Mimpi? Ya! Semua orang pasti sudah pernah merasakan mimpi di saat tubuh terlelap dalam tidur. Namun mimpi yang dialami oleh seorang pemuda bernama Arya Rangga Kusuma adalah sesuatu hal yang berbeda. Pemuda 19 tahun itu bisa menyelami dan melihat masa lalu seseorang yang dia kehendaki melalui mimpinya. Arya menyadari hal itu saat dirinya berusia tiga belas tahun. Saat itu dia bisa melihat masa lalu dari temannya yang kabur dari rumah.
Dahulu, Arya sempat merasakan kesedihan yang mendalam, ketika teman sebangkunya di sekolah yang bernama Nikita menghilang karena kabur dari rumah. Sebelum tidur ia memikirkan temannya yang kabur. Pikiran Arya terlalu fokus memikirkan keadaan Nikita yang sudah tiga hari menghilang.
Hingga saat Arya merasa lelah dan mencoba tertidur. Arya seakan memasuki suatu dimensi yang membawanya pada masa lalu Nikita. Dalam penglihatan yang muncul dalam mimpinya, Arya melihat kebahagiaan yang kemudian berubah menjadi kepedihan mendalam.
Masa lalu Nikita sangat berliku. Dia dibesarkan oleh keluarga yang utuh. Kebahagiaan selalu terpancar dalam hidupnya. Hingga sesuatu yang berbeda 180 derajat harus dia jalani di dalam keluarga yang dahulu sangat bahagia.
Semenjak Nikita naik kelas dua SMP, kemelut terjadi dalam keluarganya. Kedua orang tuanya selalu bertengkar hebat di hadapannya. Sikap gadis yang memiliki segudang prestasi itu, seketika berubah. Arya pun menyadari hal itu. Kemudian Arya melihat tekanan yang membuncah dalam diri Nikita. Penglihatan dalam mimpi Arya seakan menguliti masa lalu Nikita.
Sesuatu yang membuat Arya tercengang dengan apa yang ia lihat dalam mimpinya. Ketika kedua orang tua Nikita bertengkar karena kehadiran orang ketiga. Nikita yang tidak tahu menahu permasalahan kedua orang tuanya, menjadi korban atas pertengkaran mereka. Tidak ada kehangatan seperti biasanya di rumah itu. Tidak ada yang memperhatikan Nikita. Hingga kedua orang tua Nikita mengabaikan semua masalah Nikita di sekolah. Nilai yang anjlok, belum membayar uang semester, dan Nikita juga menjadi tidak nafsu makan. Hingga akhirnya Nikita merenung di balik jendela kamarnya.
Nikita menulis sebuah surat dam buku diarinya. Kemudian dia pergi dengan meninggalkan buku diari itu di kamarnya. Bahkan Arya dapat melihat detail di mana Nikita menyimpan buku diarinya. Di dalam lemari pakaiannya, di tengah antara baju-baju yang dilipat
Kemudian Nikita terlihat membawa ponselnya sebelum dia benar-benar pergi dari rumahnya. Nikita berjalan ke arah danau yang tidak jauh dari lokasi tempat tinggalnya. Saat dalam perjalanan, Nikita dijambret oleh seorang penjahat yang tidak bertanggung jawab. Hingga akhirnya Nikita menangis tersedu-sedu. Niat hati ingin menenangkan diri di sana. Namun justru petaka menimpanya. Arya hanya bisa melihat alur yang terjadi sebelum Nikita menghilang. Arya tidak dapat menolong Nikita ketika dia melihat temannya itu dijambret. Arya merasa sangat sedih melihat kisah itu. Hingga sesuatu yang mengejutkan muncul dalam penglihatan Arya dalam mimpinya.
Arya melihat kalau Nikita melamun di tepi danau. Pikiran yang kosong dan kalut membuat Nikita hilang kewarasan. Dia berjalan terus menuju danau. Arya hanya bisa melihat dan meneriakinya, memanggil namanya, tanpa bisa menolongnya.
“Niki! Nikita ....”
“Aaarrrggghhh!!!”
Arya terbangun dari mimpinya. Napasnya tersengal, memburu dengan begitu cepat. Jantungnya berdebar seakan dadanya akan meledak. Keringat bercucuran dan hatinya sangat resah. Arya merasa kalau mimpi itu seperti nyata. Lantas saat sarapan bersama Ibu dan Ayahnya sebelum dia berangkat ke sekolah, Arya melamun memikirkan mimpinya yang semalam.
“Arya? Kamu nggak enak badan?” Bu Sasmitha menatap wajah putranya.
Nasi goreng dengan toping telur ceplok hanya diaduk-aduk saja oleh Arya, tanpa memakannya. Sekalinya memakan nasi goreng yang hanya satu sendok, bukannya dikunyah malah diemut saja. Tatapannya kosong melihat gelas berisi air mineral yang masih utuh tidak tersentuh.
“Arya? Hei? Nak?” Bu Sasmitha memanggil Arya dan Pak Bisma menepuk pundak putranya.
“Arya?” Pak Bisma menatap Arya dengan penuh tanda tanya.
“Hah?” Arya terkesiap dari lamunannya. Ia langsung menatap wajah Sasmitha yang ada di hadapannya.
“Nak? Kamu tidak enak badan?” Bu Sasmitha menatap nanar wajah putranya. Beliau merasa Arya sedang murung dan tidak enak badan.
“Aku nggak apa-apa, Bu!” Arya menggelengkan kepalanya.
“Terus kamu kenapa, Arya?” Pak Bisma kembali menepuk bahu putranya yang masih berusia tiga belas tahun.
“Sudah beberapa hari ini, Arya mimpi buruk!” Arya menundukkan kepalanya. Pikirannya kembali mengingat alur mimpi tentang teman sebangkunya, Nikita.
“Mimpi kan sudah biasa, Nak! Itu hanya bunga tidur. Setelah kamu bangun dari mimpimu, semua akan baik-baik saja seperti semula.” Bu Sasmitha berusaha menenangkan Arya.
“Tap—tapi, Bu! Mimpi Arya selalu sama setiap hari,” ujar Arya sembari menatap Sasmitha dengan tatapan penuh ketakutan.
Bu Sasmitha saling menatap penuh tanda tanya dengan sang suami, Bisma. Tatapan keduanya seakan menyiratkan pertanyaan yang sama. Pertanyaan mengenai mimpi yang baru saja diceritakan oleh Arya. Pak Bisma menganggukkan kepalanya yang menandakan bahwa Beliau memberikan isyarat kepada istrinya untuk berbicara empat mata dengan Arya.
“Arya mau melanjutkan makan atau nggak, Sayang?” Bu Sasmitha mencoba mengulas senyum kepada putranya.
“Arya nggal nafsu makan, Bu.” Arya menatap Sasmitha sesekali karena kepalanya masih menunduk. Lalu sendok yang dia pegang langsung disimpan begitu saja.
“Arya mau Ibu antar ke sekolah?” Sasmitha masih berusaha membujuk Arya agar bisa melupakan mimpi buruknya secara perlahan.
“Nak?” Sasmitha kembali menegur Arya.
“Ya, Bu?” Arya kembali terkesiap dari lamunannya.
“Mau diantar Ibu atau Ayah?” Sasmitha berharap Arya mau diantar olehnya.
“Diantar Ibu juga boleh. Berangkat sendiri juga boleh.” Tatapan Arya masih terlihat kosong.
“Ya sudah, Bu! Ayah mau berangkat dulu ke kantor. Nanti Ibu hati-hati di jalan!” Pak Bisma berpamitan. Ia mengecup kening istrinya, setelah Sasmitha mencium punggung tangan kanan suaminya. Bisma juga mengecup kepala Arya, setelah Arya mencium punggung tangan Ayahnya.
***
Pagi ini Arya diantar oleh Bu Sasmitha ke sekolah dengan menggunakan taksi Online. Di dalam mobil, Arya dan Ibunya berbincang mengenai mimpi yang dialami oleh Arya.
“Nak? Sebenarnya kamu itu mimpi buruk apa? Dikejar-kejar setan? Atau masuk ke jurang? Atau?”
“Mimpi Nikita, Bu!” Arya menggunting ucapan Ibunya. Seketika Sasmitha menutup mulutnya, karena saking terkejutnya. Beliau sampai bingung untuk memulai dari mana.
“Mim—mimpi Nikita? Bagaimana?” Sasmitha merasa merinding dengan apa yang baru saja Arya katakan.
“Arya bisa melihat masa lalu Nikita sebelum dia menghilang. Hidupnya yang bahagia belakangan ini terusik menjadi sebuah perpecahan, dilema, pertengkaran antara kedua orang tua Niki. Terus ....” Arya menghentikan ucapannya.
“Terus? Terus apa, Nak?” Sasmitha merasa semakin penasaran. Ia sangat mengenal putranya. Namun kali ini dia melihat Arya yang berbeda dari biasanya. Hal itu terlihat saat Arya kembali mengingat mimpinya tentang Nikita. Sasmitha merasa tegang dan merinding.
“Nikita menulis sepucuk surat dalam buku diarinya, sebelum dia pergi ... dia menyimpan buku diari itu di dalam lemari pakaiannya, di bagian paling atas. Terus Nikita pergi tanpa pamit ke keluarganya. Dia hanya membawa ponselnya menuju danau ... Niki ... Niki ....” Arya masih takut kala itu.
“Niki kenapa?” Sasmitha penasaran.
“Niki dijambret, Bu! Terus dipukul karena rebutan ponsel milik Niki, setelah jambretnya pergi, Niki berjalan ke tepi danau dan melamun di sana. Terus ....” Arya menunduk. Ia meremas jemarinya seperti sangat ketakutan. Hingga membuatnya tidak tenang.
“Terus apa? Dari tadi terus-terus melulu? Jangan bikin Ibu takut!” Sasmitha membenarkan posisi kaca matanya yang sempat turun.
“Maaf, Bu! Arya juga takut!” Arya kembali diam. Anak laki-laki yang dikenal ceria dan supel ini, belakangan menjadi pendiam dan murung, setelah mimpi-mimpi itu muncul setiap dia tertidur.
“Terus? Apa yang kamu lihat dalam mimpi kamu, Nak? Tentang Nikita?” Sasmitha merasa mimpi anaknya menyimpan sebuah pesan.
“Nikita ... berjalan ke danau dalam keadaan pikiran yang kosong, Aku berusaha menolongnya tapi tidak bisa, Bu! Niki terus berjalan ke sana, semakin masuk dan tenggelam.” Arya semakin meremas jemarinya. Keringat dingin bercucuran, karena mimpi buruk yang kembali ia ingat.
“Ap—apa? Nikita berjalan dan tenggelam di danau?” Sasmitha sampai menahan napasnya ketika mendengarkan Arya bercerita.
“Iya, Bu! Semua mimpi buruk itu seperti satu kejadian, seperti film yang Arya lihat, Arya sangat takut, Bu! Apa mimpi Arya menyimpan sebuah pesan?” Arya menatap Ibunya sembari menggenggam telapak tangan Ibunya