Bab. 2 Mas, aku kangen

1059 Words
Jam di dinding menunjukkan pukul 01.00 WIB. Hembusan angin yang berputar dari kipas angin tidak bisa mengusir panas di kamar tempat Lisa dan anaknya tidur. Danang bahkan sudah melempar jauh selimut dan membuka kaos sampai ke bagian d**a. Badan Lisa masih tidur tapi pikirannya sudah terbangun sejak Danang merengek karena digigit nyamuk. Lisa juga kepanasan tapi dia tidak begitu peduli. Selama dia bisa merebahkan tubuhnya, itu sudah cukup. Rasa kantuk kembali menyerang, kesadaran Lisa mulai terbuai ke alam mimpi. Satu sosok bayangan hitam berdiri di dekat ranjang Lisa. Dia tetap berdiri dan diam di sana memandangi kemolekan tubuh Lisa yang masih kencang, padat dan berisi. Kaki Lisa yang jenjang terpampang tanpa ada yang menutupi. Rok yang dipakai Lisa tersingkap hingga menampilkan ujung kaki sampai ke paha. Meski begitu Lisa masih saja tetap merasa gerah. Maklum saja, Jakarta panas. Apalagi rumah Lisa cukup kecil tanpa jendela sebagai tempat sirkulasi udara. Kamarnya bahkan hanya berukuran 3 x 4 meter. Lisa yang merasa diawasi membuka matanya perlahan. Udara panas yang ia rasakan seketika berganti menjadi hembusan angin dingin. Lisa membetulkan posisi roknya yang tersingkap. Ia mengusap tengkuknya yang kembali merinding. Lisa melirik ke seluruh ruangan. Sepi, tidak ada apapun. Dia bangun dan melihat ke arah pintu, takut dia lupa mengunci pintu. Bulu kuduknya lagi-lagi meremang. Lisa menggigil, tapi bukan karena kedinginan. Lisa takut. Wanita satu anak itu lantas mengambil selimut yang terjatuh ke lantai, ia buru-buru naik ke ranjang dan memeluk Danang yang pulas tertidur. “Gerah!” Danang menolak pelukan Lisa. Dia tidak tahan gerah dan tidak suka didekati jika sedang kegerahan saat tidur. Lisa tetap memeluk Danang, dia tidak peduli Danang yang menggeliat dalam pelukannya. Lisa sudah terlanjur takut dan tidak ada orang lain selain Danang, anaknya. “Astagfirullah, siapapun kamu jangan ganggu, aku juga nggak ganggu kamu,” ucap Lisa. Lisa masih setengah sadar saat telinganya mendengar seseorang berbisik tepat di telinganya. “Jangan takut, ada aku.” Bukan hanya berbisik, dia bisa merasakan keningnya dingin saat ada sesuatu yang lunak membelai keningnya. Lebih mirip seperti bibir yang menempel dengan ringan. Meski sudah dua tahun tidak mendengar suara Lanang, Lisa yakin bahwa suara yang ia dengar adalah suara almarhum suaminya. Lisa memberanikan diri dan tetap tenang. Dia tidak percaya orang yang sudah meninggal bisa bangun dan mengunjungi orang yang masih hidup. “Semua akan baik-baik saja. Kamu dan anak kita.” Lisa semakin yakin kalau bisikan ini berasal dari sang suami. Buktinya dia menyebut anak kita. Sudah pasti itu adalah Lanang Setia Aji. Suaminya. Namun bukankah ini tidak mungkin? Lisa menyingkirkan rasa takutnya dan mencoba membuka sedikit kelopak matanya. Bulu matanya bergetar saat ia mencoba membuka mata. “Mas ... Mas Lanang,” panggil Lisa. Dia menertawakan dirinya sendiri. Tentu saja tidak akan ada yang menjawab panggilannya. Lanang mungkin sudah kembali menjadi tanah setelah dua tahun dikuburkan. Dia tidak mungkin ada di sini dan berbisik di telinganya. “Apa mungkin itu qorin mas Lanang? Tapi kenapa baru sekarang dia datang?” Ribuan pertanyaan berputar-putar di kepala Lisa. Lisa menatap Danang, wajahnya begitu mirip dengan sang ayah. Beberapa hari yang lalu Danang bertanya tentang ayahnya. Mungkin ini adalah jawaban dari kerinduan Danang pada sang ayah? ‘Mas, aku lelah. Apa kamu datang karena tidak tega melihat aku dan Danang? Mas Lanang tenang saja. Aku bisa membesarkan anak kita dengan baik. Aku mungkin sekarang sedikit lelah, tapi besok sudah nggak lelah lagi,’ batin Lisa. Dia berharap sang suami tenang di sana. Air mata lagi-lagi membasahi pipi Lisa. Hubungannya dengan sang suami dulu memang tidak seromantis teman-temannya, tapi Lisa sangat mencintai Lanang. Terlepas dari sikap Lanang yang irit bicara, Lanang sangat bertanggung jawab sebagai suami. Lisa ingat, Lanang selalu memijatnya saat tengah malam jika ia mengeluh lelah mengejar Danang seharian. Lanang akan mendengarkan setiap keluh kesahnya. Dia mungkin tidak bisa memberikan banyak materi, tapi kasih sayang Lanang sudah cukup membuat Lisa bahagia. Lanang memang tidak lantang menyuarakan kata cinta dan gombalan lain untuk merayu Lisa. Namun lelaki itu sering menunjukkan kasih sayangnya dengan bukti nyata. Lanang tak segan-segan membantu Lisa menyelesaikan pekerjaan rumah saat ia keteteran menjaga Danang. Lanang juga tidak pelit dan memberikan kepercayaan penuh pada Lisa untuk mengelola keuangan mereka. “Mas, aku kangen.” Lisa memaksakan diri memejamkan mata tapi tetap saja pikirannya berkelana jauh. Dia baru benar-benar tertidur saat adzan Subuh berkumandang. Lisa menyeret tubuhnya yang masih ingin berbaring. Tak peduli sengantuk apapun dia harus tetap bangun untuk mulai menyiapkan dagangan. Lisa terburu-buru menyiapkan semua karena dia termasuk sudah kesiangan. Seharusnya dia bangun jam empat dan sesudah Subuh dia sudah menggelar dagangan di pasar. Lisa masih menitipkan Danang di tempat nenek Ida. Hari ini adalah kesempatan terakhir yang Lisa berikan pada nenek Ida. Jika Danang masih saja terlantar dalam pengawasannya maka tega tidak tega Lisa akan mengganti nenek Ida dengan orang lain. “Lis, kamu pucat banget, sakit?” tanya Murti si penjual ikan. “Hah? Nggak, Mbak. Mungkin semalam aku kurang tidur aja.” “Udah sarapan belum? Aku bawa nasi uduk beli di sebelah rumah. Kalau mau, kamu makan aja.” “Nggak usah, Mbak. Terima kasih.” Begitulah Murti si penjual ikan. Mulutnya memang kadang pedas sekali dan bicara tanpa tedeng aling-aling, tapi hatinya baik. Dia tidak pelit dan sering memberi makanan atau ikan pada Lisa. “Lis, Lis, tuh ada yang beli,” ucap Murti dengan mata dikedip-kedip genit. Lisa melihat seorang gadis kecil dikepang dua bersama seorang ayah. “Dedek Naura, mau beli cucur buat oma?” tanya Lisa ramah. Naura dan ayahnya kerap datang untuk membeli kue cucur buatannya. Setiap kali mereka datang maka Murti akan heboh, dia pikir ayah Naura menaruh hati pada Lisa. Ayah Naura adalah duda yang ditinggalkan oleh istrinya tanpa sebab yang jelas. Mungkin karena istrinya tidak tahan hidup miskin. Namun siapa yang sangka, kehidupan mereka meningkat pesat setelah kepergian ibu Naura. Naura mengangguk dan tersenyum kecil. Dia memberikan uang pecahan dua puluh ribu rupiah pada Lisa. “Beli berapa, Sayang?” tanya Lisa. Murti yang mendengarnya sengaja menggoda Lisa, “Sayang yang mana, nih? Naura apa ayahnya?” Ini adalah salah satu yang tidak disukai Lisa dari Murti, kadang candaanya tidak mengenakan hati. Lisa jadi malu pada Naura dan ayahnya. Dia memang janda, tapi bukan berarti setiap laki-laki yang datang membeli cucur harus digodain seperti ini. Lisa juga menyesali mulutnya yang sudah memanggil sayang pada Naura. ‘Besok-besok aku nggak akan memanggil siapapun pakai sapaan sayang lagi.’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD