He is Yoga

2038 Words
Mencuci. Kalimat yang membuat Yuri tertawa dalam hati. Meskipun dirinya masih remaja, Yuri pandai memasak, mencuci piring dan melakukan pekerjaan rumah lainnya kecuali mencuci baju. Ia biasa mencuci baju memakai mesin cuci, tidak pernah mencuci ala kucek-kucek, atau dengan cara manual. Ia tidak bisa membayangkan dirinya yang tidak pernah mencuci pakaian dengan tangan, tiba-tiba hari ini mendapat perintah mencuci jaket kulit. Tentu saja ia keberatan dan hatinya mengumpat.  Cuci? Maksudnya aku jadi tukang cuci jaketnya gitu? Memangnya dia itu siapa? seenaknya saja menyuruhku. Pacarku bukan, kakak bukan tapi sembarangan memerintah. "Iya. Kamu harus mencuci dan mengembalikannya lagi lusa,"  Ucapan Zacky seakan bisa membaca pikirannya saat ini.  Apa dia indigo? Menyebalkan! Babu. Ya. Ternyata dia menjadikan aku babunya. s**t! Tiada henti Yuri mengumpat dalam hati sambil menatap lekat Zacky, tapi Zacky membalasnya dengan cara membulatkan mata menatapnya dan memaksa Yuri  menundukkan kepala karena takut. Ia takut tak bisa mengendalikan dirinya untuk tidak meninju wajah tampan Zacky. Oh tidak, sepertinya setelah pulang sekolah aku harus meminta ibuku memercikkan air dari daun kelor. Lagi-lagi aku terbius dengan ketampanannya yang paripurna. Oh, Tuhan … ampuni dosaku. “Kamu harus menuruti perintahku, Yuri.” Kedua tangan Zacky mengapit Yuri. Saking dekatnya Yuri bisa merasakan aroma parfum lembut tapi menenangkan yang membuat hidungnya mengendus pelan. "Mana handphonemu?" Sekali lagi Zacky berulah, meminta dengan cara sedikit memaksa. “Apa?” Yuri mendongak kembali menatap Zacky. Ia spontan bertanya lagi walau jelas-jelas Zacky meminta ponselnya.  Apa dia juga akan menyita handphoneku karena aku sudah menjadi babunya sekarang?  Itulah yang terpikir di benak Yuri sekarang dan mau tak mau ia mengambil ponsel dari dalam ransel lalu memberinya kasar meski sambil mendengus. Berhubung ponsel itu tak diberi kunci sandi, dengan mudahnya Zacky membuka lalu mengetik sesuatu. Setelah selesai, tak lama ia memberikannya lagi. Dahi Yuri berkerut melihat sebuah nomor handphone baru di daftar kontaknya. Di sana tertulis Mister Zacky, pemilik nomor handphone dua belas digit dan panggilan keluar ke nomor tersebut. "Itu nomor handphoneku. Dan nomor kamu…," Zacky mengambil dan mengangkat ponsel miliknya. "Sudah aku save disini. Jadi selama di sekolah kamu adalah milik aku dan kamu harus menuruti semua perintahku kalau gak…," Ia kembali menatap tajam Yuri dan berhasil membuatnya tertunduk lagi. Sangat jelas dia mendekatkan bibir di telinga Yuri lalu berkata, "Aku akan menghukummu, Yuri," desisnya dengan sungguh-sungguh. Tangan Yuri terkepal. Rasanya ia sudah tidak tahan untuk meninjunya atau menamparnya keras, tapi tubuhnya masih lemah. Ia belum sepenuhnya pulih. Dengan sisa tenaga yang ada, Yuri mendongak membalas tatapannya lagi. "Dengan cara apa kamu menghukum aku?" tanyanya. Tidak. Mungkin lebih terdengar sebuah tantangan. Sebelah sudut bibir Zacky terangkat, lalu menjawab, "Kencan denganku." Ia menjawab serius dan tanpa senyum. Tawa Yuri pecah mendengar ucapan Zacky yang terdengar konyol. Sangat konyol. Ternyata selain ia tampan, mengerikan, ia juga pandai membuat lelucon konyol. Apa ini ajakan kencan sungguhan? Ia benar-benar tidak romantis, Tuhan. "Berhenti tertawa!"  Teriakan Zacky membuat Yuri reflek berhenti tertawa dan terperanjat kaget. "Dari hari Senin sampai Sabtu kamu milik aku. Pesuruh aku!" Zacky menegaskan lagi kearoganannya tentang status baru Yuri. Yang Yuri bisa menatap Zacky sinis sambil menggerutu dalam hati. Babu. Lebih tepatnya babu, bukan pesuruh! "Di hari minggu kamu harus membayar semua kesalahanmu." Zacky memberitahu lagi. Tentu saja Yuri tidak terima. "Apa?! Berarti setiap hari kita bertemu?" tanyanya dengan nada tinggi. Shit. Selama tujuh hari aku bertemu dengannya? Ini mimpi buruk, lebih buruk daripada mimpi kuntilanak. Mati aku! Zacky mengangguk dan tersenyum lebar seperti sudah memenangkan battle di game online. "Ya, Yuri. Dan ini…," Ia kembali menepuk bahu Yuri pelan. "...Lusa kamu harus membawanya dalam keadaan bersih dan wangi. Enggak boleh ada noda sedikit pun. Kalau ada, kesalahan kamu, aku catat dan hari minggu berikutnya kamu harus membayar hukuman. Kamu paham?"  Salah satu kekesalan Yuri bukan hanya pada Zacky, tapi juga pada ibunya. Gara-gara ibunya, ia harus sekolah di sekolah yang bukan keinginannya. Ya, sekolah yang menurutnya terlalu menerapkan sistem senioritas. Harus tunduk pada keinginan senior. Seperti yang ia rasakan sekarang. Menjadi babu Zacky. Tatapan Yuri lekat pada Zacky yang menanti jawaban. Sebelum menjawab, Yuri mendengus. “Ok. akan kucuci, Mister," jawabnya, tapi Zacky tidak tersenyum justru menyentuh ujung kepala Yuri dengan telapak tangannya dan membuat Yuri tertunduk.  "Satu hal lagi." Zacky kembali bicara. "Kamu gak boleh menatap aku seperti itu. Kamu harus menunduk selama bicara denganku. Paham?" Memaksa Yuri untuk mengatakan 'Ya'. Untuk membuat Zacky senang, Yuri mengangguk. "Baik, Mister." Menjawab dengan nada malas. “Good. Itu baru--” Ucapan Zacky terputus setelah terdengar suara bel berbunyi nyaring pertanda mereka harus memasuki kelas untuk memulai jam pelajaran. Akhirnya inilah yang Yuri sejak tadi dan bisa bernapas lega. Suara bel itu sudah menolongnya untuk menghindar dari Zacky. Setidaknya untuk saat ini. "Aku pergi dulu.” Yuri melangkah menuju tangga tapi langkahnya terhenti ketika Zacky menarik tangannya cepat. "Tunggu!" Panggil Zacky lagi. "Kamu enggak boleh berjalan mendahuluiku. Harus aku yang duluan."  Huff, lagi-lagi Zacky memberi sejuta peraturan. Lagi-lagi juga Yuri menggerutu dalam hati sambil memutar bola matanya cepat. Zacky menuruni tangga dengan langkah santai. Yuri merasa Zacky sengaja memperlambat langkahnya agar terlambat di hari pertamanya di sekolah.  Yuri melirik arloji dan ia harus tiba di kelasnya yang berada di lantai satu sementara ia masih berada di lantai empat menuju lantai tiga, menuruni tangga seperti putri keraton. Karena kesal dan takut kena teguran guru, Yuri menyerobot Zacky lalu berlari. “Hei kamu!”  Suara teriakan Zacky terdengar jelas memanggil namanya dengan kesal, tapi ia mengabaikan Zacky karena harus tiba di kelas untuk menjadi siswi kelas satu SMA. "Yuri. Tunggu!" Zacky berlari mengejarnya, sedangkan Yuri mengerahkan segala tenaganya untuk berlari dan bisa terhindar dari Zacky walaupun tubuhnya masih lemah.  Tiba di lantai bawah Yuri bernapas lega bisa terbebas dari Zacky dan ia belum terlambat meski semua siswa dan siswi sudah memasuki kelas dan duduk. Ia pun memasuki kelas dan sempat menjadi perhatian mereka, terutama para cowok. Dengan percaya diri, ia terus berjalan menuju kursi barisan dua dari belakang yang kosong. Di sana tertulis jelas namanya tertempel di atas meja. Ia duduk sambil menopang kedua lengan di atas meja, memperhatikan suasana kelas yang ramai. Walau kelas hanya berisi dua puluh lima murid, tapi serasa berada di tengah pasar pagi. Yuri melirik beberapa cowok saling berbisik dan sesekali memandangnya. Jaket.  Yuri baru sadar jika di bahunya masih menempel jaket kulit milik Zacky yang harus ia cuci. Ia juga tidak menyangka saat berlari tadi memegang erat jaket itu. Tak ingin menjadi perhatian mereka, ia melepas jaket lalu melipat dan memasukkan ke dalam kolong meja begitu juga dengan ranselnya. "Hai." Seorang cowok menyapa dan menghampiri Yuri. "Nama kamu siapa?" tanyanya yang merupakan salah satu cowok yang sempat berbisik membicarakannya tadi. Cowok itu berdiri di samping Yuri sambil mengulurkan tangan. Ia bertubuh sedikit gendut dan tinggi, wajahnya standar. Biasa saja. Tanpa senyum, Yuri membalas uluran tangannya. "Yuri." Menjawab singkat. "Ronaldo. Panggil aja Ronald." Cowok itu membalas sambil tersenyum lebar, tak peduli sikap dingin Yuri. Karena merasa tak nyaman dengan tatapan Ronald, Yuri menarik tangan dari genggamannya. Perlahan Ronald menatapnya genit. "Sudah punya cowok belum?" Kali ini pertanyaan to the point . Tentu saja membuat Yuri tidak suka. “Pacar?” Yuri berpikir mencari jawaban yang tepat. "Hmm…," "Sudah. Gue cowoknya," celetuk cowok dari kursi belakang yang memaksa Yuri menengok ke belakang.  Cowok itu mengangkat wajah dari kedua lengannya yang dijadikan bantalan. Tampan juga.  Kalimat itu mengambang di pikiran Yuri begitu saja setelah melihat wajah cowok itu. Tatapan matanya lembut, bulu alisnya tebal, hidungnya mancung, kulitnya putih bersih, rambutnya sedikit hitam dan Yuri yakin dia pasti blasteran. Cowok itu seperti selebritis, mungkin di kelas ini. Tidak, mungkin di satu angkatannya ia adalah cowok yang paling tampan. Sementara angkatan di atasnya ada Zacky Jones yang mengisi posisi itu. Ronald terkejut. "Sorry, gue gak tahu kalau dia cewek lo." Ia berjalan mundur lalu kembali menuju kursinya yang berada di seberang. Tatapan Yuri kembali melihat cowok di belakangnya tadi, cowok itu kembali menundukkan kepala di atas kedua lengannya. Berpura-pura melanjutkan tidur. "Enggak usah berterima kasih. Anggap aja itu salam kenal dari aku." Cowok itu mengangkat wajahnya lagi dan tersenyum. “Thanks.” Senyum Yuri mengembang, membalas senyum cowok yang belum diketahui namanya. "Yoga. Yoga Martinez. Itu namaku." Ia memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tangan. Yuri masih tersenyum. "Yuri Santika. Panggil aku Yuri saja." Membalas perkenalan Yoga sekaligus memberitahu nama panggilannya sehari-hari. Yoga duduk menopang dagu. "Kamu gak ikut MOS ya? Kayaknya aku enggak pernah lihat." Yang yakin selama acara itu berlangsung tidak pernah melihat siswi secantik Yuri yang seperti artis dari Filipina. Tebakan Yoga memang benar. Yuri menggeleng lalu menceritakan alasannya yang tak bisa mengikuti MOS. Setelah itu Yoga bergantian menceritakan bahwa ia pernah melakukan battle dengan wakil ketua OSIS. Zacky Jones. Ya, ternyata Zacky Jones adalah wakil ketua OSIS di sekolah itu, pria yang sangat disegani baik oleh para siswa maupun guru. Ada apa ini?  Pikir Yuri, Zacky menjabat sebagai ketua gangster atau semacamnya, ternyata tidak.  Pada cerita Yoga, ia harus bertanding renang karena dianggap melawan perintah Zacky yang menurut Yoga sudah melanggar peraturan sebagai pelajar. Merokok. Karena Yoga menolak, Zacky menantang untuk bertanding dan akhirnya pertandingan itu berhasil dimenangkan olehnya.  Oleh Zacky.  Sebagai hukuman karena sudah melawan dan kalah dalam bertanding, selama seminggu ini Yoga harus membelikan sebungkus rokok untuk Zacky. Hari inilah adalah terakhir masa hukumannya. Dari cerita Yoga, ada sesuatu yang mengganggu pikiran Yuri sejak tadi mengenai sikap Ronald yang terlihat segan terhadap Yoga saat mengaku bahwa dirinya adalah pacarnya. Jika Yoga kalah melawan Zacky, untuk apa Ronald segan padanya? Karena Yuri benci penasaran, ia pun bertanya. "Kenapa Ronald segan ke kamu? Apa karena kamu pernah melawan Zacky?" Yuri meminta penjelasan, tapi Yoga hanya tersenyum tidak menjawab. Yuri berbalik setelah mendengar sapa ‘selamat pagi anak-anak’. Ia melihat ke depan kelas seorang wanita sekitar berumur tiga puluhan baru saja memasuki kelas. Wanita dewasa itu bertubuh kecil dengan berat kurang lebih 50 kilogram dan tinggi seratus enam puluh centimeter. Wajahnya tirus, rambutnya sebahu dan berkacamata tebal menutupi matanya yang sedikit sipit. Wanita itu berdiri di balik meja sambil memandangi mereka satu persatu. "Selamat pagi anak-anak." Ia mengulangi sapanya lagi. Para siswa membalas sapanya lalu ia memperkenalkan diri. Sugiarti, wanita itu bernama Sugiarti, wanita yang menjadi wali kelas mereka. Ia pun mengatakan bahwa dirinya mengajar matematika. Pelajaran yang paling Yuri benci. Tak lama kemudian Sugiarti mengambil secarik kertas lalu membaca. Ia memanggil nama siswa satu persatu. Setelah selesai mengabsen, ia pun memulai pelajaran. Namun, tak sampai setengah jam mengajar, Sugiarti mendapat panggilan melalui interkom untuk segera ke ruang guru. Sugiarti meninggalkan kelas dan spontan kelas pun kembali ramai seakan terbebas dari kain yang mengikat mulut mereka sejak tadi. Kecuali dua cewek yang duduk paling depan yang salah satunya berkacamata tebal yang Yuri kira siswi jenius. Di sampingnya, duduk cewek berpenampilan naif. Tak banyak siswi di kelas itu, mungkin hanya sekitar sepuluh orang saja, selebihnya cowok. Di saat suasana kelas ramai, tiba-tiba pintu kelas terbuka dan mereka semua terkejut. Pandangan Yuri tertuju ke arah pintu dan melihat cowok tampan memasuki kelas  berjalan tergesa-gesa ke arahnya. Wajahnya serius seperti seorang panglima siap tempur dan siap membombardir lawannya. Zacky.  Bukan, tapi Mister Zacky. Ia mendatangi Yuri dan berhenti tepat di depan mejanya.  Semua teman sekelas memandang Yuri aneh, beberapa temannya terutama yang cewek saling berbisik. Yuri tahu isi bisikan mereka yang kagum pada Zacky sekaligus iri. Seorang Zacky Jones yang notabene kakak kelas paling tampan dan terkenal mendatanginya di saat jam pelajaran berlangsung. Zacky menggebrak meja membuat Yuri terkejut dan memaksanya menundukkan kepala. Zacky membungkuk mendekatkan wajahnya. "Kenapa kamu lari dariku tadi?" Semerbak aroma rokok itu pun tercium jelas dari mulutnya. Masih dalam keadaan tertunduk, Yuri menjawab, "Karena aku sudah terlambat masuk kelas," jawabnya, memakai alasan klasik untuk mencari aman. Telunjuk Zacky mengarah ke d**a Yuri. "Ini kesalahan kedua kamu setelah kamu lari dariku tadi. Sekarang kamu ikut aku." Zacky menarik tangan Yuri dan membuatnya bangkit dari kursi lalu melangkah untuk mengikutinya. "Tunggu!" celetuk Yoga. Langkah Yuri terhenti dan reflek menoleh ke belakang melihat Yoga juga menarik bagian lengannya yang lain. Wajah Zacky memperlihatkan ketidak sukaannya melihat Yoga. "Lepasin tangan lo. Enggak usah ikut campur urusan gue."  Mata Zacky membulat dan terlihat kesal menatap Yoga. Sebelah sudut bibir Yoga terangkat. "Dia urusan gue. Karena gue…," Ia mengangkat dagunya ke arah Zacky. "...Cowoknya. Gue cowok Yuri."        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD