Jessa dan Bos - 2

1021 Words
Evan masih menunggu jawaban dari Jessa. Ia memang pria yang tidak suka jika berbelit-belit dalam suatu hubungan. Mata keduanya bertemu, dan Evan memberikan isyarat agar Jessa segera menjawab pertanyaannya itu. “Tuan, kita bahkan belum saling mengenal. Aku baru saja melihatmu kemari beberapa minggu ini, dan bahkan aku hanya tahu namamu saja,” jelas Jessa. “Lalu? Apa hal itu menjadi masalah untukmu?” tanya Evan. “Apa kau tidak bisa memberikan aku waktu untuk mengenalmu terlebih dahulu?” tanya Evan. “Sebaiknya kau jawab pertanyaanku, lalu kau bisa mengenalku lebih dari sekedar nama,” jawab Evan. “Baiklah kalau begitu. Ya, aku menerima hubungan ini,” ujar Jessa. “Bagus, terima kasih karena sudah menerima aku, sayang.” Jessa tersenyum, jika pria yang biasanya memanggil sayang adalah Aden. Kali ini kekasihnya sendiri yang memanggil dirinya dengan sebutan sayang. “Karena kau sudah menjadi kekasihku, aku ingin kau menghindari hal ini. Kau tidak boleh ikut melayani pengunjung, kecuali ada complain tentang makanan yang chef masak. Kau juga tidak seharusnya ikut campur dalam pekerjaan Aden, karena seharusnya dialah yang mengontrol waitress dan juga karyawan lain. Satu lagi, jauhi Aden! Aku tidak ingin pria itu terlalu dekat dengan kekasihku!” jelas Evan. “Baiklah, Tuan Evan,” jawab Jessa. “Tidak, tidak! Jangan panggil aku dengan sebutan Tuan lagi! Kau bisa memanggil namaku saja, atau sebutan lain,” ujar Evan. “Baiklah, akan aku lakukan, Evan.” Evan tersenyum pada Jessa, lalu ia beranjak menuju pintu. “Aku harus segera sampai di kantor. Jam makan siang aku akan menjemputmu kemari, jangan makan sebelum aku datang,” ujar Evan memperingatkan. “Baiklah, Evan.” Jessa kembali tersenyum pada pria yang kini menghilang dari balik pintu. Jessa menyandarkan tubuhnya pada kursi kerjanya. Lalu pikirannya melayang kemana-mana, karena pengakuan cinta Evan baru saja. “Aku sudah gila, bagaimana bisa aku memadu kasih dengan seorang duda, dan berusia jauh di atasku?” gumam Jessa. Ddrrtt … Ddrrtt … Ponsel Jessa kembali berdering, kali ini Aden menghubunginya untuk melanjutkan pembicaraan beberapa waktu lalu. “Ada apa?” tanya Jessa. “Iris … aku mendapatkannya, dan sekarang aku sedang dalam perjalanan menuju restoran,” jelas Aden. “Baiklah, aku tunggu.” Tut Panggilan telepon itu terputus, dan Jessa kembali mengerjakan laporan keuangan restoran. Pikiran Jessa sungguh tidak bisa tenang kali ini, akibat dari pernyataan cinta yang begitu mendadak dari pemilik restoran. Beberapa kali ponsel Jessa bergetar karena ada pesan masuk, wanita itu memilih untuk mengacuhkannya. Ia tahu jika pengirim pesan adalah pemilik restoran, dan saat ini ia masih canggung untuk memulai suatu hubungan. “Kenapa harus aku sih!” gumam Jessa. Wanita itu merutuki kisah hidupnya. Meski terbilang suatu keberuntungan karena dicintai oleh seorang pengusaha kaya raya, tetapi usia Evan sangat jauh dari kata muda untuk Jessa. Kali ini dering ponsel itu menandakan jika Evan sedang mencoba untuk menghubungi dirinya. “Halo,” ucap Jessa. “Kenapa kau mengacuhkan pesan dariku?” “Aku sangat sibuk, Evan. Maaf,” jelas Jessa beralasan. “Baiklah, setelah pekerjaanmu selesai segera balas pesan dariku,” ujar Evan. “Baiklah.” Tut. Setelah sambungan itu terputus, Jessa membaca pesan dari Evan yang mengajaknya makan malam hari ini. Menolak … hal itu yang ingin dilakukannya saat ini. Namun, ia pasti akan mendapatkan suatu balasan yang menyakitkan jika menolak pemilik restoran. “Aku harus menerima ajakan ini,” gumam Jessa lagi. Tidak lama setelah itu, Aden datang bersama Iris. Mereka masuk dengan wajah yang penuh keringat. Seakan mereka baru saja melakukan lomba lari marathon. “Apa kalian baru saja adu lari marathon?” tanya Jessa. “Ya, begitulah. Wanita ini sungguh lari dengan kencang saat melihat aku mendekatinya,” jelas Aden. “Baiklah, sebaiknya kau keluar. Aku akan menyelesaikan masalah ini bersama Iris,” ujar Jessa pada Aden. Pria itu akhirnya hanya mengangguk dan membiarkan Jessa untuk menyelesaikan masalahnya. Jessa mempersilakan Iris untuk duduk di seberangnya. “Baiklah, aku ingin mendengar pembelaanmu, Iris,” ujar Jessa dengan tenang. “Nona, aku sungguh tidak ingin melakukan ini. Tetapi aku sangat membutuhkan uang itu,” jelas Iris dengan menundukkan kepalanya karena takut. “Kau bisa menagngkat kepalamu dan melihatku saat menjelaskan semua ini, aku tidak menyukai orang yang tidak menatapku saat berbicara,” ujar Jessa. Iris menelan ludahnya dengan kasar, kini ia mengangkat kepala dan menatap Jessa. Wanita itu tersenyum pada Iris, dan ia mencoba agar Iris tidak terlalu takut padanya. “Baiklah, kau bisa memulainya lagi sekarang,” ujar Jessa. “Anakku sedang sakit, dan aku membutuhkan uang itu untuk membayar biaya rumah sakit. Tetapi belum sempat aku memberikan uang ini pada pihak rumah sakit, anakku sudah tiada karena penanganan yang terlambat,” jelas Iris yang kini terisak. Hati Jessa terasa ditusuk, ia tidak tahu jika karyawannya mengalami hal setragis ini. “Ambil uang itu, pergilah. Maaf karena sudah menghalangimu. Kau bisa datang lagi kemari jika membutuhkan pekerjaan,” ujar Jessa. “Nona, aku sungguh minta maaf.” “Sudahlah, cepat pergi dari sini. Kau pasti ingin melihat anakmu untuk yang terakhir kali bukan?” tanya Jessa. “Iya, Nona. Terima kasih banyak.” Iris beranjak dari tempatnya lalu berjalan keluar dari ruangan Jessa. Tidak lama setelah itu, Aden masuk ke dalam ruang kerja Jessa untuk menanyakan tentang Iris. Jessa menceritakan semuanya pada Aden, lalu pria itu terlihat merasa bersalah karena tidak bertanya terlebih dahulu. “Aku tahu di mana rumahnya, apa kau ingin aku mengantarkanmu ke sana sepulang dari sini?” tawar Aden. “Tidak, Aden. Aku ada janji untuk makan malam hari ini. Besok sebelum datang ke restoran, aku akan menyempatkan diri untuk datang ke sana,” terang Jessa. “Baiklah kalau begitu.” Aden beranjak dari sana dan kembali pada pekerjaannya di lantai satu. Hari itu, restoran terlihat sangat ramai, dan Jessa harus menyambut beberapa tamu istimewa karena sudah reservasi terlebih dahulu. “Selamat datang Tuan Darren, silakan,” ujar Jessa menyambut seorang tamu. Jessa berjalan di depan tamu itu untuk menunjukkan tempat yang sudah ia pesan. Setelah itu, Jessa memanggil waitress terbaik yang dimiliki restoran itu untuk melayani tamu dengan layanan yang paling utama di sana. “Kalian layani Tuan Darren dengan baik, jangan mengecewakannya.” Setelah mengatakan kalimat itu, Jessa melangkah pergi dari sana dan kembali ke lantai dua. Jessa menghela napasnya, lalu ia meraih ponselnya untuk melihat apakah ada pesan masuk di sana. Pesan masuk dari Mama : Mama : Hari ini aka nada tamu yang datang ke rumah, sebaiknya kau jangan mengganggu aku. Anda : Baiklah, sesuka hati Mama saja. Aku tidak akan mengganggu. Mama : Terima kasih. Read. Jessa berdecak kesal. Ibunya selalu menyewa pria bayaran untuk memuaskan nafsunya. Bahkan Jessa pernah tanpa sengaja melihat kegiatan itu di ruang kerja sang ibu. “Wanita gila!” maki Jessa Hubungannya memang tidak baik dengan sang ibu karena beberapa hal. Jessa bertahan di dalam rumah itu hanya karena menunggu harta warisan sang ibu jatuh ketangannya. Meski hal itu tidak bisa ia pastikan saat ini, akan tetapi Jessa pernah mendapatkan ancaman dari sang ibu, jika ia berani melangkah keluar dari rumah itu, maka dirinya tidak akan mendapatkan harta itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD