“Tanda? Dari siapa? Ada orang lain di sini?” tanya Esih sembari mengedarkan pandangan mata ke sekeliling. Sunyi senyap.
“Hanya ada kita. Nanti kamu yang merasakan tanda itu. Ini salah satu syarat agar kita cepat kaya,” jelas Tara yang tentu saja semakin membuat Esih kebingungan.
Wanita ini mendengarkan ucapan suaminya dengan saksama, meski ada yang mengganjal dalam hati. Namun, dirinya memutuskan menunda pertanyaan kepada Tara.
Ia percaya bahwa yang direncanakan oleh si suami adalah sebuah bentuk usaha untuk mengentaskan keadaan ekonomi keluarga yang sedang terpuruk. Esih telah melihat perkembangan dari toko yang mereka kelola.
Sementara dalam otak Tara hanya tersimpan harta tanpa peduli apa pun syarat ritualnya. Seperti rencana awal dirinya, mencari pesugihan di Gunung Ceremay untuk mendapatkan kekayaan dengan cara cepat.
“Ritual terakhir seperti ini akan kita lakukan seminggu sekali. Waktu lain bisa kita lakukan di rumah sampe lengkap 40 hari. Habis itu kita tinggal memetik hasilnya. Kamu bisa lihat sendiri, masih beberapa hari sudah tampak hasilnya di toko,” ucap Tara berusaha meyakinkan istrinya.
“Sumuhun mangga, atuh, Aa’. Esih, teh, tuturkeun waé,” ucap Esih lalu menganggukkan kepala.
[Silakan saja, Aa’. Esih ikut saja,”ucap Esih ....]
“Setelah 40 hari, kita pasang sesajen di Gunung Ceremay. Aa’ mau belikan ruko buat kamu. Katanya mau punya distro,” balas Tara semakin bersemangat.
“Aa’ dari Gunung Ceremai? Ngapain?” tanya Esih yang polos. Wanita ini tidak pernah menaruh rasa curiga kepada suaminya.
“Ada gurunya Iwan di sama. Aa’ minta diajari cara usaha biar cepat kaya.”
“Jauh sekali Aa’ Iwan berguru,” ujar Esih dengan perasaan takjub.
“Jauh enggak apa, yang penting bisa sukses. Iwan sudah kaya. Tinggal kita habis ini.”
Aa’ Tara seperti orang lain bagi Esih. Sejak pulang dari Gunung Ceremai, Aa’ semakin beringas di ranjang. Tapi, yang Esih rasakan bukan punya dia. Moga saja, hanya perasaan Esih, batin wanita cantik ini sambil mengamati wajah suaminya yang berkilau tertimpa cahaya bulan purnama.
Meski, wajah dan tubuh setengah telanjang Tara ada di hadapan Esih, akan tetapi tidak ada getaran khusus pada suaminya sama sekali.
“Aa’! Apa ini? Ularkah?” Esih langsung mendekap tubuh suaminya.
Tara bukannya panik melihat istrinya yang ketakutan. Bahkan pria ini tersenyum lebar memandang Esih.
“Kita harus segera mencari tempat,” ucap Tara langsung menggandeng tangan Esih menuju tengah sungai.
Tara melepaskan kain di tubuh Esih lalu berbisik ke telinganya,”Pejamkan mata sampe kita selesai berhubungan. Jangan sesekali membuka mata agar tak gagal.”
“Baik, Aa’,” ucap Esih.
Tara mulai mencumbu istrinya. Esih tidak merasakan rasa nafsu yang bergejolak, meski bagian sensitifnya diraba dan diciumi oleh Tara. Beberapa saat kemudian, Tara melihat bayangan tinggi besar muncul di antara semak-semak lalu berjalan ke arah mereka.
Pria ini beranjak pelan menuju pinggir sungai. Esih merasakan ada dua tangan besar memeluk tubuhnya. Wanita ini baru merasakan nafsu mulai terpatik. Ia mendesah merasakan kenikmatan dari dua tangan besar yang menggerayangi tubuh.
Wanita ini menganggap itu adalah suaminya yang telah berubah beringas saat berhubungan intim. Sejak pulang dari Gunung Ceremai permainan ranjang serta alat tempur si suami berubah drastis. Sementara itu, Tara yang melihat istrinya sedang dicumbu oleh sosok serigala raksasa hanya bisa pasrah. Ada rasa nyeri dalam d**a.
“Aach ... Auch ... sakiiiittt!”jerit Esih setelah sosok serigala berhasil memasuki bagian intim tubuhnya.
Terdengar embusan napas kasar dan berbau bangkai. Esih menahannya untuk tidak membuka mata. Tara melihat dengan mata berkaca-kaca, bagaimana sosok mengerikan itu menggeluti tubuh Esih dengan beringas.
Sesaat kemudian, sosok tersebut mendengus kencang lalu menghilang. Tara buru-buru melepaskan kain penutup badan lalu gegas menghampiri Esih. Ia memeluk si istri dengan menahan mual. Aroma busuk bangkai bercampur anyir darah melekat di sekujur badan Esih. Tara harus pandai berakting biar Esih tidak curiga.
“Aa’ sudah, Neng,” bisiknya dengan napas tersengal-sengal.
“Esih sudah juga. Aa’ semakin brutal. Meski Esih selalu kesakitan, tapi nikmat banget,” balas Esih sambil membuka mata.
Wanita cantik ini tersenyum lebar lalu mengecup bibir Tara. Pria ini seketika muntah-muntah. Aroma busuk yang menempel di bibir Esih membuatnya tak bisa menahan diri lagi.
“Aa’ sakit?”
“Mungkin masuk angin, Neng. Yuk, buruan ke pinggir,” ucap Tara sambil menggandeng tangan Esih.
“Kain Esih hanyut, Aa’.”
“Pake punya Aa’. Ada di pinggir sungai,” ucap Tara yang segera berjalan diikuti istrinya.
Sesampai di pinggir sungai, Tara melilitkan kain ke tubuh Esih.
“Aa’ katanya masuk angin,” ucap Esih sembari memandangi tubuh Tara yang polos.
“Gak apa. Bentar lagi juga pake baju. Buruan. Sebelum tengah malam, kita harus sampe Gunung Ceremai.”
“Ngapain, Aa’?”
“Kita pasang pertanda ritual sungai pertama di punden,” ujar Tara sambil memeluk Esih.
Saat mereka mulai berjalan, Esih merasakan bagian alat vitalnya perih teramat sangat. Seperti ada luka sobek cukup lebar di bagian tersebut.
“Auch! Aah! Sakiiit!” jerit Esih sambil meringis kesakitan.
Tara cekatan membopong tubuh istrinya lalu buru-buru menuju motor. Setelah sampai kendaraan roda dua, mereka lekas memakai baju.
“Masih bisa duduk, kan, Neng?”
Esih hanya mengangguk dan sesekali dari bibirnya terdengar bunyi mendesis. Tara tersenyum lalu mengecup bibir istrinya.
Aromanya sudah kembali seperti semula, batin Tara mulai menghidupkan mesin motor.
“Kita sudah dapat restu, Neng. Dia telah menyatu ke jiwamu,” ucap lirih Tara sambil mulai menarik gas motor.
“Maksudnya Aa’?”
“Kamu kesakitan itu tanda dapat restu, Neng.”
Esih mengangguk masih dengan ekspresi kesakitan.
Tepat pukul 11 malam kendaraan roda dua tersebut telah meninggalkan kebun. Mereka harus segera menuju tempat pepunden (*makam keramat) di Gunung Ceremai. Beberapa kali Tara menoleh ke arah spion dan direspons Esih dengan sebuah senyum yang tertahan rasa sakit.
“Sejam lagi sampe, Neng.”
“Bi-bisa utuh lagi, enggak? Kayaknya robek lebar, Aa’. Aauch... hati-hati.” Esih kesakitan saat motor melewati jalan berlubang.
“Maaf, Neng. Jalannya pada rusak. Tenang! Begitu sampe punden, pasti sembuh. Itu kata juri kunci kemarin.”
Motor menembus gelap malam di jalan yang semakin sunyi menuju Gunung Ceremai. Kini, mereka telah sampai di jalan utama menuju tempat pesugihan.
Kabut hitam menyelimuti langit di sepanjang perjalanan. Akhirnya kendaraan yang mereka tumpangi telah sampai di tempat parkir Gunung Ceremai. Tara meluruskan standar dan Esih pelan-pelan turun dari jok.
Tara cekatan membopong tubuh istrinya. Pria ini berjalan perlahan sambil mengatur napas menaiki anak tangga menuju punden. Sesekali dari bibir Esih terdengar desis kesakitan.
Beruntung anak tangga menuju punden telah terpasang lampu penerangan berjarak setiap meter. Jadi Tara tidak mengalami kesulitan saat melewatinya.