Setelah keluar dari ruangan Dokter Brian, mama Dian berjalan kembali menuju ke ruangan pak Ferdi. Namun saat sampai depan pintu, mama Dian berhenti dan menghela nafas sejenak dan mencoba untuk menetralisir hati dan pikirannya.
“Mama dari mana saja? Kok lama banget?” tanya Feby saat mama Dian memasuki ruangan.
“Tadi mama habis dari ruangan dokter Brian untuk membicarakan tentang hasil tes darah papamu.”
“Lalu apa kata dokter?”
“Dokter bilang papamu harus banyak istirahat dan menjalani perawatan dengan benar agar cepat sembuh.”
“Tuh kan, papa sudah bilang, kalau papa hanya kecapekan aja. Kalian tidak perlu khawatir yang berlebihan begitu.” sahut Pak Ferdi.
“Apa benar ma kalau papa hanya kecapekan aja?” tanya Feby.
Mama Dian hanya terdiam. Ia bingung harus berkata apa. Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya? Tapi ia takut jika ia mengatakan yang sebenarnya akan membuat pak Ferdi down lagi. Apalagi pakFerdi baru saja sadar.
“Bukannya tadi ada suster yang memeriksa kesini?” tanya mama Dian.
“Iya ma.”
“Terus apa kata susternya?”
“Suster cuma bilang suruh banyak istirahat dulu.”
“Ya sudah berarti memang butuh istirahat yang banyak. Kamu juga, lebih baik kamu pulang dulu aja. Biar mama yang jaga papamu disini.” Perintah mama Dian pada Feby.
“Nggak ah ma. Feby mau bersama papa dan mama disini.”
“Tapi kamu juga belum istirahat dari pulang kuliah tadi. Pasti kamu juga belum makan kan?”
“Hehehe. Feby nggak lapar ma.”
“Sudah turuti saja apa yang disuruh mamamu.” sahut pak Ferdi.
“Tapi pa, Feby mau nemenin papa disini.”
“Besok kan selesai kuliah kamu juga bisa kesini lagi. Kamu juga harus istirahat yang cukup. Jangan ikut-ikutan sakit. Nanti siapa yang jagain papa? Kasihan mama kamu kalau sendirian.”
“Hemmm… Ya udah, ya udah. Kalau gitu Feby pulang ya? Tapi apapun yang terjadi tetap kasih kabar Feby ya?”
“Iya, iya.”
Feby pun berpamitan kepada kedua orang tuanya.
“Pa, ma Feby pulang dulu ya?”
“Iya sayang hati-hati. Jangan lupa makan dulu sebelum tidur.”
“Iya ma.”
Feby pun meninggalkan rumah sakit dan pulang ke rumah dengan menggunakan taxi online yang sudah ia pesan. Kini tinggal Pak Ferdi dan Mama Dian.
“Katakanlah!!!” ucap Pak Ferdi tiba-tiba yang membuat mama Dian terkejut.
“Katakan tentang apa?”
“Papa tahu kalau mama menyembunyikan sesuatu.”
“Hah? Tidak. Memangnya apa yang mama sembunyikan?” gugup mama Dian.
“Papa mengenal mama sudah lebih dari dua puluh lima tahun. Papa sudah hafal semua tentang mama. Termasuk tadi saat Feby bertanya pada mama, bukannya menjawab, tapi mama malah balik bertanya dan mengalihkan pembicaraan. Bukankah itu berarti ada yang mama sembunyikan?”
“Apaan sih. Orang mama tidak menyembunyikan apapun kok. Sudah sekarang papa istirahat aja.”
Mama Dian membetulkan selimut pak Ferdi. Dengan cepat pak Ferdi pun menggenggam tangan mama Dian.
“Tatap mata papa?” pinta pak Ferdi.
Namun mama Dian tidak berani menatap dan hanya menundukkan kepala. Tak terasa ternyata air matanya menetes dan terjatuh. Pak Ferdi mengetahui itu.
“Tuh kan? Mama menangis?”
Mama Dian segera menghapus air matanya.
“Pa… tolong lepasin tanganku.”
“Tidak. Papa tidak akan melepaskannya sebelum mama mengatakannya.”
“Tapi pa…”
“Papa tidak apa-apa. Papa tahu mama tidak mau mengatakannya karena takut akan membuat papa sedih dan down kan?”
Mama Dian pun menatap pak Ferdi dengan mata yang masih berkaca-kaca.
“Tenanglah… Papa sudah siap mendengarkan semuanya. Apapun itu.”
Mama Dian menghela nafas panjang.
“Baiklah. Tapi papa harus janji dulu?”
“Janji?”
“Iya, papa harus berjanji kalau papa harus kuat. Papa harus sembuh. Papa harus nurut apapun kata dokter. Jangan bantah dan ngeyel.”
“Iya ma. Papa janji.”
“Jadi tadi dokter Brian menjelaskan pada tentang hasil tes darah milik papa. Dokter bilang kalau papa….” Mama Dian menghentikan ucapannya.
Pak Ferdi menatap mama Dian menantikan kalimat selanjutnya.
“Hasilnya menunjukkan kalau papa sakit gagal ginjal.”
“Oalah cuma gagal ginjal toh.” Pak ferdi mencoba menanggapi dengan santai.
“Hah? Cuma?” Mama Dian membolakan matanya mendengar ucapan suaminya.
“Ya papa kira terkena penyakit yang mematikan.”
“Amit-amit…. Papa kalau ngomong dijaga ya.”
“Hehehehe… Bercanda ma. Lagian mama tegang banget gitu. Tenang saja. Dokternya kan juga bilang kalau papa bisa sembuh.”
“Papa juga tadi kok diam aja pas tahu kalau mama menyembunyikan sesuatu?”
“Iya, papa menunggu Feby pergi dulu. Papa nggak mau berita buruk ini akan mempengaruhi dan membuat khawatir Feby. Apalagi sebentar lagi Feby akan mengikuti kompetisi mewakili kampusnya. Jadi papa mohon sama mama, untuk sementara ini jangan kasih tahu Feby dulu.”
“Terus kapan kita akan memberitahu Feby? Jika Feby mengetahuinya dari orang lain itu akan membuat Feby merasa sakit hati.”
“Ya setidaknya sampai kompetisinya berakhir. Tinggal 5 hari lagi kan?”
“Iya kalau tidak salah. Baiklah kalau itu mau papa.”
Sedangkan Feby telah sampai di rumahnya. Sebelum tidur pun Feby menyempatkan untuk menelpon mamanya, menanyakan bagaimana keadaan papanya.
***
Keesokan harinya.
Drrrtttt…
Sebuah ponsel bergetar terus menerus.
Feby yang masih terlelap dalam tidurnya yang begitu nyenyak karena kecapekan, terkejut ketika mendengar ponselnya yang terus menerus bergetar di atas meja kecil di samping tempat tidurnya.
Feby dengan mata malas mengambil ponselnya, dan mengecek siapa yang menelponnya. Feby langsung bangun, saat mengetahui ternyata yang menelpon adalah sang mama. Feby pun panik dan segera menelpon balik mamanya. Hanya ada pikiran buruk di otaknya saat ini. Ia takut terjadi apa-apa dengan papanya.
“Halo ma.”
“Halo sayang. Akhirnya. Dari tadi mama telpon kamu nggak diangkat. Pasti kamu baru bangun?”
“Hehehe. Iya ma. Maaf. Oh ya, bagaimana keadaan papa? Papa baik-baik saja kan ma?”
“Dasar anak perawan kebluk. Iya papamu baik-baik saja.”
“Serius kan ma? Mama nggak bohongin Feby kan?”
“Buat apa mama bohongin kamu.”
“Syukurlah kalau begitu. Terus mama kenapa telpon sampai berulang kali? Bikin Feby takut aja.”
“Ya kamu kalau nggak ditelpon berulang kali, pasti nggak akan bangun sampai nanti siang.”
“Hehehe. Lagian hari ini kan Feby masuk kuliah agak siang ma.”
“Iya mama tahu. Tapi sudah berulang kali mama bilang, anak perawan nggak baik bangun siang-siang. Nanti susah dapat jodohnya.”
“Mitos ma. Jodoh udah ada yang ngatur.”
“Dasar bandel. Kamu mau kesini nggak?”
“Iya ma. Nanti sebelum berangkat kuliah Feby mampir kesitu dulu. Mama mau dibawain apa?”
“Pakaian aja dua stel.”
“Memang papa masih lama di rumah sakit ma?”
“Mama juga nggak tahu. Buat jaga-jaga saja.”
“Baiklah. Apa lagi? Makanan? Minuman? Buah-buahan?”
“Nggak usah. Disini sudah banyak makanan dan minuman. Tadi teman-teman papa kamu pada datang kesini jenguk papa.”
“Oh ya udah kalau begitu. Feby mau mandi dulu ya ma? Habis itu langsung cusss kesitu.”
“Iya. hati-hati di jalan. Jangan ngebut-ngebut bawa motornya.”
“Siappp laksanakan.”
***
Feby telah selesai mandi dan bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Ia pergi menuju ke rumah sakit dengan mengendarai sepeda motor scoopy berwarna putih kesayangannya. Tak lupa ia juga membawa pesanan mama Dian.
Setelah sampai di rumah sakit, Feby segera berjalan menuju ke ruangan dimana papanya dirawat.
‘Bruukkkk’
Tiba-tiba seseorang menabrak Feby. Tak hanya itu, minuman yang dibawa orang itu pun juga tumpah ke baju Feby. Sehingga membasahi pakaian Feby.
“Maaf… maaf…” Orang itu meminta maaf sambil mengusap-usap pakaian baju Feby yang basah yaitu tepat bagian dadanya. Seketika Feby reflek menampar pipi orang itu karena terkejut.
“Dasar laki-laki brengsek.” Gertak Feby.
Seorang laki-laki yang memakai kemeja berwarana biru muda dengan perpaduan celana berwarna biru navy dan juga jas yang berwarna senada dengan celananya itu pun juga ikut terkejut dan segera mengalihkan tangannya dari tubuh Feby. Ia hanya bisa menatap Feby, tanpa berkata-kata.
Feby melihat jam tangannya, ia pikir masih ada waktu untuk pulang ganti pakaian dulu sebelum berangkat ke kampus. Feby pun melangkahkan kaki meninggalkan laki-laki tersebut dengan perasaan kesal.
“Tunggu!!!” Tiba-tiba laki-laki menghentikan langkah Feby.
Laki-laki itu berjalan mendekati Feby sambil membuka jasnya. Lalu ia melempar jas itu pada Feby. Sehingga membuat Feby bingung.
“Apa kamu akan berjalan dengan memperlihatkan bagian dadamu yang tak seberapa itu?”
Feby menundukkan kepalanya untuk melihat apa yang dimaksud dengan ucapan laki-laki itu. Saat mengetahui ternyata bajunya yang basah itu nerawang memperlihatkan bagian dadanya, Feby segera menutupnya dengan jas yang diberikan oleh laki-laki itu.
“Pakailah jas itu itu untuk menutupi buah kelengkengmu itu. Tak perlu berterima kasih, anggap saja sebagai permintaan maafku.”
Setelah mengucapkan itu, laki-laki itu segera pergi meninggalkan Feby yang masih tercengan mendengarkan ucapannya.
“Buah kelengkeng?” gumam Feby.
“Wooyyy!!! Berhenti!!!” Teriak Feby yang membuat orang-orang di sekitarnya menatap ke arahnya, sedangkan orang yang ia teriaki tak menggubris dan menoleh sama sekali.
Karena merasa malu Feby pun segera pergi dan dengan terpaksa memakai jas yang di berikan laki-laki itu untuk menutupi pakaiannya yang basah.
TBC
****