Lima

1038 Words
Anne keluar dari kamar mandi dalam kamarnya. Memakai jubah mandi dan handuk yang melilit di kepala. Tubuh remuknya tampak rileks, ia tidur dari siang sampai menjelang malam. Tau sendiri, malam kemarin ia tak punya banyak waktu istirahat karena ulah kakak iparnya. Mata Anne membesar ketika dilihatnya seseorang yang tengah duduk bersandar di kepala ranjang seraya bersendekap. Udara disekitar Anne terasa menipis, ia sesak. "Jangan lagi," batinnya. "Kemari lah." Perintah Darrel. Jangan harap Anne menurutinya, tidak akan. Perlahan langkah kaki Anne berjalan mundur. "Jangan membuatku marah atau kau tahu akibatnya nanti," desis Darrel tajam. Dengan tubuh sedikit gemetar Anne mendekati Darrel, bukan karena ia gampangan. Ancaman Darrel, bisa membuat ia kehilangan seluruh keluarganya. Tapi ia juga tidak bisa selamanya terus begini. Ia hanya bisa berharap, akan ada seseorang yang mau membantunya lepas dari kekangan Darrel. Semoga. "Cepat!" bentakan Darrel cukup mengejutkan Anne. Sampai di samping ranjang, Darrel menarik tangan Anne, hingga wanita itu duduk menyamping di atas pangkuannya. Secepat kilat pula Darrel menyambar bibir Anne, melampiaskan semua sensasi dalam tubuhnya. Sedari tadi memang ia tahan. Tubuh Anne dibalut hanya dengan jubah mandi. Lidah Darrel menjelajahi seluruh rongga mulut Anne, suhu tubuh mereka sama-sama panas. Jangan salahkan Anne, ia memang tidak menginginkan ini. Tubuhnya tidaklah munafik ketika dipancing sedikit meski ditahan sekalipun akan runtuh juga. Sebelah tangan Darrel menekan leher Anne, sebelahnya lagi mengatur posisi Anne agar menghadap dirinya. Jubah mandi Anne tetap terikat. Namun, bagian bawahnya tersampir hingga memperlihatkan paha Anne yang putih mulus dan kencang. "Nggh," lenguh Anne saat dirasa intinya menekan sesuatu yang keras, Anne meyakini jika itu milik Darrel. Darrel memegang erat pinggang Anne. Memaju mundurkan tubuh Anne di atas miliknya. Mereka saling menggesek. Darrel merasakan yang Anne rasakan. Rasa nikmat yang tak tertandingi. Meninggalkan bercak basah di celana Darrel. Membuat milik Darell mengeras luar biasa. Mereka terbakar dalam dosa, hanya untuk meraih nikmatnya dunia. Gesekan itu semakin keras dan cepat. Sampai dimana dalam ciuman panas mereka melenguh karena puas. Darrel melepas ciumannya, menyatukan keningnya pada kening Anne. "Luar biasa," gumam Darrel, ia mengelus pipi Anne yang merona. "Kau menikmatinya bukan?" Anne diam. "Tak usah mengelak, kabut gairah di matamu menunjukkannya padaku." "Aku membencimu." Anne ingin sekali menarik diri dari Darrel jika tidak ada tekanan di kepala dan pinggangnya. Ia benci melihat wajah Darrel seolah merendahkan dirinya. "Benar, orang yang kau benci ini yang telah membawamu pada surga dunia," seringai Darrel melebar, Anne memukuli kedua pundak Darrel karena hanya itu yang bisa ia lakukan untuk melampiaskan kemarahannya. Namun, hal itu sama sekali tidak berdampak bagi Darrel. "Aku sangat membencimu! manusia tidak punya hati!" Satu ujung bibir Darrel terangkat. "Ingin sekali aku memasuki mu sekarang, memakan mu sampai habis..." Darrel mengecup bibir Anne, ia belum melepaskan dahinya, membiarkan menempel pada dahi Anne. "...tapi tidak akan menarik jika sekarang," lanjut Darrel cepat. Tak sesuai dengan ucapan, Darrel kembali mempermainkan Anne. Pusat tubuh yang terekspos, dimainkannya tanpa ampun. Kamar Anne pun, hanya terdengar desah nafas tertahan. Bibir Anne menipis, menatap Darrel dengan wajah memohon. Puncak yang sengaja digagalkan, sungguh tidak menyenangkan. Kepala terasa berputar. Pusing sekaligus berdenyut. Anne merasa kecewa. Darrel tersenyum remeh kemudian melumat bibir Anne sebentar. "Kau akan mendapatkannya tapi tidak sekarang. Aku punya permainan yang menantang untuk kita." Anne diam, ia menutup pahanya yang terbuka lebar. "Kita akan makan malam. Kakakmu ada dibawah, menyiapkan makan malam. Dan kuharap kau memakai, apa yang telah aku siapkan untukmu tanpa dalaman apapun. Jangan membantahku," kata Darrel dengan penuh penekanan di kalimat terakhirnya. Darrel memindahkan Anne dari atas pangkuannya ke pinggir ranjang. Ia mengecup kening Anne sesaat sebelum beranjak pergi keluar kamar Anne. Meninggalkan Anne yang menatap nanar kepergiannya seraya meneteskan airmata sambil mencengkram pinggiran kasur. Seharusnya aku tidak boleh menikmati ini. Berusaha lebih keras lagi agar tidak dilecehkan lebih. Tapi, apa kenyataannya? Tubuh ini terlalu terbuai akan sentuhan pria itu hingga melupakan segalanya. Melupakan jika pria itu kakak iparnya, suami dari kakak yang sangat ku sayangi. Dan ancamannya itu membuatku semakin lemah tidak berdaya. Maafkan aku Ma, Pa, Kakak. Anne bodoh. Tubuh, bodoh. *** Makan malam berlangsung biasa saja. Tidak ada yang mengejutkan kecuali Darrel yang biasanya irit kata. Mengajak sang istri dan adik iparnya menonton bersama di home teather. Lucy sempat protes, ia ingin menonton berdua saja dengan harapan malam pertama akan terlaksana malam ini karena Lucy diam-diam sudah menyiapkan lingerie untuk menggoda Darrel. Tapi, haruskah kembali gagal? Anne yang merasa menjadi orang ketiga di sana, ingin menyetujui pendapat Lucy tapi tatapan tajam menusuk itu menghalanginya. Lucy pun menyetujuinya saat Darrel beralasan ingin merasakan hangatnya berkeluarga. Ia tak bisa mengelak, cukup mengerti kondisi suaminya, yang sudah lama tak merasakannya. Kebersamaan keluarga. Darrel dan lucy-tengah bergelayut manja pada tangan Darrel-masuk ruangan yang berdekorasi sama layaknya bioskop kebanyakan. Sedangkan Anne mengikuti mereka dari belakang. Ia menarik baju depannya ke depan agar tidak mencetak jelas puncak dadanya walau baju yang digunakannya berwarna hitam. Sebenarnya tidak bisa disebut baju juga. Darrel menyiapkan untuknya, tanktop hitam serta celana jins setengah paha. Bukan hal baru bagi Anne memakai pakaian seperti ini saat di rumah. Bedanya ia selalu memakai dalaman. Anne melihat kakak dan kakak iparnya duduk di dua tempat duduk di sana berdampingan, total ada tiga tempat duduk dalam satu baris. Otomatis sisa satu tempat duduk. Haruskah ia menempatinya? atau memilih baris lain? Anne bingung harus duduk di mana. Dalam kebingungannya Anne melihat Darrel menoleh kebelakang menatapnya. Melalui gerakan tangan Darrel meminta Anne duduk di sebelahnya. Itu berarti Darrel berada di tengah di antara sepasang kakak beradik. Saat itu pula, Anne merasakan firasat buruk. Kalau bisa ia akan memilih keluar dari ruangan ini jika sebelumnya Darrel tidak mengancamnya. Sepasang mata pria itu menakutkan. Firasat buruk Anne semakin bertambah, ketika melihat Darrel menyeringai, meski dengan pencahayaan hanya berasal dari layar di depan sana, Anne masih bisa melihatnya. Jantung Anne berdegub kencang, bagian bawahnya pun terasa tidak nyaman. Gila, Inikah permainan yang Darrel katakan? Semoga tidak. Andai tidak mendatangkan hal buruk, ia ingin segera lari dari tempat ini. Sungguh. *** Suka bermain-main ya. Lupa? karma itu ada! Mungkin tidak sekarang, tunggu saja nanti. *** Jangan menerima ruang dan memberi ruang untuk orang lain masuk ke dalam rumah tanggamu. Jika tidak mampu membahagiakan satu wanita, jangan berpikir menambah satu wanita lagi. Sikapmu hanya menyengsarakan. Bukan tentang menjaga dan dijaga, tapi bagaimana caranya kamu mempertahankan janjimu pada Tuhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD