RINTIHAN DI DALAM KAMAR

1066 Words
Tara berusaha mendobrak, tetapi tak berhasil. Perasaannya jadi tak enak. Dia segera menuju ruang tamu lalu menelepon Iwan. “Aya naon?” tanya Iwan dari seberang telepon. [Ada apa?⁴] “Lieur ah,” jawab Tara. [Pusing/bingung ah.⁵] “Emang kunaon?” [Emang kenapa?⁶] “Si raja datang lagi. Eneng kesakitan. Kuring jadi gak tega,” balas Tara dengan raut muka sedih sekaligus khawatir. “Gampang itu. Nanti kasih air rendaman, bisa langsung sembuh. Kata kamu pengen kaya. Harus kuatkan hati,”saran Iwan memberi semangat. “Jadi emosi sendiri. Hampir saja kuring dobrak pintunya.” “Sok atuh kadieu. Kuring tunggu,” balas Iwan berusaha memberi ketenangan ke Tara. “Muhun.” Tara cekatan mengakhiri hubungan telepon. Pria bersarung ini, memasukkan ponsel ke saku celana pendek. Dia biasa memakai celana pendek sebelum bersarung. Sudah jadi kebiasaan sedari bujang. Tara keluar rumah lalu mengunci pintu dari dalam. Hatinya yang memanas harus segera dinetralkan. Tara menuntun sepeda motor sampai ke jalan depan rumah. Kemudian dia menghidupkan mesin sambil menoleh ke arah rumah. Neng, semoga kamu baik-baik saja, batin Tara lalu mengendarai kendaraan roda duanya ke arah rumah Iwan. Jarak antara rumah Tara dengan Iwan sekitar dua kilometer. Tara biasa menempuh jarak tersebut dalam waktu lima menit, saat ini hingga butuh waktu sepuluh menit. Sesampai rumah Iwan, tuan rumah sudah menyambut di teras. “Kenapa lagi?” tanya Iwan sembari mendekati Tara yang sedang meluruskan standar motor. Tara hanya tersenyum tipis sambil menaikkan sarung hingga ke pundak. Badannya tampak menggigil. Iwan meraba kening si teman. “Kamu meriang?” tanya Iwan yang langsung direspon anggukan kepala oleh Tara. Keduanya pun berjalan beriringan menuju teras. Ada satu set kursi dari bambu di sebelah kanan teras. Iwan telah menyediakan seteko kopi dan sepiring pisang goreng di atas meja. “Aku numpang tidur bentar,” ucap Tara yang segera membujurkan kaki di salah satu kursi panjang. Dia merapatkan sarung, tetap saja badannya menggigil. “Antosan sakedap, kuring ambil obat,” ujar Iwan sambil memandang Tara yang berubah posisi menjadi meringkuk. “Gak usah repot-repot.” Percuma omongan Tara tak didengar oleh Iwan karena telah berlalu masuk rumah. Sementara itu Esih yang berada dalam kamar merasa kelelahan melayani suaminya yang berubah menjadi super. Wanita muda ini melihat sekeliling mencari keberadaan Tara. “Aa, kamana?” tanyanya lirih sambil menahan perih di bagian bawah. Dia merasakan ada yang bergerak dari balik selimut. Tepat di atas perutnya lalu menjalar keluar selimut. Esih sempat memegangnya. “Aa, ada ulaaaar!” teriak histeris Esih lalu pingsan. •••• Pukul 03.00 WIB Tara telah bangun setelah meminum obat dan tertidur sebentar. Iwan duduk di sampingnya dengan menatap iba. Dia tahu betul, temannya ini sakit karena tekanan batin. Tara adalah pria lugu yang sangat mencintai istrinya. Tentu saja pergumulan Esih dengan penguasa Gunung Ceremai membuatnya syok. Meski sudah diniatkan dari awal, tetap saja hati tak bisa ditipu. Iwan menepuk bahu Tara pelan. “Kumaha? Sudah sehat?” tanya Iwan sambil tersenyum tipis. “Harus sehat. Siap jadi orang kaya. Kira-kira berapa lama bisa terwujud?” Tara balik bertanya dengan bibir bergetar. “Memang berat tapi harus bertahan. Dalam waktu seminggu juga sudah ada hasil. Tapi ingat sajian khusus dan pantangannya.” “Iya, kuring paham.” Tara berucap sambil membayangkan pantangan yang harus dilalui selama 40 hari ke depan. “Mau minum teh lagi?” tanya Iwan sambil mengangkat gelas kopi untuk kedua kalinya. “Maaf. Jadi merepotkan. Gak ikutan minum kopi.” “Gak apa. Mau teh?” “Kuring mau pulang. Kasian si Neng sendirian. Suka mikir. Kuring jahat sama istri,” keluh Tara, lebih tepatnya ada rasa sesal di dalam ucapannya. “Ilangin perasaan itu. Masa depan sukses tinggal selangkah lagi,” sahut Iwan seraya mengiringi langkah Tara ke arah motor. Pria dengan sarung yang basah oleh keringat tersebut lalu tersenyum tipis ke arah temannya dan berpamitan. Tara merasakan ada beban berat di jok belakang sepanjang perjalanan pulang. Hal itu tak dihiraukannya. Tara hanya fokus pada keinginannya untuk segera bertemu istri tercinta. Dia harus merawat luka Esih. Dalam d**a berkecamuk berbagai rasa dan juga apa yang terjadi dengan Esih. Akhirnya, Tara sampai juga ke rumah dengan waktu tempuh lebih lama. Beban di jok belakang sangat memberatkan perjalanannya. Dia pun tahu pasti dari penjelasan Iwan sepulang dari Gunung Ceremai. Ini adalah tanda si raja telah jadi bagian hidupnya serta segala kewajiban harus segera ditunaikan. Kalau tak ingin .... Tara memarkir motor asal-asalan lalu dengan berlari menuju arah pintu dan membukanya. Langkah kakinya terhenti di depan kamar. Pada saat tangan Tara memutar handle pintu, benda terbuat dari stainless tersebut tak bergerak sama sekali. Dia pun seketika teringat ritual yang belum diselesaikannya. Kini kedua kaki Tara beranjak ke arah kamar khusus. Dia cekatan membuka dengan kunci lalu menutup rapat kembali setelah berada di dalam. Pria beralis tebal tersebut bergegas menuju meja persembahan. Dia terkejut melihat air bercampur darah yang masih utuh di dalam baskom. “Apa yang salah?” tanyanya lirih sambil mengingat-ingat pesan dari kuncen. Semua sudah dipersiapkan. Air darah, ayam cemani, air bunga tujuh rupa, lilin, dupa dan kemenyan. Tara panik karena belum juga tahu apa yang dia lupakan. Sementara itu, Esih harus segera disembuhkannya. Tara keluar kamar lalu menelepon Iwan. Hingga beberapa kali panggilan, temannya tersebut tak mengangkat panggilan telepon. Tara mengirim pesan instan ke Iwan sambil mengingat kembali sesaji yang terlupa. Secara mengagetkan, ponsel di genggamannya berbunyi. Tertera dalam layar nama Iwan. “Akhirnya bisa terhubung,” jawab Tara dengan wajah semringah. “Aya naon?” Terdengar Iwan dengan nada masih mengantuk. Tara segera menceritakan segala sajian yang telah dipersiapkan. “Cepat cari barang tetangga kamu!” seru Iwan dari ujung telepon. “Oh, iya. Hatur nuhun,” sahut Tara dengan kedua mata berbinar-binar. “Sami-sami,” balas Iwan. Tara segera mengakhiri hubungan telepon lalu memasukkan ponsel ke saku celana. Sarung pun dinaikkan sampai ke kepala lalu mengikat ujung-ujungnya sedemikian rupa, hingga kini hanya kedua mata yang tampak. Penampilan Tara sudah tertutup rapat bagai ninja. Dengan langkah kaki hati-hati, dia menuju pintu belakang yang menghubungkan halaman belakang dengan pintu dapur tetangganya. Dia telah mengamati beberapa hari sebelum berangkat mencari pesugihan. Tetangga yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya ini, sering menjemur pakaian dalam di samping rumah. Perkiraannya tepat sekali. Di hadapan Tara kini tampak jemuran kecil dari stainless. Tangannya buru-buru mengambil satu set pakaian dalam si tetangga. Setelahnya, Tara setengah berlari menuju pintu belakang rumah. Setelah sampai di dalam, dia segera mengunci pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD