Chapter 9 - Leave Me Alone

2157 Words
Chapter 9 - Leave Me Alone Hari ke dua di Bandung. Cuaca pagi ini terlihat sangat cerah. Nadira sengaja lari pagi sekitaran hotel. Rasanya sayang sekali udara sesejuk ini di lewatkan begitu saja. Bandung mempunyai udara yang sangat sejuk. Bahkan kalau pagi-pagi seperti ini terasa sangat dingin. Namun, bagi Nadira udara dingin ini yang justru Nadira ingin nikmati. Kalau sudah di Jakarta. Pasti panas lagi, bisa dingin kalau di kantor, karena ada AC. Nadira istirahat sebentar di bangku taman hotel. Lumayan juga lari pagi mengitari hotel. Membuat Nadira berkeringat. Sudah lama juga ia tidak lari pagi. Biasanya dulu hampir tiap hari, saat Nadira masih menjadi staf administrasi keuangan. Ya, maklum. Sekarang Nadira tambah sibuk. Jadi tidak bisa menyempatkan untuk lari pagi. Nadira senyam senyum sendiri di bangku taman hotel. Nadira mengingat-ingat kejadian kemarin bersama manager Park Wo Bin. Rasanya Nadira ingin hal itu terulang lagi. Siapa yang nolak menjadi kakak-adik zonenya manager Park Wo Bin. Maunya sih jadi pacarnya. Hehe "Kayak orang gila kamu senyam senyum sendiri kayak gitu!" Ejek seorang lelaki. Dari suaranya sudah jelas. Ini pasti CEOnya yang menyebalkan. "Hak-hak orang dong buat senyum. Kan enggak ada larangannya!" Tandas Nadira. Lagian ini belum jam kerja. Tidak ada salahnya Nadira melawan sedikit. "Kamu enggak usah lebay kayak kemarin. Pakai acara meninggalkan klien segala. Kan meetingnya belum selesai. Main ninggalin aja. Enggak sopan tahu! Saya tahu, itu semua kerja keras kamu dan hasil kerja kamu. Jadi enggak usah baper dan pake ngadu segala ke manager Park Wo Bin. Kamu harus profesional dong," tegur Nicho panjang lebar. Ya ampun! Tegurannya itu loh bikin nyelekit. Nicho benar-benar menyebalkan. Bikin mood Nadira berantakan lagi. "Terus kalau anda tahu itu hasil kerja saya. Kenapa anda bilang saya hanya membantu? Saya tahu kok, saya hanya sekretaris anda. Bukan desainer terkenal seperti yang mbak Veronica katakan, tapi setidaknya anda hargai kerja keras saya," tukas Nadira dengan nada marah. Sudah diangkat jadi karyawan tetap ini. Nadira boleh kan kali-kali melawan pada CEOnya. "Mau di hargain berapa? Gitu aja kok baper. Oh jadi kamu maunya saya bilang kamu calon desainer terkenal. Gitu?" Nadira berdecak kesal. Bisa-bisanya ada orang angkuh di hadapannya. Sudah salah, menyebalkan lagi. Buat orang jadi darah tinggi saja. "Cukup! Leave me alone, please," ucap Nadira. Ia tidak mau kalau sampai emosinya meledak dan kelepasan. Bisa-bisa bukan hanya kena marah Nicho. Nadira bisa saja di pecat. Dan hal itu, Nadira tidak menginginkannya. Karena ia harus tetap bekerja untuk melunasi hutang ayahnya, pada rentenir. "Ya, saya akan pergi. Ngapain juga saya lama-lama sama karyawan lebay macam kamu," ujar Nicho tanpa rasa bersalah. Nicho pergi dengan wajah sok benarnya. Rasanya ingin sekali meremas-remas wajah Nicho atau dibejek-bejek jadi prekedel. Tidak terasa air mata Nadira kembali terjatuh. Sepertinya ia harus tahan banting menghadapi CEOnya yang menyebalkan. Mungkin setahun atau dua tahun lagi. Hutang ayah Nadira akan lunas. Setelah itu, Nadira akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai sekertaris Nicho. Nadira akan membuka usaha sendiri. Mungkin buka butik sendiri. Nadira mulai percaya diri. Setelah mendapatkan pujian dari manager Park Wo Bin dan Veronica tentang desain busana yang ia buat. Mungkin saja Nadira akan menjadi desainer betulan. "Nicho memang enggak punya hati, tapi tenang aja. Karena kamu sangat berkompeten. Nicho enggak akan bisa memecat kamu begitu saja. Apalagi kontribusi kamu sama kantor sangat baik," ucap seorang lelaki. Suaranya belum pernah Nadira dengar. Nadira menengok ke arah suara. "Maaf anda siapa ya?" Tanya Nadira. Kok dia tahu soal Nadira dan Nico. Lelaki itu mengulurkan tangannya. "Kenalin aku Billy. Sepupunya Nicho. Aku CEO outlet Multi Fashion Grup di Bandung," lelaki itu memperkenalkan diri. Nadira mengangguk. "Oh, aku Nadira sekretaris pak Nicho," balas Nadira sambil menjabat tangan Billy. "Udah lama kerja sama Nicho?" Tanyanya mencoba akrab. Nadira tersenyum samar. "Udah mau empat bulan, pak," jawab Nadira. "Haha, santai saja. Panggil saja saya Billy, kalau di luar kantor. Aku salut sama kamu. Kok bisa tahan sama Nicho. Padahal dia itu kejam. Kamu tahu enggak, pas dia baru menjabat jadi CEO. Dia mecat dua puluh karyawan. Dan aku, di mutasikan ke Bandung. Dia itu memang menyebalkan," cerita Billy. Nampak sekali kekesalan di wajah Billy. Kalau masalah memecat sampai dua puluh orang. Nadira juga tahu, saat itu Nadira masih jadi staf administrasi keuangan. Nadira juga tahu apa alasan Nicho memecat karyawan itu. Namun, memang banyak yang salah paham dengan tindakan yang Nicho lakukan. "Kalau kamu enggak betah sama Nicho. Kamu boleh kok minta mutasi ke Bandung. Biar aku yang jadi CEO kamu. Dari pada kamu harus strees dengan sifat Nicho yang kejam," saran Billy. Entah kenapa Nadira justru sedikit risih dengan saran Billy. Baru saja kenal. Udah sok dekat. Nadira tersenyum samar lagi. "Saya pikir-pikir dulu ya, pak. Ya udah saya pamit dulu. Soalnya nanti jam sembilan saya ada meeting." Nadira harus segera pergi. Sebelum pembicaraan dengan Billy ngalor ngidul lagi. "Sebentar lah, Nadira. Jam sembilan kan masih lama. Ini masih jam tujuh pagi," pinta Billy sedikit merengek. Nadira auto ingin muntah dengan sikap Billy yang sok kenal. "Maaf ya, pak. Saya buru-buru. Sebelum meeting saya harus siapkan berkas dulu." Nadira langsung lari masuk ke dalam hotel. Sebelum Billy mengejarnya ke kamar hotel. Billy tersenyum sinis. "Lihat nanti Nicho, apa yang elo miliki. Akan gue miliki. Termasuk perusahaan dan Nadira," ucapnya dengan nada sinis. Billy nampaknya sangat dendam pada Nicho. Mungkin karena dia di mutasikan ke Bandung. Hal itu membuat Billy murka dan semakin dendam pada Nicho. ******** "Jadi konsep yang kedua seperti ini. Saya akan adukan bahan brokat dan kain Velvet. Gaun pernikahannya akan terlihat seperti bangsawan. Kita akan buat customer kita puas dengan desian buatan dari Multi Fashion Grup. Dengan membuat mereka puas. Otomatis akan banyak Wedding Organizer dan artis lainnya yang akan memakain gaun yang sudah di desain oleh perusahaan kita," jelas Nadira di meeting keduanya. Meski mood sedang berantakan, tapi Nadira harus tetap profesional. Kalau kata Nicho enggak usah baper. Nadira akan lebih menunjukan prestasinya di depan Nichom. Agar tidak di rendahkan lagi oleh Nicho. Selama empat bulan ini, Nadira selalu nurut apa kata Nicho. Namun, kedepannya. Nadira tidak mau Nicho bertindak seenaknya lagi seperti kemarin dan tadi pagi. Perlawanan perlu, jika Nadira di posisi benar. "Selain gaun untuk pengantin wanita. Saya juga mendesain pakaian untuk pengantin prianya dan juga seragam untuk keluarga kedua mempelai," terus Nadira. "Wah! Kamu memang luar biasa. Ini semua kamu yang mendesain?" Tanya Veronica kagum. "Ya, semua saya yang desain!" serobot Nadira sebelum Nicho membuka mulut. Nadira tidak mau di remehkan lagi oleh Nicho. "Kenapa kamu enggak jadi desainer aja. Karya kamu keren-keren loh! Pak Nicho, sekretaris berbakat juga jadi desainer," puji Veronica. Nicho melirik sinis Nadira. Karena Nadira tadi mendahului dirinya untuk berbicara. Nicho tersenyum samar ada Veronica. Pasalnya, dia sedikit sebal dengan tindakan Nadira tadi. "Untuk acara fashion shownya. Saya akan atur sesuai konsep saya kemarin. Saya juga akan menggundang artis dan beberapa desainer. Tidak semuanya desainer terkenal. Namun, mereka juga cukup berkompeten di bidang fashion," tambah manager Park Wo Bin. Sejak kemarin Nadira memang belum sempat melihat manager Park Wo Bin berbicara di meetingnya. Mungkin keburu Nadira tersinggung dan meninggalkan meeting. Jadi Nadira tidak sempat melihat manager Park Wo Bin berbicara. Beberapa jam kemudian meeting selesai. Tinggallah mereka bertiga. Nicho, Nadira dan manager Park Wo Bin. "Enggak usah sok pintar deh! Enggak usah sok tahu juga, kamu itu sekretaris saya. Bukan desainer. Bikin konsep segitu saja sudah sombong. Konsep dan desain kamu masih biasa saja. Kamu masih perlu banyak belajar," tegur Nicho dengan ucapannya yang kejam seperti biasa. "Mohon maaf, bapak Nicho yang terhormat. Saya berbicara sesuai fakta kok. Saya tidak mengada-ada," sahut Nadira ketus. "Oh jadi kamu perlu pujian? Ternyata kamu seperti itu!" Terbuat dari apa hati Nicho ini. Kok begitu kejam pada Nadira? "Seperti itu apa maksud anda?" Tanya Nadira tidak terima dengan ucapan Nicho. "Cukup! Cukup! Malu dilihat orang. Nad, sudah yah tidak perlu di teruskan. Elo lagi Nico, ini kan tempat umum. Kalau elo mau marah-marah nanti aja di kantor," lerai manager Park Wo Bin. Karena sudah menggundang banyak mata melihat pertengkaran mereka. "Dia yang tidak pernah nurut sama saya! Kamu itu bawahan saya!" Seperti Nicho belum puas meremehkan Nadira. Nadira menarik napasnya. Ia harus tenang menghadapi CEOnya yang menyebalkan. "Saya selalu menuruti apa yang anda mau kok." "Ngelawan terus kamu! Mau saya pecat kamu?" Tegas Nicho. Deg! Hal yang Nadira takutkan mungkin sebentar lagi akan terjadi. Sepertinya Nadira terlalu frontal. Matanya mulai berkaca-kaca. "Maaf, saya tidak akan mengulanginya lagi. Saya pamit dulu. Maaf sekali lagi pak," setelah pamit Nadira langsung berlari ke kamar hotelnya. Nadira sudah tidak tahan menahan air matanya. Sepanjang perjalanannya menuju kamar hotel. Air matanya terus berderai tanpa henti. Kok ada CEO kejam macam Nicho? "Elo itu udah keterlaluan, Nic. Hargain dikit kek kerja keras dia. Kan udah gue bilangin, elo enggak boleh terlalu keras sama cewek. Mana ada yang mau sama cowok galak macam elo. Lagian elo serius mau mecat Nadira?" Omel manager Park Wo Bin. "Enggak lah, gue cuma ngancem dia aja," ucap Nicho. "Elo enggak lihat dia ampir nangis. Punya hati dikit, kek. Nic, bukan gitu cara memperhatikan cewek. Elo harus memperhatikan cewek, kayak Lo perhatiin nyokap elo. Bukan cara kasar kayak gini," nasihat manager Park Wo Bin. Nicho tampak berpikir. Kalau di pikir benar juga semua perkataan manager Park Wo Bin. Nicho sudah keterlaluan pada Nadira. Padahal selama empat bulan ini. Nadira udah bekerja dengan baik. Bahkan sangat baik. Tidak seharusnya Nicho bertindak seperti itu. "Kayak yang elo bisa dapetin cewek aja. Sampe sekarang elo jomblo kan?" Sindir Nicho tidak mau kalah. "Elo enggak tahu sih. Sekarang gue kan udah jadian sama Kim Yoona," ceplos manager Park Wo Bin. "Serius Lo?" Tanya Nicho tidak percaya. Ternyata cintanya manager Park Wo Bin pada Kim Yoona kakak seniornya terbalaskan. Pantas saja tadi manager Park Wo Bin membicarakan tentang memperlakukan cewek. Ternyata dia sudah berhasil menaklukkan hati cewek pujaan hatinya. "Iya dong!" Ucapnya bangga. "Sialan lo! Kenapa enggak bilang-bilang sama gue, kalau elo sama Kim Yoona udah jadian!" Tukas Nicho. Nicho dan manager Park Wo Bin memang tidak pernah marah terlalu lama. Manager Park Wo Bin memang selalu menegur dan memarahi Nicho. Begitupun sebaliknya, tapi setelahnya mereka akur kembali. Bahkan saling curhat dan ngobrol ngalor ngidul lagi. Tidak heran banyak yang salah sangka dengan hubungan Nicho dan manager Park Wo Bin. Terlihat seperti orang yang sedang pacaran. Karena Nicho dan manager Park Wo Bin tidak pernah terlihat berduaan dengan seorang perempuan. Itulah yang membuat salah paham bagi yang melihat hubungan mereka. Di kira mereka jeruk makan jeruk. "Hahaa, elo bakalan iri sama gue. Kalau gue kasih tahu elo. Makanya jangan kasar-kasar sama cewek! Lembut dikit kek! Mau sampai kapan elo jomblo? Sampai tante Hana bikin sayembara kedua, nyari jodoh buat elo? Kelihatan banget elo enggak laku," sindir manager Park Wo Bin tanpa ampun. "Rese lo! Lihat aja ya, gue bakalan secepetnya nyusul elo. Gue yang bakalan nikah duluan dari pada elo," tantang Nicho tidak mau kalah. "Mau nikah? Nikah gimana? Pasangan aja belum ada. Mending elo sama Mevita aja, yang udah jelas-jelas ngejar elo," ceplos manager Park Wo Bin. Raut wajah Nicho langsung berubah. Sepertinya ia tidak suka membahas soal Mevita. "Enggak usah bahas itu, gue enggak suka." "Ups! Mianhe, gue penasaran aja. Kenapa elo terus nolak dia. Padahal dia udah mati-matian ngejar elo," selidik manager Park Wo Bin. "Males ah gue. Gue mau ke kamar dulu buat siap-siap. Nanti sore kita pulang kan, bye!" Nicho langsung pergi menuju kamarnya. Sebelum manager Park Wo Bin membahas soal Mevita lagi. Manager Park Wo Bin malah terkekeh melihat Nicho kabur. Ternyata Nicho bisa mati kutu juga. Manager Park Wo Bin jadi semakin penasaran dengan hubungan Nicho dan Mevita. Sebetulnya ada hubungan apa antara Nicho dan Mevita? Itu masih dalam misteri. Bahkan manager Park Wo Bin sebagai sepupu sekaligus sahabatnya tidak tahu soal itu. Biasanya Nicho selalu cerita pada manager Park Wo Bin tentang hal apapun, tapi kalau soal Mevita. Nicho sangat tertutup. Seakan ada hal yang sengaja disembunyikan. Yang semua orang tidak boleh tahu. Yang tahu hanya Nicho saja dan Mevita. Sementara disisi lain. Nadira menangis sesegukan. Nadira merasa sangat terhina oleh Nicho. Kalau sudah mengancam di pecat. Nadira tidak bisa berkutik. Nadira harus bilang apa pada Nabila, kalau sampai ia dipecat. Nabila pasti akan kecewa dan marah pada Nadira. Kalau Nadira dipecat. Otomatis mata pencaharian mereka juga akan hilang. Mengingat hutang yang sangat banyak. Nadira jangan sampai kehilangan pekerjaannya. Jadi lebih baik Nadira mengalah lagi demi pekerjaannya. Meski harus membiarkan hatinya terluka. Karena yang terpenting sekarang adalah uang. Bukan hatinya. Nadira akan berusaha sabar dan menganggap ucapan Nicho sebagai angin lalu. Agar hatinya terus terjaga dan tidak terlalu sakit jika dihina lagi oleh Nicho. Nadira berpikir, pantas saja belum dapat pasangan. Orang galaknya minta ampun. Diawal pertemuan memang baik. Sampai-sampai Nadira dibuat baper dengan sikap perdulinya Nicho padanya. Namun, setelah itu, sifat perdulinya hilang bagai ditelan bumi. Untung saja, Nadira belum menanyakan pada manager Park Wo Bin soal sifat perdulinya Nicho. Ternyata hanya kamuflase.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD