MALAM PERTAMA DENGAN MAKHLUK LAIN
Selama seminggu ini Tara Koswara pergi ke luar kota untuk mencari barang dagangan. Esih Sukaesih—istrinya—menjaga toko dibantu seorang karyawan.
“Hendra, nanti setelah toko tutup, tolong gantiin jaga. Kang Engkus sedang sakit,” ucap Esih sembari merapikan nota tagihan toko.
“Baik, Teh. Emang Kang Engkus belum sembuh?” Hendra bertanya sambil menghitung stok semen yang ada di dekat pintu masuk.
“Belum. Padahal sudah ke dokter segala.”
“Kemarin urang papanggih di jalan. Gak sempat ngobrol, keburu dia belok,” jelas Hendra sambil menutup buku catatan.
“Bisa jadi dia dari dokter. Tadi pagi Kang Engkus telepon ke Teteh, udah berobat kemarin sore. Hendra, nanti gudang bekas sembako tolong dibersihkan. Aa Tara bilang mau dipake buat simpan alat-alat batako,” ungkap Esih sembari menyimpan alat-alat tulis di laci.
“Wah, ada dagangan baru lagi, Teh? Yang genteng saja masih jalan 3 hari. Gak ribet?”
“Gak apa. Aa Tara bilang dua-duanya bisa lancar dan pasti laku keras. Dia sudah dapat caranya.”
“Syukurlah.”
Sudah ada setahun ini toko milik pasangan Tara dan Esih berganti barang dagangan. Dari awal berjualan sembako berubah jadi toko matrial. Kata Tara kepada istrinya, jualan bahan-bahan bangunan tak perlu khawatir keburu busuk macam sembako.
Hingga keduanya memutuskan menjual mobil pick up satu-satunya untuk menambah modal. Sejak pandemi covid, usaha mereka jadi kembang kempis. Bahkan diperkirakan jika akhir tahun ini, mereka tak bisa melunasi semua tunggakan utang, bisa dipastikan toko akan diambil alih oleh bank.
“Teh Esih, saya boleh ke warung bentar? Mau beli rokok dulu.”
“Boleh. Jangan lama-lama. Sebelum malam, gudang harus bersih. Aa Tara besok pagi sudah datang.”
“Beres, Teh. Hapunten. Hape Teteh Esih. Eta dina rak hareup,” ucap Hendra sambil memberikan ponsel ke Esih.
“Hatur nuhun, Hendra.”
“Sawangsulna, Teh. Abdi ka warung heula,” ucap Hendra yang langsung direspon anggukan kepala oleh Esih.
••••
Jam menunjukkan pukul 12 malam, saat terdengar suara sepeda motor mendekat ke arah teras. Esih segera berjalan mendekat ke arah jendela. Dia pastikan yang datang adalah Tara Koswara, suaminya.
Tadi sore selepas Isya’, suaminya telepon bahwa sudah dalam perjalanan pulang. Namun, meski kedua matanya menatap dari balik jendela, tak tampak wujud kendaraan maupun suaminya.
Betapa bahagianya hati wanita yang sedari dua jam lalu telah berhias secantik mungkin, sesuai permintaan suaminya. Tara tak ingin disiapkan makan malam karena telah mengisi perut di warung.
Dia hanya ingin melepaskan rasa rindu kepada Esih dan meminta istrinya untuk berdandan se-istimewa mungkin. Kedua pipi Esih berasa menghangat mengingat kata-kata Tara tersebut.
Bahkan baju berpotongan seksi telah sampai diantar oleh seorang kurir sebelum Magrib. Tara sengaja membelikan oleh-oleh khusus untuk Esih dengan dikirim lewat jasa ekspedisi.
Meski Esih merasa sedikit aneh dengan perilaku suaminya yang tak biasa, tetapi tetap membuat hati wanita cantik berambut lebat sepinggang tersebut seketika berbunga-bunga.
Aroma melatinya kuat banget. Pasti parfum mahal. Aroma ini sudah langka sekarang , batin Esih sembari mengusap-usap bagian bahu yang terbuka dengan baju mirip kemben.
Kalau bukan suaminya yang menyuruh, Esih tak akan pernah mau memakai baju yang sering dipakai oleh para model majalah dewasa ini. Apalagi disuruh pakai, saat Esih membuka pintu depan untuk Tara.
Permintaan yang aneh, tetapi Esih maklum karena mereka telah seminggu tak bertemu. Udara dingin malam menusuk tulang belulang, hingga membuat tubuh Esih menggigil karenanya.
‘Tok tok tok!’
Terdengar suara daun pintu diketuk dan Esih seketika berjalan menghampiri pintu.
“Siapa?” tanyanya dengan tangan telah siap di handle pintu.
“Aku.” Terdengar suara besar seorang pria. Mirip suara Tara, tetapi getarannya membuat pintu bergerak-gerak. Bulu kuduk dan bulu halus di sekujur badan wanita cantik ini meremang dan segera ditepiskannya. Esih sudah terlalu rindu terhadapa Tara.
“Aa Tara?” tanya Esih dengan hati-hati sambil menempelkan pipi kiri di daun pintu.
“Ya,” jawab Tara dari luar rumah.
Esih tersenyum lebar dengan perlahan menekan handle lalu menariknya. Kini, di hadapannya telah berdiri sosok Tara yang tampak lebih gagah dengan tatapan mata tajam ke arah tubuh Esih. Dari bibir pria tersebut terdengar desis lirih.
Tanpa disangka-sangka oleh Esih, kedua tangan Tara cekatan membopong tubuhnya. Sesaat kemudian, terdengar pintu tertutup dan suara putaran kunci. Esih terbius oleh aroma dari tubuh Tara yang terbuka di bagian kancing atas.
Tumben Aa Tara pakai kemeja tanpa jaket dalam perjalanan jauh, pikir Esih.
Sekali lagi, wanita berkulit kuning langsat ini menepis pikiran barusan. Kini, hanya ada rasa rindu kepada suami tercinta yang segera akan mereka tuntaskan malam ini. Dirasakan Esih langkah kaki Tara bagai terbang karena tiba-tiba mereka telah berada dalam kamar.
Kedua lengan Tara yang lebih kekar dari biasanya menurunkan tubuh Esih. Dengan sekali hentakan tangan kanan, pakaian Esih seketika koyak. Tara telah meminta Esih hanya memakai baju seksi tanpa dalaman. Hingga saat pakaian lepas, tinggal tubuh Esih yang polos tanpa sehelai benang pun.
Tara segera membuka pakaian yang dikenakan. Indra penciuman Esih menghirup ada bau anyir darah dan bangkai yang menguar dari tubuh Tara yang terbuka.
Kedua mata Esih melotot, penampilan suaminya beda jauh dari pergulatan mereka terakhir. Dengan sedikit malu-malu, wanita cantik ini memandangi bagian bawah suaminya. Seketika kedua mata Esih tak berkedip.
“Aa terapi khusus?” tanya Esih dengan memandangi sesuatu milik Tara secara teliti.
Tara tanpa menjawab, tersenyum lebar. Tampak ada dua taring di deretan gigi pria yang berpostur tinggi besar tersebut. Esih terhipnotis hingga tanpa sadar telah berada satu ranjang dengan suaminya.
Malam itu mereka bagaikan pengantin baru yang sedang menjalani masa bulan madu. Esih merasakan sensasi yang berbeda dari awal aktivitas hingga tubuhnya terkapar tak berdaya di ranjang. Rasa perih tak tertahan membuat wanita berkulit mulus tersebut tak sadarkan diri.
••••
“Neng, sudah bangun?” tanya Tara yang menaruh segelas minuman mirip jamu di meja samping ranjang.
“Aa ... badan Neng sakit semua. Lemas sekali,” ucap Esih lirih sembari merintih.
Seluruh energinya terkuras habis dalam semalam bersama suami tercinta. Kini, menyisakan rasa perih di bagian organ intimnya. Tara menatap ke Esih dengan pandangan sedih lalu mengambil gelas dan menyodorkannya ke istrinya.
“Minum ini, Neng. Biar tubuh kamu bugar lagi,” ucap Tara masih dengan tatapan sayu.
Aku harus kuat. Semua akan terbayar dengan kesuksesan. Maafkan Aa, Neng, ucap Tara dalam hati sambil membantu membetulkan letak selimut di tubuh Esih.
“Ada handuk kecil di sini,” ucap Esih seraya mengambil benda tersebut dari balik selimut. “Terasa hangat.”
Tara berusaha tersenyum lalu membalas,”Barusan Aa bersihin. Biar kamu bisa tidur pulas tak merasa lengket.”