“Maaf dok, tadi putra anda kesini mencari anda.” ucap seorang perawat saat Rayyan hendak memasuki ruang kerjanya setelah menyelesaikan operasinya.
“Lalu dimana dia sekarang?”
“Saya juga kurang tahu dok. Tadi saya lihat Rasya lari saat disuruh makan oleh bibi Surti.”
“Oh ya baiklah. Terima kasih.”
Rasyafano Denandra, anak kecil yang bersama dengan Feby tadi adalah anak semata wayang dari dokter Rayyan. Rayyan Denandra adalah seorag pria yang berusia 30 tahun. Seorang dokter spesialis ginjal, juga dikenal nephrologist atau spesialis nefrologi. Memiliki wajah tampan, tinggi, dan berkulit putih. Enam tahun yang lalu Rayyan telah menikahi seorang gadis yang begitu sangat ia cintai, yaitu ibu dari Rasya. Namun sayang, bahtera rumah tangga mereka tak berjalan lama, karena sang istri telah meninggal dunia saat melahirkan Rasya.
Kala itu benar-benar masa-masa yang sangat sulit sepanjang hidup Rayyan. Dunianya serasa sudah hancur. Semangat hidupnya seperti sudah tak ada lagi. Namun ia harus segera bangkit dari masa sulit itu demi sang buah hati. Hingga akhirnya ia bisa menjalani dan membesarkan Rasya sampai saat ini.
Dari kejauhan Rayyan melihat Rasya yang tertidur dipangkuan bibi Surti. Ia pun segera menghampirinya.
“Ada apa bi? Apa Rasya rewel lagi?” tanya Rayyan dengan suara pelan.
“Iya pak. Tadi pagi saat bangun tidur, Rasya mencari bapak. Bahkan ia sampai tak mau makan sama sekali. Ia ingin disuapin oleh bapak. Jadi saya mengajaknya kesini. Tapi ternyata bapak sedang di ruang operasi.”
“Apa badannya masih panas?”
“Tadi masih pak, tapi sekarang udah mendingan.”
“Syukurlah. Jadi sampai sekarang dia belum makan sama sekali?”
“Sudah pak. Untung saja tadi ada seorang wanita yang baik pak.”
“Maksudnya?”
Bibi Surti pun menceritakan kejadian tentang Rasya dan Feby kepada Rayyan dari awal hingga akhir tanpa terlewatkan sedikit pun.
“Benarkah bi?” Rayyan masih sulit percaya dengan cerita bibi Surti. Karena Rayyan sangat mengetahui sifat dan watak anak semata wayangnya itu. Rasya sangat sulit dekat dan berinteraksi dengan orang baru. Apalagi saat Rasya sedang merasa tidak enak badan, ia hanya mau bersama ayahnya.
“Benar pak. Pasti bapak tidak akan percaya. Saya pun kalau tidak melihat dengan kedua mata saya sendiri juga tidak akan percaya.”
“Apakah wanita itu salah satu perawat disini bi?”
“Sepertinya bukan pak. Dia tidak mengenakan seragam perawat. Saya lihat dia juga masih cukup muda.”
“Oh begitu.”
“Saya benar-benar merasa tersentuh melihat interaksi Rasya dengan wanita itu pak. Saya rasa Rasya benar-benar membutuhkan sosok seorang ibu pak. Jadi kapan bapak akan mencarikan ibu buat Rasya?”
“Ah bibi bisa saja. Saya rasa saya sudah berusaha memberikan kasih sayang pada Rasya sebagai seorang ibu dan ayah.”
“Tapi itu berbeda pak.”
“Sudah sudah bi. Lama-lama bibi ngelantur kemana-mana ngomongnya. Bibi pasti capek kan memangku Rasya? Sini biar saya gendong. Kita pindah ke ruangan saya saja.”
Bibi Surti hanya bisa menghela nafas panjang. Meskipun Rayyan sangat bersikap baik padanya, dan sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri, namun tetap saja, ia adalah seorang pembantu. Dia tidak berhak mencampuri urusan majikannya.
Rayyan membawa Rasya ke ruangannya, dan meletakkannya di sofa panjang yang berada di ruangannya.
“Bibi Surti jika mau pulang dulu tidak apa-apa. Rasya biar sama saya.”
“Tapi apa tidak mengganggu bapak?”
“Tidak apa-apa. Hari ini saya sudah tidak mempunyai jadwal operasi. Paling cuma memeriksa beberapa pasien saja. Nanti saya bisa minta tolong salah satu suster buat jagain Rasya.”
“Oh ya sudah kalau begitu pak. Saya permisi dulu. Nanti kalau bapak butuh apa-apa, tinggal hubungi saya saja. Saya akan segera datang.”
“Iya bi. Terima kasih. Hati-hati di jalan bi.”
Setelah bibi Surti pergi, Rayyan duduk di sofa dekat Rasya. Ia menyandarkan punggungnya ke Sofa sambil memejamkan mata. Karena hari ini benar-benar merasa sangat lelah. Semalaman ia tak bisa tidur dengan nyenyak dan tenang. Ejak semalam Rasya memang rewel karena sedang tidak enak badan. Rayyan pun juga harus berangkat kerja pagi-pagi buta, karena harus melakukan operasi.
Tok… Tok… Tok…
Seseorang membuka pintu ruangan Rayyan.
“Ada apa bi? Apa ada yang ketinggalan?” tanya Rayyan tanpa membuka kedua matanya.
“Dokter Rayyan?”
Mendengar dan mengetahui suara yang memanggilnya itu bukan bibi Surti, Rayyan egera membuka matanya dan duduk menegakkan badannya.
“Dokter Maya! Maaf aku kira bibi Surti.”
“Kalau lelah pulanglah? Tadi ada suster yang bilang padaku kalau Rasya datang. Jadi aku kesini.”
“Ah tidak, masih ada beberapa pasien yang harus aku periksa.”
“Aku bisa membantumu. Kasihan juga Rasya. Katanya dia sakit?”
“Iya. Dia sedikit demam. Tidak perlu. Aku tidak ingin merepotkanmu.”
“Ya sudah kalau begitu cepat selesaikan saja pekerjaanmu, biar bisa segera pulang. Aku akan menemani Rasya disini. Kebetulan aku lagi free sekarang.”
“Baiklah. Terima kasih banyak.”
Rayyan pun beranjak dari duduknya, lalu menuju ke kamar mandi untuk membasuh mukanya, agar merasa segar kembali dan tidak mengantuk.
“Aku titip Rasya dulu ya? Kalau dia bangun dan mencariku, kamu bisa telpon aku.”
“Iya. Tenanglah.”
Rayyan pun keluar dari ruangannya. Dia berjalan dari satu ruangan ke ruangan lainnya untuk memeriksa pasien-pasiennya dengan ditemani seorang perawat.
Maya Ratnasari, ia adalah seorang dokter yang bekerja di tempat yang sama dengan Rayyan, yaitu Rumah Sakit Surya Medika. Tak hanya itu, Maya adalah anak dari direktur rumah sakit tersebut. Kedekatan Rayyan dan Maya memang sudah menjadi rahasia umum semua karyawan rumah sakit. Namun keduanya belum terikat dalam suatu hubungan apapun, hanya sebatas teman dan partner kerja.
Sebenarnya banyak juga yang menjodoh-jodohkan mereka. Tak sedikit yang menyadari kalau Maya menyukai Rayyan, karena tingkah lakunya dan perhatiannya terhadap Rayyan. Hanya saja Rayyan masih terlihat cuek dan tidak menganggap serius. Karena ia ingin fokus memberikan yang waktu dan kasih sayang yangterbaik pada anaknya dan juga ingin fokus pada pekerjaanya.
Setelah selesai melakukan pekerjaannya, Rayyan kembali ke ruangannya. Ia melihat Raysa yang sudah terbangun, dan sedang bermain dengan Maya.
“Rasya, kamu sudah bangun sayang?”
“Iya. Ayah darimana? Kok lama sekali?”
“Ayah habis memeriksa pasien sayang. Maafkan ayah.”
“Iya ayah.”
“Apa dia rewel tadi?”
“Tentu saja tidak. Rasya kan anak yang pintar. Iya kan Rasya?”
“Iya dong, tante dokter.”
“Apa sudah selesai?” tanya Maya.
“Sudah.”
“Ow baguslah. Kamu dan Rasya bisa segera pulang dan beristirahat. Kasihan Rasya.”
“Iya. Sekali lagi terima kasih banyak.”
“Ya sudah kalau begitu, aku balik ke ruanganku dulu ya? Bye bye Rasya. Cepat sembuh ya sayang.”
“Makasih tante dokter. Kapan-kapan kita main lagi ya?”
“Iya sayang pasti. Tante pergi dulu ya.”
Maya pergi dan keluar dari ruangan Rayyan. Sedangkan Rayyan bersiap-siap untuk pulang ke rumah, karena tugasnya hari ini sudah selesai.
Rayyan menggendong Rasya menuju ke parkiran mobil, sehingga tatapan dari berpasang-pasang mata tertuju padanya.
“Benar-benar suami idaman.”
“Sugar daddy aku.”
“Astaga anaknya imut banget. Jadi gemes pengen cubit pipi papanya.”
“Dokter, aku rela dikawinin.”
“Aku juga rela menjadi ibu dari anak-anak kita.”
“Ganteng sih. Tapi sayang kayak kulkas. Dingin banget.”
Suara gumaman-gumaman orang-orang itulah yang mengiringi sepanjang perjalanan Rayyan menuju ke tempat parkiran. Entah itu gumaman seorang perawatan atau orang-orang yang berkunjung ke rumah sakit. Namun hal itu sudah menjadi hal yang biasa bagi Rayyan. Jadi rayyan tak pernah menganggap serius atau pun memasukkan ke dalam hai ucapan-ucapan mereka.
Selama perjalanan Rasya membicarakan tentang Feby kepada Rayyan. Cerita Rasya pun taak jauh berbeda dengan apa yang telah diceritakan oleh bibi Surti padanya.
“Rasya merasa kalau Rasya sudah jatuh cinta sama tante penyanyi tadi ayah.”
“Hush… anak kecil sudah bicara cinta-cintaan.” Rayyan terkejut dengan ucapan Rasya yang masih berusia 5 tahun itu.
“Ayah tahu nggak, tante penyanyi itu baik, cantik, suaranya bagus banget ayah. Kayak Ariana Granet.”
“Ariana Grande sayang.”
“Ah iya itu maksud Rasya.”
“Sudah ya kita akhiri sampai disini pembicaraan tentang tante penyanyi itu. Sekarang kita sudah sampai. Rasya turun dan masuk dulu ya. Ayah mau memarkinkan mobilnya dulu.”
“Iya ayah.”
TBC
****