Chapter 2

1603 Words
Pagi ini Prilly buru-buru menuju kelasnya. Ia harus mengerjakan PR yang belum ia kerjakan. Ya inilah kebiasaan Prilly di pagi hari bila sedang ada PR. Tiba-tiba larian kecil Prilly terhenti saat melihat siapa yang sedang berdiri didepan kelasnya sambil memainkan ponselnya. Prilly melangkah pelan menghampiri orang itu. Saat Prilly sudah sampai dihadapannya, orang itu pun menoleh kearahnya. “Jam istirahat nanti gue tunggu di perpus. Bawa buku pelajaran lo,” ucap orang itu lalu berlalu dari hadapan Prilly tanpa menunggu balasan dari Prilly. “Dasar, geniusnya terlalu akut sampai menjalar ke syaraf-syarafnya yang bikin tingkat mengeselinya tinggi” ucap Prilly kesal lalu segera masuk ke dalam kelasnya. “Lala,” pekik Prilly saat melihat Lala yang sedang duduk dikursinya yang bertepatan disamping Prilly sambil memainkan ponselnya. “Stop! Lo gak usah ngomong apa-apa lagi. Gue udah paham. Nih,” Lala langsung memberikan buku PR-nya kepada Prilly. “Aaaa makasih La. Lo emang yang paling paham deh,” ucap Prilly lalu mencium singkat pipi Lala. Bertepatan dengan Prilly yang telah usai menyalin tugas Lala, bel masuk pun berbunyi. Jam pelajaran pertama diisi dengan pelajaran fisika, namun Prilly terasa sangat bosan. Bukannya karna tidak suka dengan pelajarannya. Hanya saja Prilly tidak paham dengan pelajaran itu. Prilly selalu kesulitan dalam menangkap pelajaran. Hal itu yang membuatnya selalu tak yakin kalau ia bisa lulus tahun ini. Prilly menghela nafas panjang memikirkan hal itu. *** Akhirnya bel istirahat pun berbunyi membuat para siswa dan siswi pasti bernafas lega. Namun tidak dengan Prilly. Ia harus menemui Ali yang tadi pagi sudah memperingatinya untuk datang ke perpus saat jam istirahat. Dengan buku ditangannya Prilly berjalan menuju perpus. Sesampainya di perpustakaan Prilly mengedarkan pandangannya pada sosok yang ia cari. Perpustakaan selalu begini. Sepi. Hanya ada beberapa murid disini. Wajar saja. Minat baca murid zaman sekarang memang sangat kurang. Akhirnya Prilly menemukan sosok yang ia cari sedang duduk di bagian pojok sambil membaca bukunya. Prilly menghela nafas panjang lalu menghampiri orang itu. Menyadari kehadiran Prilly, Ali menutup bukunya. “Duduk,” ucapnya dingin membuat Prilly memutar bola matanya malas. “Sekarang langsung to the point aja. Lo mau gue ajarin apa?” “Fisika.” “Yang mana?” “Nih,” Prilly menunjukkan salah satu materi dalam buku pelajarannya yang membuat Ali mengerinyitkan dahinya.     “Lo gak ngerti soal ini? Ini kan udah dipelajari sejak kita kelas satu.” Prilly membalas dengan gelengan. Ali menghela nafas panjang lalu mulai menjelaskan pada Prilly. Prilly dengan saksama memperhatikan Ali. Sesekali Prilly mengetuk-ngetuk dahinya berusaha mencerna yang Ali sampaikan. “Kapan lo ulangan fisika?” Tanya Ali. “Lusa.” “Oke. Gue mau liat nilai bagus di ulangan lo. Jangan bikin gue menyesal udah relain waktu gue buat lo,” kata Ali penuh penekanan. “Gue gak janji,” balas Prilly yang membuat Ali menatapnya tajam. “Lo harus bisa..gue gak mau tau.” “Gue gak janji.” Ali merasa geram mendengar jawaban seadanya dari Prilly itu. “Eh gue tau kali kemampuan otak lo itu dibawah rata-rata. Tapi setidaknya lo ngehargain usaha gue buat ngajarin lo. Mungkin lo bisa saat kelas 1 atau 2 naik kelas cuma gara-gara guru pada kasian sama lo. Tapi sekarang lo udah kelas 3. Udah saatnya nentuin kelulusan lo. Lo jangan main-main lagi deh. Gue tau kok cewek kayak lo yang kerjanya cuma hura-hura doang. Makanya otaknya suka gak nyampe masalah pelajaran," kata-kata Ali membuat nafas Prilly memburu. Dadanya terasa sesak. Dia tahu bagaimana kondisinya, tapi haruskan Ali menjabarkannya sampai sedemikian rupa? Mata Prilly terasa memanas. Tangannya mengepal menahan emosi yang meluap-luap akibat ucapan lelaki itu. Tanpa berkata apa-apa Prilly langsung mengemasi bukunya secara kasar dan berlalu dari Ali. “Dasar cewek b**o,” desis Ali sambil tersenyum meremehkan tanpa ada menyesali ucapannya sedikit pun. Karna menurutnya ucapannya benar adanya.     ***     Prilly berlari menuju toilet sekolahnya. Matanya yang sedari tadi memanas kini sudah mulai meneteskan bulir-bulir air yang sedari tadi ia tahan. “Gue tau gue bodoh. Gue tau gue gak sepintar mereka. Tapi gak perlu diperjelas juga kan. Lo pikir gue mau apa kayak gini?” Pekik Prilly menumpahkan segala emosinya. “Baru sehari Prill. Lo harus tahan. Demi papa, demi ketemu papa. Lo punya 2 tangan. Lo gak mungkin pakai tangan lo buat nyumpel mulut dia. Lo cukup gunain tangan lo buat nutup telinga lo dari cacian dia,” ucap Prilly menenangkan dirinya sendiri. Prilly menyeka air matanya sambil melihat dirinya dicermin yang terdapat di toilet itu.   “Prilly kuat.” ***       “Lo telat 10 menit,” Prilly masih mengatur nafasnya yang masih terengah-engah karna berlari.   “Guekan tadi udah bilang sama lo. Jangan sampai telat karna gue gak punya banyak waktu,” ucap Ali. Ya, Alii. Tadi sebelum jam masuk Ali kembali mendatangi kelas Prilly untuk memberi tahu Prilly agar datang ke perpus saat jam istirahat. Dan benar saja, Ali memang berpesan agar Prilly tak datang terlambat. “Sorry tadi gue nyalin catatan temen gue dulu,” balas Prilly. Sebenarnya Prilly masih enggan bertemu orang dihadapannya ini. Orang yang kemarin sudah menghantamnya dengan berbagai kata-kata yang membuatnya merasa sesak. “Duduk,” Prilly menatap malas kearah Ali lalu duduk dihadapan Ali. “Besok lo ulangan kan? Sekarang kita belajar yang bakal diulanganin besok.” Ali mulai mengambil alih buku catatan Prilly dan mulai menjelaskan beberapa materi. Prilly tak sengaja menatap Ali. Ali terlihat berbeda saat sedang serius belajar. Terlihat benar- benar seperti orang cerdas tanpa ada embel-embel manusia menyebalkan seperti monster sama sekali. “Gue minta lo perhatiin yang gue jelasin. Bukan perhatiin gue,” suara dingin itu membuyarkan Prilly dari lamunannya tentang orang dihadapannya. Ternyata Ali benar-benar menyebalkan tak akan pernah berubah. Ali kembali melanjutkan penjelasannya. “Sekarang lo coba kerjain soal nomer 5 sama 7,” ucap Ali. Prilly melirik soal yang ditunjuk Ali sejenak lalu mulai mengerjakannya. Sementara Prilly mengerjakan soalnya Ali memilih untuk membaca buku. Ya itulah Ali, lebih suka menghabiskan waktunya untuk membaca buku dari pada untuk sesuatu hal yang tidak jelas. “Harus berapa lama lagi gue nungguin lo ngerjain soal dua biji itu?” Tanya Ali yang membuat Prilly mendongakkan kepalanya. “Buat gue ngerjain soal itu cuma butuh waktu 1 menit. Dan lo. Ini udah 15 menit,” kata Ali lagi sedikit meninggikan suaranya membuat d**a Prilly kembali sesak. Ali melirik buku Prilly sejenak, belum banyak yang gadis itu lakukan dengan soalnya yang membuat Ali menghela nafas panjang. Ali tak habis pikir ada orang seperti Prilly. Mungkin karena ia selalu dihadapkan dengan orang-orang cerdas sehingga ia merasa tak nyaman saat melihat orang seperti Prilly. Tiba-tiba terdengar suara bel masuk berbunyi. “Besok gue mau liat hasil ulangan lo,” Ali bangkit dari tempat duduknya. “Dasar otak udang,” desisnya pelan namun bisa didengar jelas oleh Prilly. Prilly mengepalkan tangannya menahan emosi mendengar ucapan Ali yang mampu menyayat hatinya. Lagi-lagi Ali melukai hatinya.   *** Kini telah tiba waktunya pulang sekolah, para murid sudah mulai memadati gerbang untuk pulang, tadinya Prilly ingin pulang dengan sahabatnya Lala, namun di urungkannya niatnya itu karena teringat sesuatu. Dan disinilah Prilly sekarang, berada di antara tumpukan buku yang tersimpan rapi di raknya, perpustakaan. Prilly tersenyum saat melihat tumpukan-tumpukan buku itu. Ia ingat sekali bagaimana ia sangat maniak dengan buku-buku ini dulunya. Bagaimana ia menghafal setiap kata demi kata dari dalam buku yang ia baca. Prilly tersenyum miris mengingat itu. Andai kejadian itu tak pernah terjadi. Mungkin Ali tak akan pernah memanggilnya otak udang. Prilly menggelengkan kepalanya saat sepintas saja mengingat Ali. Prilly kembali melanjutkan mencari bukunya, hingga pandangannya terhenti pada buku yang ia cari. Buku itu berada pada rak ke 3, tentu saja itu cukup tinggi dan tak bisa dijangkaunya. Prilly mengambil sebuah bangku untuk mengambil buku itu. Akhirnya buku yang ia cari didapatnya juga. Buku fisika terbitan lama. Mungkin ini bisa membantunya untuk menghadapi ulangan besok. Walaupun Prilly tak yakin. Prilly berniat ingin turun dari bangku itu. Namun tiba-tiba ia kehilangan keseimbangannya, dan Prillypun jatuh dari bangku itu. Prilly memejamkan matanya mengira-ngira bagaimana rasa sakit yang akan ia rasakan saat jatuh nanti. Tapi Prilly heran saat ia merasakan badannya tidak terasa sakit. Bahkan tidak tersentuh lantai. Prilly mulai membuka matanya. Prilly membelalakkan matanya saat melihat siapa yang sudah menolongnya. Manik-manik mata mereka saling bertemu. Jarak mereka sangat dekat hingga Prilly bisa merasakan hembusan nafas orang itu yang menyapu wajahnya. “Ali,” gumam Prilly masih tak percaya. Ali menatapnya dalam-dalam. Entah mengapa tatapan itu terkesan sangat teduh. Berbeda saat setiap kali Ali sedang mengajarkannya. Tiba-tiba kenapa jantung Prilly terasa berdegup sangat kencang dengan posisi seperti ini. “Ternyata selain gak bisa menggunakan otak dengan baik, lo juga gak bisa menggunakan mata dengan baik,” ucap Ali sambil tersenyum sinis.     Prilly langsung turun dari gendongan Ali dan membenarkan bajunya yang sedikit terangkat. Prilly menatap tajam kearah Ali yang juga dibalas Ali dengan tatapan tajam. Tanpa mengucapkan apapun Prilly langsung berlalu dari hadapan Ali. “Tidak tau berterima kasih?” Ucap Ali lalu tertawa kecil. Prilly sadar itu merupakan sindiran untuknya. Prilly membalikkan badannya menatap Ali. “Terimakasih,” ucap Prilly penuh penekanan. Lalu segera berlalu pergi. Ali hanya tertawa kecil melihat kepergian Prilly.     ***    Prilly membuka buku yang ia pinjam di perpustakaan tadi. Namun aksi buka bukunya terhenti saat melihat bingkai foto diatas meja belajarnya itu. Prilly tersenyum melihat foto itu. “Ily kangen Mama. Ily gak marah kok sama Mama. Ily kayak gini bukan karena Mama,” Prilly tersenyum saat melihat fotonya bersama sang mama. Tak terasa air matanya menetes membasahi pipi chubbynya. Prilly menyeka air matanya kemudian menghembuskan nafas panjang. “Ily mau belajar dulu ya Ma. Ily mau nyusul papa ke Jerman. Ily sayang Mama,” Prilly mencium foto itu singkat lalu kembali meletakkannya di meja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD