Bab 2

1419 Words
Aku menapaki tangga menuju lantai dua—dimana kelasku berada, dengan senyum yang tak kunjung hilang. Ini sudah hampir dua minggu dan aku masih memikirkan senyuman Baihaqi kala itu. Dan jika memikirkannya, membuat hatiku senang sekali. Jantungku berdegub kencang, dan Rasanya ada jutaan bunga-bungga yang mekar dalam perutku. Oke, itu memang terlalu hayal, tapi memang begitu yang kurasakan selama dua minggu ini. sekalipun aku masih belum bertemu sosoknya lagi, sejak kejadian itu karena sibuk mempersiapkan ujian pondok dan sekolah, tapi aku tetap senang karena senyumnya yang manis itu masih terbayang-bayang.             Hari ini adalah hari terakhirku di sekolah sebelum liburan semester genap. Akhinya, setelah dua minggu kalang-kabut menghapal ini itu dan belajar ini itu, aku bisa bernapas lega dan pulang. Ya, pondok memberi jatah libur selama dua minggu. Libur itu juga digabung dengan libur awal puasa karena satu minggu lagi sudah menginjak bulan ramadhan. Aku senang sekali, akhirnya setelah hampir setengah tahun tidak pulang, aku bisa menghirup udara rumah. sekalipun itu artinya aku tidak bisa bertemu Baihaqi dalam waktu lama. Sebab itu aku harap hari ini bisa menemukannya di kantin, lapangan atau dimanapun, agar liburanku bahagianya sempurna.             “Ikut aku Ra,” ketika aku sampai di kelas, dan baru saja memasukinya, Viana menarik tanganku dengan kuat. Membuat tubuhku berbalik dan terseret mengikuti kemana langkahnya pergi. temanku yang satu ini memang sedikit bar-bar.             “Kemanaaaa???” tanyaku bingung.             Sekolah masih sepi, aku memang datang terlalu pagi hari ini. Kelas-kelas yang kulewati masih tidak ada penghuni. Dan di lorong-lorong, masih hanya satu atau dua siswa yang wira-wiri. Sekalipun begitu, Viana tidak mengubris pertanyaanku, gadis itu malah semakin kuat menarikku agar aku berjalan lebih cepat.             Ada apa? kini hanya itu yang memenuhi benakku.             Kami berjalan melewati lorong-lorong kelas, sepertinya menuju ke arah belakang sekolah. “Kemana kitaaaa? Kantin ya?” tebakku, namun Viana tak kunjung menjawab. Membuatku semakin kesal karena harus menahan rasa penasaran.             Setelah berjalan hampir lima menit, kami berhenti di area lapangan sekolah yang masih sepi. Viana mengajakku duduk di bawah pohon, dan memberiku sebuah buku matematika. Maksudnya apa ini? aku menenteng buku paket itu kebingungan. Sementara Viana malah sibuk membuka buku tulis.             “Ini kita lagi ngapain siiii disini?” tanyakuu pada Viana.             “Ajarin aku matematika, kan nanti aku ada remidial.” Jawab Viana. `           “Oke, tapi kenapa harus jauh-jauh kesini?”             “Ya biar suasananya enak.”             Aku menatap Viana curiga, nggak mungkin, pasti bukan itu alasannya.             “Iya benerannn Ra, nggak percayaan amat.” Ucap Viana seolah tau isi kepalaku.             Aku pun hanya mengangguk tapi masih belum percaya. Dengan hati yang masih penuh tanya, aku menuruti Viana, menjelaskan beberapa materi matematika yang nanti akan muncul di remidi. Kami berdua pun terhanyut dalam rumus-rumus matematika, hingga segerombolan cowok datang dari penjuru selatan lapangan—tepat sebrang sana. Terlihat sangat jelas jika dilihat dari tempat kami. Aku tidak tau pasti siapa mereka, yang jelas perhatian Viana terganggu ketika mereka datang. dan aku sadar, tujuan Viana mengajakku kesini untuk apa. bukan untuk belajar, tapi untuk melihat satu diantara segerombolan cowok yang kini tengah bermain sepak bola. Lihatlah, bahkan Viana kini tengah menopang dagu sembari senyum-senyum sendiri.             “Yang mana si? Kasi tau aku dong.”             Viana terperanjat, mungkin dia baru sadar kalau ada aku di sampingnya. “Eh apaan si.”             “Uda jangan bohong lagi, dosa! Kamu lagi suka cowok kan? Siapaa?”             “Nggak Raaa.”             “Bohoong, anak santri putra juga nggak?”             “Ih, nggak percaya.”             “Iyalah, uda jujur aja nggak papa.”             Viana menatapku ragu, ia kemudian tersenyum malu-malu. “yang jadi keeper,”             Mataku pun sontak menatap seseorang yang berdiri di depan gawang. Seorang cowok dengan rambut hampir habis karena digundul. Aku bisa menebak, pasti gundulan itu karena habis dita’zir. Jadi, kalau ada santri putra yang melanggar aturan, akan dikenai hukuman digundul rambutnya.             “Namanya siapa?” tanyaku.             “Nggak tau,” jawab Viana cepat.             “Ha? Masa nggak tau?”             “Aku suka dia dari jauh Ra,” Jawab Viana sembari tersenyum malu-malu.             Sama, Ra. Aku juga gitu—dalam hati. “Ya, setidaknya kamu harus tau namanya viaa...”             “Wes mboh, pokonya aku bisa liatin dia gini aja aku seneng banget.”             “Cieee, akhirnya Viana suka sama cowoo.” ucapku sembari menoel bahunya.             “Apaan siiii”             “Sejak kapan tapi?”             “Nggak tau, pokoknya akhir akhir ini sering banget ketemu dia dan aku jadi suka aja.”             “Kelas apa? nggak tau juga?”             “Enggak, hehe”             “Yauda besok-besok kita cari tau.”             Viana mengangguk, “Hari ini hari terakhir sebelum liburan, makanya aku pengen banget liat dia. Makasih ya.”             “Sama-sama, tapi nggak usah pakai bohong segala siiih. Pakai acara minta ajarin matematika segala lagi.”             “Tapi kan aku memang punya niat belajar matematika ke kamu.”             “Iya, iyaaaa.” Jawabku dengan nada mengejek. Aku pun melakukan hal yang sama dengan Viana, menatap ke lapang dengan menopang dagu. Melihat satu-persatu cowok-cowok yang kini tengah bermain sepak bola di lapangan. Wajah cowok-cowok itu terlihat asing, aku tidak pernah melihatnya. Hingga seorang cowok yang baru datang dan turut bergabung dengan mereka, berlari menuju lapangan. Cowok dengan baju putih dikeluarkan, dan celana yang diangkat sampai ke dengkul. Yang dengan penampilannya seperti itu, bisa membuat hatiku berdegub kencang. siapa lagi kalau bukan Baihaqi. Ya, cowok yang baru saja ikut main bola itu Baihaqi. Akhirnya, setelah dua minggu tidak bertemu aku bisa melihatnya lagi. aku pun jadi sama seperti Viana, tak berhenti tersenyum dan menatap ke depan.             “Na, mauku kasih tau satu rahasia?”             “Apa?”             “aku juga lagi suka sama seseorang.”             “Ha? Siapa?”             “Rahasia, pokoknya dia ganteng,”             “tsk,” Viana berdecak dan tersenyum. “Tapi kamu tau namanya kan?”             “tau.”             “Kelasnya tau?”             “Tau.”             “Tau kalau dia santri putra apa bukan?”             “Taulah, aku nggak g****k kayak kamu ya na, suka tapi nggak tau apa-apa.”             “huft, kan aku takuut.”             “Tapi Makasi ya, berkat kamu aku bisa liat dia sebelum liburan.”             “Apa? bilang apa? yang kenceng donggg”             “MAKASIIIIH MBAKK, b***k ya?”             “WKWK” Viana tergelak, “tapi miris ya kita.”             Aku menoleh, menatapnya heran. Tawa Viana terhenti, dan suasana diantara kami mendadak serius. “miris kenapa?”             “Ya, miris. Karena cuma bisa suka dari jauh.”             “bener, kita masih belum mampu nyontoh Bunda Khadijah. Kita baru bisa nyontoh Sayyidah Fatimah saja, yang mencintai Ali lewat doa.”             “Huhu, iya bener banget kamu. Tapi—“ BRAKKKKK!! Tiba-tiba sebua bola melesat kencang ke arah kami. Membuatku dan Viana terperanjat kaget. “Maaf.” Seseorang datang ke tempat kami, setelah mengambil bola yang berada di semak-semak. “Iya gpp,” jawabku sembari mengangguk meyakinkan. Viana yang masih syok, gadis itu masih meletakkan tangannya di d**a, untuk menenangkan dirinya. “Sekali lagi, maaf loh mbak.” Aku mengangguk, dan cowok itu kembali ke lapangan. Sepeninggalnya, aku meyakinkan Viana jika dia juga baik-baik saja. “kamu nggak papa kan?” “Nggak papa ra, kaget aja.” “Yauda, kembali ke kelas ya? kita ambil minum.” “Nggak, nanti kalau uda bel aja.” “Lima belis menit lagi dong,” “Ya, nanggung kan kalau kita balik sekarang? Aku mau puasi-puasin dulu.” Jika begini, aku hanya bisa menggeleng dan menyerah untuk tidak memaksa Viana. Aku pun kembali menatap ke arah lapangan, namun sangat terkejut ketika dari jauh ku lihat Baihaqi tengah menuju ke tempat kami. Beneran kan? dia lagi jalan kesini? atau aku aja yang kegran?  Jantungku pun sudah berdetak sangat kencang. tanganku mendadak jadi basah, dan aku jadi tidak tau harus apa.  "Ra, kamu nggak papa kan?"  terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, membuatku tidak sadar jika Baihaqi suda di hadapakan kami. sebentar, apa tadi dia memanggil namaku? Ra? iyakan, dia bilang Ra kan?  Karena aku masih bengong, Viana pun menyenggol-nyenggol bahuku dengan bahunya. "Eh, Baii. nggak papa kok." Jawabku dengan senyum canggung yang kini kutampakkan. "Minum ni, tadi pasti kalian kaget." Ia menyerahkan sebotol minuman dalam tumblr bewarna hitam, sepertinya itu tumblr miliknya dan sengaja ia bawa dari pondok.  Aku malu-malu menggambilnya, dan tidak berani menatap matanya. "Makasii." "Ya, sekali lagi maaf. Soalnya, tadi aku yang nendang dan meleset." Ohh, jadi itu alasannya ia memberi kami minum? jadi hanya karena rasa bersalah? yaiyalh Ra, apa lagi yang kau harapkan. "Iya, Bai. Nggak papa." Baihaqi pergi, sebelum itu ia tersenyum kepadaku. senyuman yang kupastikan kujadikan obat rindu jika pulang nanti. aahhhhh, terima kasiiih ya Alllah!! tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD