SEBUAH HARGA UNTUK KAYA

1039 Words
Aku harus kuat. Semua akan terbayar dengan kesuksesan. Maafkan Aa, Neng, ucap Tara dalam hati sambil membantu membetulkan letak selimut di tubuh Esih. “Ada handuk kecil di sini,” ucap Esih seraya mengambil benda tersebut dari balik selimut. “Terasa hangat.” Tara berusaha tersenyum lalu membalas,”Barusan Aa bersihin. Biar kamu bisa tidur pulas tak merasa lengket.” “Aa bangun jam berapa? Kenapa atuh gak bangunin Esih?” Esih berniat bangkit dari tempat tidur, tetapi tulang belulang seperti hancur remuk. Lemas dan berasa linu-linu. Apalagi di bagian sensitifnya berasa perih, ada luka sobek di sana. Ketika Esih bergerak sedikit, darah segar mengucur dari luka tersebut. “Sa-kiiit!” jerit Esih yang semakin lemah lalu tak sadarkan diri. Tara segera memeluk istrinya dengan perasaan kacau. Namun, tekatnya untuk memperbaiki perekonomian keluarga telah bulat. Dia teringat pesan kuncen Gunung Ceremai. “Rendam tanah punden dengan air sumur di rumahmu. Percikan bagian yang sakit. Suruh istrimu minum jamu racikan sampe habis.” Tara membetulkan posisi tubuh Esih lalu mengecup keningnya lembut. Pria beralis tebal dan berkulit kuning langsat ini adalah pria romantis sepanjang hidup Esih. Tak pernah sekali pun terucap kata-kata kasar dari mulut Tara terhadap Esih, meski dalam keadaan emosi tinggi. Dia lebih rela tak merokok daripada Esih tak bisa makan cilok kesukaan. Dari kang cilok langganan yang merupakan teman Tara sewaktu SD, pria ini mengenal pesugihan nyupang ajag. Sejak Tara tahu bahwa Iwan—Kang Cilok—adalah pelaku ritual pesugihan juga, dirinya akan melarang Esih membeli barang dagangan Iwan. Dia khawatir istrinya kena guna-guna Iwan. Tara memikirkan interaksi antara Esih dengan Iwan yang semakin akrab sambil mengambil handuk di bagian sensitif istrinya lalu mengusap perlahan genangan darah yang keluar. Handuk tersebut diperas di atas baskom kecil. Dia lakukan hingga darah berhenti mengalir. “Darah itu akan berhenti mengalir setelah kebutuhan ritual terpenuhi.” Tara teringat wejangan kuncen punden di Gunung Ceremai. Tara menutupi tubuh polos Esih dengan selimut kembali. Masih teringat jelas ucapan kuncen tentang pantangan berhubungan suami istri dengan Esti selama masa ritual selama 40 hari. Selama masa itu pula, Tara harus menyediakan ayam hitam mulus yang direndam dengan air bunga tujuh rupa dan darah istrinya. Keduanya adalah makanan dan minuman bagi penguasa Gunung Ceremai. Tara membawa baskom berisi darah ke salah satu kamar yang telah dia ubah menjadi ruangan khusus ritual. Tampak di meja telah tersedia sebuah kuali berisi ayam cemani terendam air bunga. Sebuah dupa dan kemenyan dibakar kembali untuk menggantikan yang semalam. Kamar hanya diterangi oleh cahaya lilin tak diperbolehkan orang lain memasukinya. Tara melafalkan sebuah mantra dengan ekspresi sedih. Sejak semalam dia telah patah hati dan sekaligus menguatkan diri bahwa yang dilakukannya adalah demi kesuksesan usaha mereka. Dia telah berjanji kepada Esti untuk membeli sebuah mobil terbaru seperti kepunyaan Iwan. “Aa Tara, terang teu? Kang Iwan baru beli mobil baru. ngajual kitu, bisa beunghar.” [Aa Tara, tahu tidak? Kang Iwan baru beli mobil baru. Jualan gitu, bisa kaya.¹] Ucapan Esih masih terngiang di telinga Tara. Oleh karena hal tersebut pula Tara mencari akal agar Iwan mau memberitahu rahasia untuk bisa sesukses sekarang. Dia tahu betul bahwa Iwan tak punya usaha lain. Jualan cilok itu pun awalnya berutang ke dirinya. Saat Tara belum menikah dengan Esih. Akhir-akhir ini jualan Iwan jadi booming. Laris manis jadi pesanan setiap hajatan warga maupun acara besar instansi pemerintah. Dalam pandangan Tara ada yang ganjil dengan usaha temannya tersebut. Jualan cilok sudah bertahun-tahun dan warga maupun instansi pemerintah sudah biasa menyediakan kue khas hajatan yang biasa dipesan ke sebuah katering ternama di daerah mereka. Namun mengapa, dalam dua tahun belakangan cilok Iwan menjadi sajian primadona penyelenggaraan acara besar. Sejak saat itu pula katering ternama tersebut menjadi surut usahanya. Bahkan sudah setahun ini, si pemilik yang merupakan seorang janda tanpa anak menjadi sakit-sakitan. Aneh! Pasti ada sesuatu dengan Iwan, pikir Tara. Akhirnya, dia memberanikan diri bertanya kepada Iwan tentang kunci kesuksesannya. Awal-awalnya, si teman masa kecil keberatan mengungkap hal tersebut. Namun, setelah Tara bercerita tentang utang yang hampir jatuh tempo di bank dan beberapa pinjaman lain, hati Iwan luluh juga. Penjual cilok tersebut juga merasa punya utang budi terhadap Tara. Iwan pun mau memberitahu kunci sukses, setelah sebelumnya mewanti-wanti Tara agar mau menjaga rahasia. “Kamu berani melanggar, nyawamu melayang,” ancam Iwan sebulan yang lalu. “Kumaha anjeun weh. Ari penting utang kuring semua lunas,” jawab Tara bersemangat. [Terserah kamu saja. Yang penting utang saya semua lunas.²] Akhirnya, berceritalah Iwan asal mula dirinya bisa kaya raya dalam waktu sekejap. Meski Tara merasa ngeri sekaligus jijik dengan ritual yang harus dilakukan demi mendapat kekayaan secara instan. Toh, Tara tak punya pilihan lain. Pria tersebut telah gelap mata dan putus asa selalu dikejar-kejar penagih utang. Hingga dirinya harus merelakan mobil satu-satunya dijual untuk menyicil utang. Keduanya pun sepakat untuk pergi ke Gunung Ceremai seminggu yang lalu. Tara yang ingin jadi pengikut baru dan juga Iwan yang sudah waktunya memberi sesajen khusus yang harus dilakukan setahun sekali. Sampai tadi malam, Tara masih berat hati menyerahkan istrinya untuk dinikmati penguasa Gunung Ceremai. Dia perlu mendamaikan hati beberapa saat dengan ditemani oleh Iwan di teras rumah sahabatnya. Baru sekitar jam setengah dua, dirinya pulang untuk mempersiapkan pelengkap ritual. Saat melewati kamar yang biasa dipakai tidur berdua dengan Esih, hati Tara sempat goyah dan nyeri. Dalam kamar, si istri sedang bergulat dengan makhluk gaib yang menyerupai dirinya. Tara sempat meneteskan air mata. Kini, langkah kaki Tara lebih ringan beranjak ke arah dapur. Sesajen ayam cemani hitam mulus telah memudar warnanya, itu berarti ritual telah berhasil. Dia tinggal tunggu hasil dari baskom berisi darah. Jika baskom kering tak tersisa, bisa dipastikan dalam waktu hitungan jam, usahanya akan tampak kemajuan. Tara menghampiri meja dapur. Di meja berbentuk persegi berbahan kayu mahoni tersebut terdapat kendi berisi tanah yang telah direndam air sumur. Tara menuangkan ke dalam baskom lalu membawanya menuju kamar. Tanpa disangka-sangka pintu kamar terkunci rapat, padahal dirinya tak merasa mengunci. “Aa, tong kitu. Neng masih sakit,” ucap Esih terdengar dari lubang kunci. [Aa, jangan gitu.³] Tara berusaha mendobrak, tetapi tak berhasil. Perasaannya jadi tak enak. Dia segera menuju ruang tamu lalu menelepon Iwan. “Aya naon?” tanya Iwan dari seberang telepon. [Ada apa?⁴] “Lieur ah,” jawab Tara. [Pusing/bingung ah.⁵] “Emang kunaon?” [Emang kenapa?⁶]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD