Makan Malam - 3

1026 Words
Jessa memutuskan untuk langsung menuju sebuah restoran terkenal yang ada di kota itu. Dan tentu saja restoran besar itu milik Evan. Entah ada berapa bisnis yang Evan miliki, karena tidak ingin sakit hati jika mengetahui kekayaan pria itu, Jessa memilih berpura-pura tidak tahu. Evan juga tidak mengetahui jika Jessa adalah anak dari Martha, pengusaha wanita terkaya di kota itu. “Kau langsung kemari?” tanya Evan. “Ya, aku tidak ingin terlambat untuk sampai kemari, karena pekerjaanku yang sangat banyak hari ini,” jelas Jessa. “Maaf, apa kau mau menjadi sekertarisku?” tawar Evan secara langsung. “Apa? Itu tidak mungkin, Evan. Apa kata orang jika mengetahui hal itu?” “Apa peduli mereka? Jika kau memang menginginkan pekerjaan itu, kau bisa datang ke kantorku kapan saja,” ujar Evan. “Akan ku pikirkan lagi, Evan.” Evan tersenyum melihat Jessa yang terlihat segar meski baru saja selesai dengan pekerjaannya. Tentu saja Jessa merias dirinya terlebih dahulu sebelum bertemu dengan sang kekasih. Ia wanita normal yang tidak ingin terlihat lusuh di hadapan Evan. Seorang waitress datang dengan membawa hidangan makan malam yang sangat special untuk kedua orang itu. Evan memberikan malam kencan pertama yang sangat mengesankan. Karena mereka sedang makan tepat di lantai dua, atau biasa disebut private room. Di dalam ruangan itu terdapat bermacam-macam hiasan bunga dan juga beberapa dekorasi yang indah. “Kau menyukai kencan pertama kita?” tanya Evan. “Sangat mengesankan, Evan. Terima kasih banyak untuk semua ini,” jawab Jessa dengan wajah yang merona. Ya, wanita itu masih terlihat canggung saat bersama pria itu. Terlihat beberapa kali Jessa mengambil napas untuk menenangkan diri. “Kau kenapa, Sayang?” tanya Evan. “Tidak, aku hanya masih merasa gugup saja.” Jawaban itu membuat Evan terkekeh. Sikapnya yang langsung mengutarakan perasaan itu membuat Jessa sedikit terkejut. Maklum … hanya itu yang bisa Evan terapkan dalam dirinya. Karena ia sudah melihat data-data dari kekasihnya itu. “Sayang, apa makanannya lezat?” tanya Evan. “Ya, bahkan lebih lezat dari restoran yang aku pimpin,” ungkap Jessa. “Hahaha, tentu saja berbeda, Sayang. Karena restoran ini aku bangun khusus melayani tamu dari kalangan atas,” jelas Evan. “Ya, aku bisa melihatnya. Tetapi tidak jarang orang dari kalangan atas berkunjung ke restoran yang aku pimpin,” sahut Jessa yang tidak ingin kalah. “Baiklah, kau memang benar.” Jessa kembali fokus pada makanannya, begitu juga dengan Evan. Hingga akhirnya hidangan itu habis tidak tersisa. Dan Jessa mengakhiri makan malamnya dengan mengusap mulutnya dengan tissue. Begitupun dengan Evan yang kini menjentikkan jarinya untuk memanggil seorang waitress. Dengan segera waitress itu datang menghampiri keduanya. Mereka membersihakn meja makan itu, untuk di gunakan kembali. Dua orang membersihkan meja, lalu dua orang lagi datang dengan membawa hidangan penutup. “Evan, kau ingin membuat berat badanku bertambah?” “Hahaha, tenang saja. Penutup ini rendah gula, tetapi tetap nikmat saat dimakan.” Penjelasan Evan membuat Jessa tenang. Mereka menikmati setiap hidangan yang disajikan di sana. Tidak hanya itu, Jessa juga mendapatkan hadiah dari kekasihnya yang baru beberapa jam menjalin hubungan dengannya. “Bunga?” ucap Jessa. “Kau suka?” tanya Evan memastikan. “Tentu saja aku sangat menyukai bunga ini. Kau tahu darimana?” “Hahaha, sangat mudah mencari data tentang dirimu, Sayang.” Jessa menundukkan kepalanya karena malu, lalu lagi-lagi Evan memberikan sebuah kejutan untuk Jessa. Sebuah kotak perhiasan berisi kalung dengan liontin pertama berwarna biru, kini berada di tangan Jessa. Evan beranjak dari tempatnya, lalu meraih kalung itu dan mengenakannya pada leher jenjang kekasihnya. “Evan, ini apa?” tanya Jessa. “Hadiah kecil untukmu,” ujar Evan. “A-aku tidak pantas mendapatkannya secepat ini,” ujar Jessa. “Tidak, kau sangat pantas mendapatkannya. Dan aku ingin memanjakan dirimu sebagai kekasihku,” jelas Evan. “Bagaimana dengan anakmu? Aku takut jika ia tidak bisa menerima semua ini,” ujar Jessa khawatir. “Kau tidak perlu mengkhawatirkan Kiran. Ia tidak pernah peduli dengan kehidupanku,” jelas Evan. Ya, memang benar jika Kiran tidak akan peduli. Karena anak itu tinggal di sebuah apartemen mewah pemberian Evan. Dan Kiran tidak pernah ikut campur dengan urusan orang tuanya. "Baiklah jika memang seperti itu." Evan terlihat tersenyum pada Jessa, dan membuat wajah wanita itu merona. Jessa tidak ingin semakin larut ke dalam perasaan saat ini. Beberapa kali ia menepis perasaan itu dan tanpa sadar menggelengkan kepala dengan cepat. "Kau baik-baik saja?" tanya Evan. "Ya, maaf. Aku hanya memikirkan beberapa hal mengenai pekerjaan hari ini," ungkap Jessa. Evan tersenyum lalu memegang tangan kekasihnya itu. ia menggenggam erat tangan Jessa, lalu menciumnya dengan lembut. Dan tepat saat itu juga jantung Jessa berdetak sangat cepat. Setelah acara makan malam istimewa itu, Jessa memutuskan untuk kembali ke rumah dengan menyetir sendiri. Ia menolak untuk diantarkan oleh kekasihnya itu. Tetapi, Jessa berjanji jika lain kali akan menerima tawaran Evan. Jessa yang sudah sampai di depan rumahnya, melihat sebuah mobil Ferrari terparkir di halaman rumahnya. Mobil itu adalah milik Martha sang ibu. Langkah Jessa terlihat sangat hati-hati, karena ia tidak ingin kena amukan ibunya jika terganggu. “Sial, aku harus mengendap-endap untuk masuk ke dalam rumah sendiri,” gumam Jessa dengan melepaskan sepatu hak tingginya. Ia berjalan hingga sampai di kamarnya yang berada di lantai dua. Jessa masuk begitu saja ,dan kini ia bisa merebahkan tubuhnya di atas ranjang berukuran king size itu. “Nyaman sekali di sini,” ujar Jessa. Wanita itu kini sedang memegang kalung yang diberi oleh Evan. Kalung itu pasti sangat mahal, karena batu permata yang ada di liontin itu tidak main-main harganya. “Apa Evan benar-benar serius dengan hubungan ini?” gumam Jessa dalam dirinya. Jessa tidak ingin kembali kecewa dengan seorang pria. Karena ia sudah sangat sering tersakiti, dan tidak pernah menyangka datangnya hari ini. Sebuah dering ponsel membuyarkan lamunan Jessa, dan ia melihat nama Evan di sana. “Kau sudah sampai rumah?” tanya Evan dari seberang telepon. “ya, baru saja aku merebahkan diri,” ujar Jessa. “Cepat istirahat, kau sudah bekerja keras hari ini,” ujar Evan. “Ya, kau benar. Terima kasih karena sudah peduli padaku.” “Aku kekasihmu, tentu saja mulai sekarang aku akan peduli dengan semua tentang dirimu,” ujar Evan. “Manis sekali, aku rasa … aku mulai jatuh cinta padamu,” ungkap Jessa. “Benarkah? Kau sangat mudah jatuh cinta rupanya,” ujar Evan. “Tidak juga, Aden sudah sering mengatakan cinta padaku, tetapi aku selalu menolaknya. Dan jika kau mengikuti gossip yang beredar antara Aden dan aku, pasti kau tidak akan menyangkanya,” jelas Jessa. “Hahaha, sebaiknya kau menjauhi Aden. Aku tidak ingin kau tersakiti oleh pria lain,” ujar Evan. “Apa kau bisa menjamin untuk tidak menyakiti aku, Evan?” “Tentu saja, aku sudah berkali-kali tersakiti. Tentu saja aku tahu rasanya,” ungkap Evan. Sambungan telepon itu berlangsung hingga beberapa menit, dan akhirnya Evan mengakhirinya karena Jessa sudah merasa sangat mengantuk. Jessa tidak ingin ibunya mendengar percakapan itu, karena ia tidak ingin mengulang luka lamanya. Jessa meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu mulai memejamkan matanya dan terlelap di dalam mimpi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD