bc

Arwah Suamiku

book_age16+
44
FOLLOW
1K
READ
others
drama
bxg
mystery
small town
supernatural
lonely
like
intro-logo
Blurb

Awalnya Lisa merasakan ketakutan setiap kali arwah suaminya datang. Namun lama-kelamaan dia menjadi terbiasa dan akhirnya nyaman dengan kedatangan arwah sang suami.

Kemudian hadirlah Dimas, mahasiswa tingkat akhir yang berusaha meluluhkan hati Lisa. Selain itu ada Rian, seorang duda dengan satu anak yang sangat perhatian pada Lisa dan anaknya. Juga ada juragan Burhan yang ingin menjadikan Lisa sebagai istri ke empatnya.

Rupanya kehadiran mereka mengusik arwah Lanang yang setiap hari mendatangi Lisa. Apa yang akan terjadi pada Lisa berikutnya? Bagaimana bisa arwah suaminya terus datang menemui Lisa?

chap-preview
Free preview
Bab. 1 Rindu almarhum suami
“Belum mau pulang, Lis? Betah banget di pasar, udah siang, nih,” ucap Murni. Penjual ikan yang kebetulan lapaknya berada tepat di samping Lisa. “Sebentar lagi, Mbak. Nanggung tinggal dikit,” jawab Lisa. Lisa melihat pada deretan kue cucur yang sudah dingin. Sudah jam sepuluh lebih tapi kue cucurnya masih lumayan banyak. Belum yang masih berupa adonan. Sudah beberapa hari ini kue cucur buatannya agak sepi pembeli. “Kalau gitu aku duluan, ya, Lis.” “Mbak, bawa ini buat Nadia, ya.” Lisa mengambil kantong plastik hendak membungkus kue cucur untuk anak Murni, Nadia. “Nggak usah, Lis, makasih. Nadia udah bosen sama kue cucur katanya. Udah jual aja, siapa tahu laku lumayan jadi duit.” Hati Lisa mencelos mendengar kata-kata penolakan Murni. Tidak apa dia menolak pemberiannya, tapi apa harus sampai bicara seperti itu? Lisa memberikannya cuma-cuma tanpa memungut bayaran. Namun niat baiknya mendapat balasan berupa cemoohan. “Ya sudah kalau begitu, Mbak.” Lisa pulang ke rumah dengan membawa kue cucur yang masih tersisa. Biasanya dia akan membagikannya kepada tetangga jika tidak habis. Sedangkan adonan yang masih tersisa terpaksa dia buang. Tidak ada kulkas di rumahnya dan dia tidak memiliki sisa tenaga untuk mengolahnya lagi. Lisa menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Dia lelah, hari ini pasar agak sepi dan berimbas pada jualannya yang ikut loyo. Dia memejamkan mata sesaat melepas penat sebelum pergi ke toko untuk belanja bahan kue. Belum pulas ia tidur, jemari tangan yang sedikit kasar dan kuat memijat bahunya yang tegang. Sudah lama Lisa tidak dipijat seperti ini, rasanya sangat nyaman dan enak. “Ya, di situ, Mas. Enak sekali, rasanya tulang-tulangku mau lepas,” ucap Lisa menikmati pijatan dari Lanang Setia Aji, suaminya. Sang suami tersenyum tipis tidak mengatakan apapun. “Di sini, Mas. Rasanya kepalaku juga mau pecah memikirkan harga-harga yang semuanya naik sedangkan kita nggak bisa menaikkan harga kue cucur,” ucap Lisa menunjuk ke arah pelipisnya. Jari yang memijat bahu itu pun pindah ke pelipis Lisa. Lanang memijat perlahan dan tekanan yang tidak terlalu berat hingga tidak menyakiti Lisa. Sekitar pelipis dan kepala, semua tak luput dari pijatan Lanang. Setelah agak rileks, jari itu kembali ke bahu Lisa. Lanang dengan telaten memijat dan sesekali ia mengendus wangi rambut Lisa. Tidak sampai mencium, tapi hanya sampai di atas kepala Lisa. Lisa sadar dengan gerakan-gerakan Lanang meski tidak melihatnya. Lisa memejamkan mata tapi seolah dia bisa melihat semua di dalam kepalanya. Pijatan demi pijatan membawa ketenangan dan rasa lelahnya berangsur-angsur menghilang. Mata Lisa lama-lama benar-benar berat dan mungkin sebentar lagi dia akan tidur pulas di kursi. Lisa tersenyum tipis, dia bersyukur memiliki suami yang sangat perhatian. Namun seketika dia membuka mata dan beristighfar berulang-ulang. “Astagfirullahaladzim. Astagfirullahaladzim.” Lisa berkeringat dingin, dia menoleh ke belakang dan tidak mendapati siapapun di belakangnya. Namun Lisa bisa yakin, barusan ada yang memijat bahunya. Tangan itu terasa sangat nyata, dan dia bahkan bisa melirik pada senyum tipis sang suami. Masalahnya, suami Lisa sudah meninggal dua tahun lalu. Mata yang tadi sudah sangat berat mendadak terbuka lebar. Ini masih siang hari, tidak mungkin yang baru saja memijatnya adalah hantu. Hantu tidak ada di siang hari ‘kan? “Apa itu barusan? Apa aku mimpi?” Bulu kuduk Lisa meremang, dia mengusap pundaknya. Pijatan tadi sangat nyata. Rasa tegang di area bahunya bahkan sekarang sudah jauh lebih ringan meski belum hilang sepenuhnya. “Astagfirullahaladzim, sama-sama tinggal di sini jangan ganggu jangan. Kita hidup berdampingan, jangan suka mengganggu.” Lisa menyalakan semua lampu di rumah tak terkecuali kamar depan meski cahaya dari luar sudah cukup memberi penerangan. Untung saja ini masih siang, kalau sudah malam ketakutan Lisa pasti akan berlipat ganda. Lisa lantas mengambil dompetnya dan bergegas pergi ke toko bahan kue. Dia melupakan begitu saja kejadian siang ini. Lisa meyakinkan dirinya apa yang baru saja terjadi adalah imajinasi karena dia yang terlalu lelah, dan mungkin merindukan almarhum suaminya. Selepas belanja, Lisa pergi ke rumah nenek Ida. Wanita tua yang ia percaya untuk membantu menjaga putranya yang masih berusia empat tahun. Lisa menitipkan putranya sampai tengah hari. Sekitar jam satu atau jam dua, Lisa akan menjemput putranya, Danang Setia Aji. Ada rasa sesak saat menjemput putranya di rumah nenek Ida. Lisa menitipkan putranya di sana tidak gratis, dia membayar dengan uang yang pantas dan sesekali memberi sembako untuk nenek Ida. Namun kerap kali ia mendapati putranya terlantar main sendirian di rumah nenek Ida. Kadang Lisa ingin mengganti nenek Ida dengan orang lain untuk menjaga putranya selama ia tinggal ke pasar, tapi setiap kali ia akan mengganti pengasuh, nenek Ida akan datang dan mengiba agar bisa tetap menjaga Danang. Lisa tidak tega menolak, tapi jika seperti ini, ibu mana yang tega? “Nang, main apa?” tanya Lisa pada putranya yang sedang bermain beberapa gelas plastik. Bajunya sudah basah kuyup. Danang memang senang bermain air. “Gelas, main perahu,” jawab Danang. Bicaranya sudah cukup lancar hanya cadel di huruf r saja. “Anak pintar.” Lisa mencopot baju Danang dan menggantinya dengan baju bersih yang sudah ia siapkan di dalam tas. Lisa tidak tahu di mana nenek Ida karena di dalam rumah sepertinya tidak ada orang. Di depan rumah ada anak tertua nenek Ida. Dia tidak bisa menggantikan nenek Ida menjaga Danang karena memiliki riwayat ODGJ. Meski bisa diajak berkomunikasi tapi kadang tidak nyambung saat bicara. “Mpok Ning, nenek Ida ke mana?” tanya Lisa pada anak tertua Ida. “Baru saja naik delman, mungkin tahun depan sudah sampai di Bandung. Harusnya tadi saya ikut saja, ya,” ucap Ning dengan pandangan menerawang jauh. Lisa menyesal sudah bertanya pada Ning, seharusnya dia sudah tahu tidak akan mendapatkan jawaban dari pertanyaannya. Lisa merasa kasihan pada nenek Ida, tapi kalau cara kerjanya begini dia nyesek juga. Mungkin nanti dia harus bicara lagi dengan nenek Ida perihal cara menjaga nenek Ida yang teledor. Malam hari adalah saat terbaik bagi Lisa. Dia bisa mengistirahatkan badannya setelah satu hari yang panjang ini. Dia menatap wajah tidur putranya yang begitu damai. Hatinya seakan tercubit melihat anak laki-lakinya yang begitu penurut ini. Pikirannya terbang pada almarhum Lanang, seandainya suaminya masih hidup tentu dia tidak perlu menitipkan anaknya. Lisa juga tidak perlu berjualan kue cucur di pasar. Setetes air mata lolos dari mata Lisa, setelah dua tahun menjalani hidup dengan tegar. Malam ini Lisa tidak kuasa menahan rasa rindunya pada almarhum Lanang.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
102.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.0K
bc

My Secret Little Wife

read
96.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook