segera datang, dan ia tak tahu harus berlindung di mana.
***
Sore itu, langit Balikpapan dibalut mendung tipis, seakan ikut menyimpan sesuatu yang tak terucapkan. Dari lantai paling atas sebuah apartemen mewah di kawasan Balikpapan Baru, Dira menuruni lobi dengan mantel tipis menyelimuti bahunya. Aroma laut yang samar menyelinap lewat celah pintu otomatis, mengiringinya melangkah keluar.
Supir taksi online sudah menunggu di pinggir jalan. Dira membuka pintu belakang dengan hati-hati.
“Ke toko bunga La Rosette, ya, Mas,” katanya pelan.
“Siap, Mbak. Lewat Jalan MT Haryono, lebih cepat,” jawab sopir sambil memulai perjalanan.
Mobil bergerak pelan menyusuri jalan yang basah bekas hujan. Dira menatap keluar jendela, membiarkan pemandangan Balikpapan yang akrab mengalir dalam diam—jalanan yang mulai padat, deretan pertokoan, dan langit yang perlahan menggelap. Tangannya mengusap perut yang membuncit lembut.
Di antara denting lagu dari radio mobil, pikirannya melayang. Esok hari, ia akan menjadi istri. Istri dari pria yang dulu pernah mengisi ruang hati adiknya sendiri. Luka yang masih terasa tajam, meski dibungkus rapi oleh restu keluarga.
**
Sementara itu, di kantor agensi desain tempat Disa bekerja di kawasan Ruko Bandar, kesibukan mulai reda. Disa menutup laptopnya, meregangkan punggung yang pegal karena duduk seharian. Jam di dinding menunjukkan pukul 17.46. Ia sempat berpikir untuk menelpon Dira, tapi membatalkannya. Terlalu lelah untuk memulai percakapan yang ia tahu hanya akan terasa canggung.
Di luar, langit mulai gelap. Sinar lampu kota menyala satu per satu. Namun entah kenapa, dadanya terasa berat. Seperti firasat yang datang tanpa suara.
**
Di Jalan MT Haryono yang ramai, sopir taksi online memperlambat laju mobil. Hujan tipis mulai turun, membasahi aspal. Saat mereka mendekati tikungan menurun di dekat simpang tiga menuju Balikpapan Permai, dari arah berlawanan, sebuah truk ekspedisi terlihat melaju terlalu kencang.
“Ya Allah…” gumam sang sopir panik, mencoba membelokkan kemudi.
Terlambat.
DUARRRR!
Suara benturan keras memecah udara. Truk menghantam sisi kanan mobil dengan kekuatan besar. Tubuh Dira terguncang, kepalanya membentur kaca samping. Bunyi pelat besi tergencet, kaca pecah, dan alarm mobil meraung bersamaan.
Dira terkulai lemas, darah mulai mengalir dari pelipisnya, membasahi baju yang dipeluk erat oleh seatbelt. Ponselnya jatuh ke lantai mobil, layar retak. Sopir berteriak, tubuhnya terjepit kemudi. Lalu semuanya senyap… hanya suara hujan dan klakson mobil-mobil yang berhenti.
Beberapa warga segera berlari menghampiri. Salah satu dari mereka menghubungi ambulans, yang tak lama kemudian meluncur dari arah Gunung Malu.
**
Di rumah, Adrian sedang menata berkas pernikahan. Saat ponselnya berdering dan muncul nomor tak dikenal, ia nyaris tak menjawab.
“Halo?”
“Pak Adrian, saya… sopir taksi online yang antar calon istri Bapak barusan. Kecelakaan, Pak! Di simpang tiga Balikpapan Permai… truk, Pak. Saya nggak tahu kondisi Mbak Dira sekarang, dia pingsan. Tapi ambulans sudah jalan ke RSUD Beriman!”
Ponsel nyaris terlepas dari tangan Adrian.
“Apa?!”
“Cepat ke rumah sakit, Pak. Saya… saya minta maaf…”
Adrian berlari keluar, wajahnya pucat, matanya penuh kepanikan. Kunci mobil gemetar di tangannya saat ia menginjak gas menuju rumah sakit. Di benaknya, hanya satu nama yang berputar seperti gema: Dira.
**
Di sisi lain kota, Disa baru saja keluar dari kantor ketika panggilan dari Adrian masuk. Hatinya mencelos begitu melihat namanya. Dan lebih hancur lagi saat mendengar kalimat pertama Adrian.
“Disa... Kakak kamu kecelakaan.”
Langit Balikpapan yang mendung berubah gelap sepenuhnya. Dunia Disa seolah ikut retak.
“Apa maksud kamu?” napasnya tercekat.
“Dia pingsan. Ambulans sudah jalan ke RSUD. Aku... aku nggak tahu harus gimana. Tolong, Disa. Segera ke sana.”
Disa berdiri membeku di depan tangga. Suara kendaraan, orang lalu-lalang, semua menjauh dari telinganya. Ia menggenggam ponsel erat-erat, air mata mulai jatuh—tanpa bisa ditahan.
Sore itu, Balikpapan bersaksi pada kisah cinta yang patah—bukan karena kurangnya cinta, tapi karena terlalu banyak luka yang belum sempat sembuh.
***