Bab. 3 Mimpi yang sangat nyata

1014 Words
Belum ada jam sepuluh pagi Lisa sudah membereskan barang dagangannya. Semua sudah ludes terjual dan dia bisa pulang lebih cepat. Senyum tersungging di bibirnya, lebih cepat pulang artinya bisa menjemput Danang lebih cepat. “Duh ... senangnya yang abis ditengokin ayang,” goda Murti. Dia masih mengira Lisa senang karena ayah Naura ke pasar untuk membeli kue cucur. Wanita tiga puluh lima tahun yang berbadan subur ini bisa menebak dengan jelas kalau ayah Naura sedang berusaha mendekati Lisa. Lisa berdecak, dia tidak suka setiap kali Murti bicara mengenai seorang pria yang berusaha mendekatinya. “Mbak Mur, jangan bicara gitu. Nanti yang nggak tahu bisa salah paham.” “salah paham gimana, semua orang di sini juga udah tahu kalau Mas Rian, ayahnya Naura itu udah lama kesengsem sama kamu. Udah Lis, kamu janda dan dia duda. Danang pasti senang punya bapak baru.” “Untuk sekarang aku nggak kepikiran nikah, Mbak. Tolong kalau lain kali mas Rian ke sini jangan digodain, kasihan anaknya. Nanti dia ketakutan dikira ayahnya beneran mau nikah lagi.” “Loh, ya, nggak apa-apa. Naura malah senang kalau kamu mau jadi ibu sambungnya.” “Mbak Mur, aku pulang duluan, ya. Udah rapi, mau buru-buru jemput Danang.” “Udah terima aja mas Riannya, Lis. Jadi kamu nggak usah capek-capek jualan kue cucur,” ucap Murti setengah berteriak karena Lisa sudah nangkring di motor dan menyalakan mesin motor. Lisa mengangguk dan tersenyum kemudian tancap gas meninggalkan Murti yang masih akan melanjutkan jualan ikan. Bisa segera lepas dari obrolan tentang pernikahan adalah kebahagiaan tersendiri bagi Lisa. Dia bukan wanita tegar yang bisa menahan setiap ucapan orang yang diucapkan padanya. Lisa juga ingin punya suami lagi, tapi dia akut membayangkan kalau misalnya suaminya nanti tidak sayang pada anaknya. Bisa saja suaminya nanti baik pada Danang hanya saat ada dirinya, lalu menjadi jahat saat tidak ada dirinya. Atau kemungkinan yang lain, kasih sayangnya akan berkurang untuk Danang karena memiliki bayi lagi. Membayangkan itu semua membuat nyali Lisa untuk menikah lenyap. Sudah dua kali Lisa menolak lamaran dari laki-laki yang hendak meminangnya. Ayah Naura termasuk laki-laki yang santun dan mapan, hanya saja Lisa tidak mau besar kepala mengira Rian jatuh hati padanya karena dia dan anaknya sering beli kue cucurnya. Bisa saja Rian hanya kasihan saja padanya jadi sering beli kue cucurnya. Lisa tidak ingin ambil pusing, sekarang fokusnya hanya mencari uang dan mengurus Danang. Itu saja. “Mpok Ning, nenek ida mana?” tanya Lisa saat menjemput Danang. Lagi-lagi Danang dititipkan pada Ning yang jelas-jelas tidak bisa diandalkan. Untuk menjaga dirinya sendiri saja Ning tidak bisa apalagi dititipi Danang yang masih berusia empat tahun. Lisa meradang, kali ini dia tidak bisa memberi kesempatan lagi pada nenek Ida. Dia terpaksa berhenti mempercayakan Danang pada nenek Ida. Lihat saja Danang hari ini. Wajah dan bajunya penuh dengan noda coklat. Dia melihat kotak bekal makan siang Danang yang kosong tapi isinya berhamburan di lantai. Dada Lisa terasa sesak melihat anak satu-satunya terlantar. Dia merasa gagal menjadi seorang ibu karena tidak bisa menjaga anaknya dengan baik. Ingin menangis saja rasanya tapi dia harus menahan diri karena tidak mau membuat Danang khawatir. “Ayo, pulang, Nang,” ajak Lisa. Pertama dia mencuci muka Danang kemudian mengganti bajunya. Lisa membersihkan tumpahan makanan dan lantai di rumah nenek Ida. Setelah kekacauan yang dibuat anaknya rapi, Lisa mengemas semua barang-barang Danang mulai dari baju ganti dan mainan. Dia sudah memutuskan ini adalah hari terakhir dia menitipkan Danang di sini. “Mpok Ning, saya pulang dulu, ya.” Lisa pamit pada Ning yang sedang berdiri dan menatap langit-langit rumah dengan pandangan kosong. Meski Lisa tahu Ning tidak akan mengerti dengan ucapannya, Lisa tetap berbasa-basi dan mengajaknya bicara. Sebelum Lisa keluar dari pintu, Ning tiba-tiba saja menarik lengan Lisa. Wajah Ning yang biasanya minim ekspresi kini terlihat marah. “Nakal! Nggak boleh nakal! Pulang sana, pulang!” Danang ketakutan dan segera bersembunyi dalam pelukan Lisa. Bukan hanya Danang yang takut, Lisa juga takut. Dia mencoba melepas tangan Ning yang mencengkeramnya dengan erat. “Mpok Ning, lepas! Sakit, Mpok,” ucap Lisa. “Pulang kamu!” bentak Ning. “Iya, iya, Mpok. Ini juga mau pulang.” “Jangan nakal!” “Iya, iya, aku nggak nakal. Mpok, lepasin, ya!” Lisa tak habis pikir pada nenek Ida. Dia tega menitipkan Danang pada Ning yang jelas-jelas terganggu mentalnya. Lisa tidak bisa membayangkan selama ini Danang hanya berdua dengan Ning. Nalurinya sebagai ibu perih membayangkan Danang selama ditinggal ke pasar. Ning tak juga melepaskan Lisa. Tetangga yang melihat Ning marah-marah dan mencengkeram Lisa segera menolong Lisa. Mereka membantu Lisa melepaskan genggaman Ning yang begitu kuat. Padahal sehari-hari Ning begitu lemah lembut. Untuk bicara saja dia seperti orang tidak makan tiga hari. Namun hari ini Ning jadi begitu kuat. Tenaganya begitu besar hingga meninggalkan bekas jari di lengan Lisa. “Ya Allah, Lis, kamu nggak apa-apa? Ning kalau kambuh emang suka ngamuk begini,” ucap tetangga Ning. Salah seorang laki-laki yang kebetulan berada di sana menahan Ning agar tidak mengejar Lisa. “Pulang saja, Lis! Takutnya nanti si Ning ngamuk ke kamu lagi,” usul seorang ibu yang ikut membantu Lisa. “Iya, Bu. Terima kasih, tolong bilang sama nenek Ida, besok saya nggak nitip Danang di sini lagi, ya.” “Iya, iya. Nanti saya bilangin nek Ida. Lagian nek Ida juga nggak jelas, udah dititipin anak malah dia pergi. Kasihan juga Danang tiap hari main sama Ning. Kami sudah lama mau bilang ke kamu tapi nggak enak sama nek Ida.” Lisa tersenyum masam. Dengan kejadian ini dia semakin memantapkan hati untuk tidak menggunakan jasa nenek Ida lagi. “Ma, tadi ate Ning kenapa mayah ke Mama?” Danang bertanya pada sang ibu dengan mata yang sudah mengantuk. Sudah jam delapan malam dan Danang biasanya sudah tidur di jam ini. “Ate Ning nggak marah ke Mama, kok.” Lisa sedikit menjelaskan pada anaknya yang mulai terpejam sampai akhirnya dia pulas. Lisa juga ikut memejamkan mata menyusul ke alam mimpi. Mimpi yang begitu nyata saat tiba-tiba Lisa merasa ada yang membelai pipi kanannya dan berbisik di telinganya, “kamu ibu yang hebat, Lisa.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD