Ziel

1003 Words
Sebuah kost dua tingkat yang terletak di salah satu sudut kota Jakarta, Lokasinya cukup jauh berada di dalam gang terlihat cukup aman karena di seberang jalan terdapat pos polisi yang selalu dijaga. Di sana kini Rei dan ketiga anaknya tinggal. Beberapa bulan yang lalu ia dan anak-anak terpaksa meninggalkan rumah mereka karena sang suami yang mengusirnya. Ya betul, itu adalah rumah pemberian suami pertama Rei, Deff. Yang dijual oleh Dan suami kedua Rei hanya karena ia begitu tergila-gila dengan seorang wanita dan ingin memberikan segalanya bagi sang pelakor. Meski ia sayang pada suami keduanya itu, Rei bukan tipe wanita yang suka ambil pusing. Apalagi masalah perempuan lain. Daripada gila dan makan hati ia lebih baik undur diri. Kepada dua anaknya saja Dan sudah tak peduli. Maka ia memilih bercerai kembali dan mengabdikan hidupnya untuk membesarkan ketiga anaknya. Pagi ini seperti biasanya ia menyiapkan sarapan untuk kedua anaknya si sulung Ziel yang kini berusia 9 tahun dan kini bersekolah di kelas 3 sekolah dasar. Lalu Uca anak keduanya yang kini berusia 5 tahun, Uca kini mengikuti PAUD yang ada di Rw tempat ia mengontrak dan terakhir Cia si bungsu yang usianya 2 tahun kini. Bayi cantik itu masih tertidur di kasur. Tak ada sekat hanya dua petak ruang tidur yang bisa dijadikan semua ruangan lalu kamar mandi. Uca dan Ziel sudah bersiap sejak tadi. Ziel nampak masih menyisiri rambut sang adik yang sibuk menonton kartun dari ponsel sang ibu sambil sesekali menatap adik kecilnya yang tertidur sambil menyesap dot yang sudah kosong. "Mami masak apa ya Kak?" tanya Uca. "Apa aja yang penting kita sarapan," jawab Ziel. Uca mempoutkan bibirnya. "Nasi kecap telur dadar lagi?" "Uca harus ngerti, Mami kan enggak punya uang seperti dulu." Ziel coba memberi perhatian pada sang adik. Uca hanya mengangguk, dan keduanya kembali menunggu sang mami datang. Kini Ziel ikut menyaksikan kartun dari ponsel milik sang mami yang dipegang sang adik. Ziel seolah dipaksa menjadi lebih dewasa karena keadaan. Sejak sang ayah tiri menceraikan sang ibu dan membuat hidupnya menjadi seperti ini, berantakan. Beruntung sejak dulu Rei selalu mengajarkan Ziel untuk menyayangi adiknya dan ketiganya memang saling menyayangi hingga saat ini. Tak lama pintu terbuka menunjukkan sosok Rei yang membawa sarapan, tak ada dapur dalam ruangan ia belum membeli kebutuhan untuk memasak. Jadi ia meminjam kompor listrik milik Cinta rekan SMA nya dulu yang juga tinggal di sana. Tentu saja tinggal di kost ini juga merupakan saran dari Cinta dan Hana. Rei duduk lalu meletakkan nasi goreng di meja belajar lipat milik masing-masing anaknya. "Makan nasi goreng ya?" Nasi goreng yang ia buat dengan bumbu instan tiga ribuan, lalu dua telur yang ia buat menjadi telur dadar dipotong menjadi tiga bagian. Nasi sisa semalam yang ia bagi dua untuk kedua anaknya. Uca makan dengan lahap, sementara Ziel sesekali menatap sang mami. "Mami enggak makan?" tanya Ziel. "Udah tadi di bawah, ada Tante Arin yang beli gorengan." Rei menjawab tak ingin si sulung khawatir "Emang tante Arin udah bangun? Ini masih jam 7 pagi. Biasanya kan Tante Arin bangun jam 9." "Udah kok tadi." Ziel menyendok kan nasi goreng dan mengarahkan sendok pada sang mami. "Aaaaa, Mi." Rei menerima suapan sang anak, dan mengacungkan ibu jarinya. "Enak kan buatan Mami?" "Enak!" Seru Uca. Rei juga membawakannya bekal yang sama untuk kedua anaknya. Ia membeli nasi uduk tadi dan meletakan ke tempat makan. Ia lalu memasukan tempat makan yang sudah di isi ke dalam tas Ziel dan Uca. "Nanti ini di makan ya," ucap Rei pada kedua anaknya yang segera mengangguk. *** Sekolah dasar Kartika Kencana, kini menjadi tempat bekerja bagi Agustian Yogi Majendra atau biasa dipanggil Agus. Pak Agus guru kesenian yang bisa dibilang tampan dan populer di sekolah. Bukan hanya idola siswa, bahkan juga guru muda lain yang ada di sana. Apalagi, Agus dikenal sebagai guru yang hangat, ramah dan peduli terhadap muridnya. Kini, pria itu menjadi wali kelas 3B. Agus masih duduk di ruang guru seraya mengobrol dan sibuk makan pisang goreng yang tersaji di meja. Seperti biasanya selalu ada yang membawa kudapan pagi yang bisa di makan bersama. Setiap guru membawa makanan bergantian. "Pak Agus anak murid baru itu namanya siapa?" Tanya Bu Susi wali kelas kelas 6. Memiliki rambut pendek, dan wajah manis dengan bibir yang tipis. "Jazziel?" Tanya Agus dijawab anggukan oleh Bu Susi. "Itu pinter lho waktu bapak enggak masuk dia ngerjain matematika selesai pertama dan betul semua. Cepat banget ngerjainnya." Ibu Susi memuji dan buat Agus tersenyum. "Saya akuin pinter dia Bu cuma gitu galak, judes. Kesian dia jadi enggak ada teman." Agus jelas menyayangkan sikap Ziel yang tak lain, tak bukan adalah anak dari Rei. Ziel ketus, judes dan pendiam sekali itu yang Agus takutkan adalah ia tak punya teman. "Mungkin memang dia pendiam." Sahut Bu Ning. "Harusnya anak-anak seusia dia itu bersosialisasi Bu. Anak-anak seusia Ziel itu biasanya lagi seneng mencari teman." Jelas Yogi menyayangi sikap dingin Ziel. Saat itu anak-anak dari kelas tiga berlari ke dalam ruang guru sambil memanggil 'Pak Agus'. "Kenapa?" tanya Agus kemudian. "Ziel sama Arsyad berantem pak!" jawab Arkan lalu segera berlari ke kelas diikuti Agus dan Pak Yanto guru olahraga menuju kelas. Agus melihat Ziel yang tengah duduk di kursinya dengan tenang sementara Arsyad menangis di depan kelas. Agus menatap Ziel yang terlihat tenang duduk di kursi seolah tak terjadi apapun tadi. "Jazziel!" panggil Agus lalu yang dipanggil berjalan mendekat. Ziel berdiri di depan wali kelasnya menatap Agus. Benar-benar terlihat baik-baik saja dan itu sejujurnya buat Agus sedikit takut dengan sang murid. "Kamu ngapain Arsyad?" tanya Agus. "Ziel enggak apa-apain. Pak Guru boleh liat di cctv itu." Ziel terdiam lalu menunjuk cctv di sudut kelas. "Kalo Ziel bener bapak harus hukum Arsyad. Agus hela napas, lalu mengangguk. "Ada apa sebenarnya? Kenapa kalian berantem?" "Dia dorong saya Pak!" Arsyad protes seraya menunjuk Ziel. "Itu salah lo sendiri mau dorong gue. Akhirnya malah lepas kendali dan nabrak meja." ujar Ziel tak terima. "Ini gara-gara apa sebenarnya?" Agus Bertanya lagi. "Dia ngatain saya pak!" Arsyad protes semakin tak Terima. "Memang kamu ngatain apa Ziel?" "Bodoh." Jawab Ziel enteng.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD