Chapter 3

1037 Words
Ali terus menggiring bola basketnya sampai mendekati ring. Makin dekat... makin dekat.. dan shoot! Masuk. Teman-teman bersorak-sorak begitu pun Ali. Kini Ali sedang latihan basket untuk melakukan pertandingan persahabatan sore ini bersama SMA tunas bangsa. “Ali,” suara panggilan itu membuat Ali menoleh. Ali tersenyum lalu berlari menghampiri orang itu. “Entar pulang sekolah jangan lupa ke aula dulu ya. Kita kan ada rapat osis,” ucap orang itu mengingatkan. Ali memang sangat aktif disekolah ini. Hampir semua ekskul ia ikuti.     “Iya,” balas Ali sambil lagi-lagi tersenyum. Senyum dari Ali yang sepertinya hanya didapati oleh orang ini. “Kamu tuh main sampai begini banget keringatannya,” orang itu menyeka keringat Ali yang ada di pelipisnya yang lagi-lagi membuat Ali tersenyum. “Yaudah aku mau ke kelas dulu ya.” “Iya. Makasih ya.” Icha Valensia, gadis cantik berbadan tinggi yang baru menemui Ali tadi melangkah menjauhi Ali. Icha adalah salah satu murid cerdas sekolah ini. Icha sangat sering memenangkan Olimpiade sama halnya dengan Ali. Mungkin kesamaan kepandaian itu yang membuat mereka dekat hingga membuat Ali terkagum-kagum. Diam-diam sudah hampir satu tahun Ali menyimpan rasa kepada gadis ini. Tapi entah kapan ia bisa benar-benar mengungkapkannya, tapi ia yakin Icha tahu itu.     ***     “Lo merusak mata gue dengan nilai lo ini,” ucap Ali pelan namun terdengar sangat tajam. “4? Lo dapat nilai 4? Oh god! Jadi gak salah kan kalau gue bilang lo otak udang?” Prilly menatap Ali tajam. Lagi-lagi laki-laki itu memanggilnya dengan sebutan itu. Dadanya naik turun menahan amarah. “Oke fine. Ini ulangan pertama lo saat lo belajar sama gue, gue masih bisa maafin. Sekarang lo kerjain soal-soal ini. Jangan coba-coba pulang sampai soalnya kelar, atau lo gue laporin kekepsek, gue pergi dulu ada urusan, nanti gue balik,” Prilly terbelalak mendengar perintah Ali. Ingin rasanya Prilly menolak, namun apa daya, ancaman Ali yang akan mengadukannya mampu membuat Prilly bungkam. Prilly mulai mengerjakan tugasnya, beberapa saat yang lalu Lala menelefonnya bahwa ia akan mengantarkan tas Prilly ke perpus. Prilly memijat kepalanya yang terasa nyeri. Namun di abaikannya rasa nyeri itu karna ia ingin segera menyelesaikan soal-soal ini agar bisa segera pergi. “Awwww,”  rintih  Prilly sambil  memegangi  kepalanya.  Suasana  perpus yang  sepi  dan penjaga perpus yang sedang makan siang membuat tak ada yang mendengar Prilly. “Prilly,” pekik Lala yang datang tepat waktu. "Ya ampun Prill. Kumat lagi?” Tanya Lala. Prillypun membalas dengan anggukan.     “Minum dulu nih,” Lala menyodorkan air mineral pada Prilly yang memang sengaja ia beli untuk Prilly. “Kan gue udah sering bilang, gak usah dipaksa in. Lagian tu cowok gila banget ngasih lo soal segini banyaknya,” geram Lala. “Gak papa kok La, yaudah lo pulang sana, katanya lo harus nganterin nyokap lo kondangan,” kata Prilly mengingatkan. “Tapi lo gimana?” Tanya Lala khawatir. “Gue gak papa kok.” “Maaf ya Prill gue gak bisa nemenin lo. Kalau ada apa-apa telefon gue ya,” ucap lala yang dibalas anggukan oleh Prilly. Lalapun pergi meninggalkan Prilly. Prilly kembali memegang kepalanya yang kembali terasa pusing. Sepeninggalnya Lala dan sakit dikepalanya yang sudah mulai terasa membaik, Prilly langsung kembali mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh Ali. Sudah hampir 2 jam Prilly mengerjakan soal ini. Dia baru menyelesaikan beberapa, bahkan belum sebagian. “Kemana sih tu anak, gak tau apa udah sore nih,” omel Prilly sambil melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 4 sore. Lelah menunggu dengan soal-soal yang sebagian besar tidak dia mengerti, Prilly akhirnya memutuskan untuk tertidur sejenak. Lagi pula ia juga tidak akan bisa menyelesaikan tugas-tugas itu.     ***     “Li, selamat ya buat kemenangan team kamu. Kamu tadi mainnya bagus banget,” Icha memberi selamat pada Ali yang sedang membersihkan peluhnya. Ali tersenyum menatap Icha. “Thanks ya Ca, Makasih udah mau nonton.” “Kapan sih aku gak nonton kamu?” Ali tersenyum mendengar balasan Icha. Icha adalah salah satu alasan kenapa Ali bisa semangat bertanding basket sore ini. Entah kenapa melihat gadis itu dibangku penonton bagai menyalurkan kekuatan untuknya. Setelah beberapa saat berbincang, Icha pun memutuskan untuk pulang, sebenarnya Ali ingin mengantarnya, namun mengingat ia masih memiliki urusan, diurungkannya niatnya itu. Ali memperhatikan punggung Icha yang sudah menjauh pergi sambil tersenyum simpul. Icha bisa dibilang anak yang polos, bahkan sangat amat polos. Mungkin hal itu juga yang disukai Ali darinya. Walaupun entah kenapa Ali merasa sangat kaku bila menggunakan aku kamu di hadapan Icha layaknya Icha padanya. Tapi itu tak jadi masalah. Menurut Ali panggilan itu tak jadi hal besar. Dengan berjalannya waktu mungkin dia akan bisa menggunakan panggilan aku kamu nya.     *** “Apa tu anak masih disitu ya? Apa jangan-jangan dia udah pergi?” Batin Ali bertanya-tanya meragukan keberadaan Prilly di perpus. Ali melangkah menyelusuri lorong-lorong yang dipenuhi buku-buku. Ali memicingkan matanya saat melihat seseorang yang sedang duduk di pojok perpus dengan kepala yang ia benamkan ke tangannya yang ia lipat diatas meja. “Disuruh kerjain tugas malah molor,” desis Ali lalu berjalan mendekati Prilly. Ali melihat wajah Prilly yang sedang tertidur. Helaian rambutnya menutupi wajah dengan pipi chubby-nya. Entah kenapa Ali menjadi enggan membangunkan Prilly. Disekanya helaian rambut Prilly yang menutupi wajahnya lalu di selipkannya di telinga Prilly. “Kalau lagi tidur, kelihatan pinter,: ucap Ali pelan lalu tertawa kecil. Ali makin tak berniat membangunkan Prilly setelah melihat wajah damai Prilly. Ali mengalihkan pandangannya pada kertas soal yang ada disamping Prilly. Ali mengambil posisi duduk di samping Prilly lalu memperhatikan soal-soal itu yang baru beberapa terisi. “Dasar malas. Ngerjain soal begini aja udah dikasih waktu berjam-jam, belum juga kelar- kelar. Tu otak buntu, mentok atau gimana sih.” Tiba-tiba Prilly mengerjap-ngerjapkan matanya hingga mata Prilly terbuka sempurna. Prilly mendongakkan kepalanya setelah melihat ada seseorang di sebelahnya. “Elo? Sejak kapan lo disitu?” Tanya Prilly.   “Kenapa soalnya baru segini yang lo kerjain?” Tanya Ali tanpa memperdulikan pertanyaan Prilly.   “Gak ngerti,” balas Prilly ketus. “Sekarang lo selesaian. Gue tunggu 15 menit.” “Eh gue udah disini dari siang ya, dan sekarang lo suruh gue buat ngerjain ini lagi? Gila lo,” Prilly langsung mengambil buku-buku dan tasnya kemudian berlalu dari Ali. Ali hanya tersenyum sinis melihat kepergian Prilly dengan emosi yang meluap-luapnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD