Episode 9 | Tamu Bulanan

2010 Words
Gerimis reda, menyisakan bekas di jalanan yang berubah licin. Udara kali ini menjadi lebih dingin dari biasanya. Aluna menggosok telapak tangannya untuk menghangatkan diri. Mengusap lengannya berkali-kali sebagai pertahanan. Yudi menoleh kilas menatap sang calon adik ipar, lantas mengusap rambut Aluna pelan. “Dingin, ya?” tanyanya seolah sadar tak ada yang bisa diperbuatnya. Meminjamkan jaket? Sayangnya ia tak membawa jaket. Memeluk Aluna? Yudistira 'kan bukan siapa-siapanya? Kasihan tapi bingung. Yudi hanya bisa menggaruk kepala lalu mematikan AC. Mobil terparkir tepat di depan pagar rumah Aluna. Yudistira turun, membukakan pintu untuk si gadis. “Sudah sampai,” ucapnya seraya mengulurkan tangan. Aluna mengangkat sebelah alisnya. “Kayak di tipi-tipi, ya?” Yudistira terkekeh pelan. “Masa?” tanyanya. Tangannya masih terulur tanpa sambutan. “Cepetan! Pegel, nih.” Aluna tertawa, lantas menyambut tangan Yudistira dan berdiri saling berhadapan. “Makasih, ya, Kak.” “Sama-sama,” jawab Yudistira. Diliriknya arloji yang ia kenakan di tangan kanannya. “Sudah jam sembilan malam. Masuk, gih,” perintahnya seraya mengendikan kepala. “Mau mampir dulu?” tanya Aluna, menunjuk arah rumah. “Nggak usah. Udah malem.” Aluna mangut-mangut pelan. “Kalo gitu aku masuk duluan, ya, Kak.” Yudistira tersenyum tipis, lantas menganggukan kepala pelan. Bersamaan dengan itu, Aluna melangkahkan tungkainya menuju gerbang rumah seraya melambaikan tangan. Yudistira menganggukan kepala seraya tersenyum. Balas melambai tangan sebelum tiba-tiba teringat sesuatu. “Eh, iya. Aluna!” Menghentikan langkah, Aluna berbalik dengan raut bingung. Menatap Yudistira yang tiba-tiba membuka pintu mobil dan kembali dengan sebuah papper bag di tangannya. Papper bag sephora. “Buat kamu.” Yudistira menyodorkan benda itu sesaat setelah berdiri berhadapan dengan Aluna. “Ambil.” Aluna mengerjapkan mata beberapa kali. Kapan Yudi membelinya? Sayangnya kalimat itu tertahan karena Yudistira menjelaskannya tanpa perlu diminta. “Aku beli pas kamu ijin ke toilet tadi. Kamu pasti nggak ngeuh karena langsung kumasukin tas,” jelas Yudi seraya nyengir polos. Di tempatnya, Aluna mengulum senyum malu-malu seraya menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga. “Ah, Kakak. Nggak usah repot-repot,” jawabnya. Biar pun begitu, papper bag di tangan Yudistira tetap diambilnya. “Terimakasih, ya, Kak.” Lagi-lagi Yudistira mengangguk. Tersenyum semanis madu. Mengendikan kepala sebagai isyarat agar Aluna segera masuk ke dalam rumah. Aluna lenyap ditelan jarak. Yudi mengulum senyum di tempatnya. Berbalik untuk masuk kembali ke dalam mobil. Di dalam bangku kemudi, Yudistira termenung, menatap kosong jalanan. “Duit gue habis, nih, gara-gara sephora doang.” *** Seminggu lamanya Aluna dan Bima tidak saling bertukar kabar. Ada rasa rindu yang menyeruak dalam benak masing-masing. Ada rasa kesal mengingat kesalahan satu sama lain. Memang dasar sama-sama berkepala batu. Saat pasangan menjelma menjadi api, salah satunya malah menjadikan dirinya sebagai kayu bakar. Hancur sudah. Itulah gambaran dua sejoli yang sama-sama mendewakan gengsi. Mereka adalah Aluna dan Bimasena. Aluna bersikukuh dengan asumsinya, menganggap apa yang dilakukannya adalah yang paling benar. Begitu pun Bima, ia merasa lelah mengalah. Sebenarnya kurang tepat jika dikatakan mengalah, karena Bima tipikal pria yang selalu diam saat dimarahi tetapi esoknya akan melakukan kesalahan yang sama. Bima terlalu menyepelekan segala hal kecil dan Aluna tidak suka itu. Aluna tetap pada pendiriannya untuk tetap diam, melakukan segala aktifitas seperti sedia kala kendati suasana hatinya benar-benar buruk. Ia melangkah santai, keluar dari komplek rumah menuju jalan utama. Atensinya tertuju pada layar ponsel yang menyala, menampilkan beberapa chat dari sekerubung rayap yang bersatu dalam sebuah grup alay. BHACOT SQUADD Sesha Males kerja. Ngambil cuti bisa kali, ya? Gery Inget setoran, woy! Ishaq Gue otw, nih. Tiara Wih, si anak tauladan! Ishaq Kalian ada butuh apartemen, nggak? Atau barangkali kenalan kalian ada yang nyari sewaan. Ini gue mau ngosongin apartemen soalnya rumah gue udah jadi. Kinan Wih Ishaq keren. Selamat, cuy. Tiara Selamat Ishaq. Gery Entar kalau ada info penyewa gue kabarin lo. Persenan jangan lupa. Ishaq Taik lo @gery Sesha Cukkae Ishaq. Eh, BTW kalian masih di mana? Aluna Selamat, sak. @sesha ini gue lagi jalan. Mau ke halte. Sesha Lo gak dianterin Bima, Lun? Aluna Dia marah. Gue udah lama gak nenenin dia. Fokus Aluna teralih saat sebuah damri berhenti. Ia melangkah masuk. Bergerak celingukan mencari tempat duduk yang kosong. Pilihan jatuh ke sebuah kursi di pojok belakang. Ia duduk di sana, tepat di pinggir jendela kaca. Menyenangkan bisa melihat keelokan Bandung pada pagi hari. Udaranya yang dingin memberikan kesan damai tersendiri. Aluna menyukai kota ini kendati bukan kota kelahirannya. Sialan. Ponselnya begitu ramai. Sepertinya Aluna harus membisukan notifikasi dari grup alay tersebut. Dentingan suara pesan yang tak kunjung berhenti membuatnya mencebik menahan malu. Terlebih tatapan mahluk seisi bis yang menatapnya aneh. Gadis itu lantas mendesis pelan. Iya lah, ini kan tempat umum? Aluna kembali membuka grup alaynya. Sepasang alisnya berkerut. Mereka membicarakan apa, sih? BHACOT SQUADD Gery Anying. @Aluna kamu kotor sekali. Sesha Yaampun Bulan. Gue kan jomblo! Tiara Aing juga tar malem mau nenenin Bayu, deh, kalau gitu. Ishaq Aku nenen sama siapa? Kinan NENEN GAK TUH! Ini apa, sih? Aluna kebingungan sendiri membaca chat random teman satu grup-nya. Scroll ke atas, gadis itu mencari topik apa yang sedang mereka perbincangkan. Siapa tahu ia bisa nimbrung, 'kan? Oh, s**t! Aluna meringis saat menemukan akar masalah. Ia membenturkan kepalanya ke jendela mobil beberapa kali. “Bego, anying! Bisa-bisanya typo,” rutuk Aluna. Buru-buru ia mengetikan pesan balasan sebagai sebuah klarifikasi. Aluna Maksudku nemenin, lho, guys. Bukan nenenin. Gue typo. Maklum lagi di luar. Gery Beneran juga nggak apa-apa, Lun☺ Tak mau membahas lebih lanjut, Aluna memilih mengeluarkan ponselnya dari grup alay sialan itu dan menepuk dahinya beberapa kali. Merutuki kesalahannya sendiri. *** Bima mengiris bawang, lantas memasukannya ke dalam mangkuk berisi telur mentah. Ia mengocoknya menggunakan garpu, memasukan garam ke dalamnya juga irisan daun seledri. Nasib. Nasib. Ibunya pergi ke Cirebon selama beberapa hari untuk pertemuan keluarga. Nasibnya terlantar tak karuan. Begitu pun Yudistira yang saat ini tengah rebahan di ruang tengah, menonton sinetron ikatan cinta sambil memakan kremesan mie instan mentah. Bima mencebikan bibir seraya memasukan adonan ke dalam teflon berisi minyak panas. Perutnya sudah sangat lapar sementara persediaan lauk semakin menipis. “Anying. Bau goreng endog, nih.” Tito muncul di ambang pintu. Main slonong masuk sambil menenteng satu kresek kecil makanan. “Gue bawa makanan,” ucapnya. Ia duduk di samping Yudi yang hanya menatapnya datar. “Yut, perut lo bisa begah makan mie instan mentah kayak gitu.” Tito merebut bungkusan mie dari tangan Yudi dan menaruhnya di atas meja. “Sekali-sekali mah nggak apa-apa, kali,” jawab Yudistira singkat. Berusaha mengambil kembali bungkusan mie, namun lengannya malah ditepis kasar oleh Tito. “Kagak sehat!” terang Tito. Ia terkadang memang suka lebay. “Nih gue bawa cuanky sama cola.” Tito membuka bungkus kresek. Di dalamya ada tiga bungkus baso cuanky dan tiga kaleng cola. Netra Tito celingukan ke seluruh penjuru ruangan, mencari sosok Bima. “Ke mana, nih calon manten?” Yudistira mengendikan bahu di tempatnya. “Tau.” Tito mencebikan bibir. Lantas berdiri dan melangkah menuju dapur guna mengambil peralatan makan. Untuk persiapan mukbang cuanky yang akan ia siarkan langsung di akun f*******:. Bima membalikan adonan telur di teflon. Ia tak menyadari presensi Tito yang mematung di dekat rak piring. Suara dentingan perabotan yang dihasilkan oleh Tito membuat Bima menoleh dan memekik kaget. “AYAM AYAM!” Tubuh Bima refleks terlonjak. Untung saja teflon di tangannya masih dalam posisi yang aman. Bayangkan saja kalau latahnya Bima sudah stadium lanjut. Bisa-bisa telur dadar di dalamnya mengapung bebas mengenai ubun-ubun Tito. “EH KODOK!” balas Tito ikutan latah. Refleks Tito melemparkan centong nasi hingga mengenai pelipis Bima. Bima mengaduh sakit, lantas mengusap pelipisnya yang masih terasa cenat-cenut. “Sakit g****k!” “Habis lo ngagetin!” “Lo ngapain di situ, sih? Nggak permisi nggak apa juga. Main slonong aja, lo!” Tito menghela napas, lantas kembali mencari perabotan untuk alat makannya. “Gue tuh kasian sama elo, sama Ayut juga. Gue ke sini mau ngajak lo makan. Tapi respon lo begitu? Benar-benar tidak tahu terimakasih!” Tito mendesah. Benar-benar lelah menjadi orang paling baik di antara tiga sekawan itu. Ia merasa malang. Tito benar-benar merasa dirinya lah protagonis satu-satunya di sini. Kedua temannya itu hanya figuran. Second lead. Ia peran utama sesunggugnya di dunia ini, kendati ... kisahnya sama sekali tak mempunyai daya jual. “Kalian akan menyesali semua perbuatan yang pernah kalian lakuin ke gue.” “Jangan lebay deh, To. Gue tuh cu—” Obrolan Bima terpotong saat ruangannya tiba-tiba mengeluarkan bau aneh. Bima dan Tito mengendus mencari biang. Ini bau apa? Seperti ... “Kayak bau bakaran?” ucap Tito. Bau bakaran? “ASTAGFIRULLOHALAZIM! TELOR GUE!” Tito ikutan panik tak mendasar. Penyakit latahnya kumat. “EH, KODOK! TELOR LO! GIMANA INI?” “Kenapa, sih? Kok ribut-ribut?” tanya Yudi lempeng. Bersandar di kusen pintu seraya menatap datar dua mahluk aneh di hadapannya. Tangannya kembali memegang bungkus kremesan mie instan, mulut penuhnya tak berhenti mengunyah. Hidupnya seperti tak punya beban memang. “Telor lo kenapa? Susah bangun?” *** Kalau dihitung-hitung, pernikahan Aluna dan Bima hanya tinggal empatpuluh lima hari lagi. Aluna mencebik kesal. Bukannya seharusnya mereka sedang repot mempersiapkan segala t***k bengek urusan pernikahan? Sewa gedung? Baru di DP. Fitting baju? Belum menemukam titik tengah. Ada sebagian yang ingin Aluna rombak dan Bima tahu itu. Sayangnya, Bima bereaksi dingin. Ia mager untuk sekadar mengantar Aluna mengukur ulang gaun dan komplain ini itu ke desainer. Kupingnya Bima sudah bosan mendengar berbagai keluhan Aluna. Sudah cukup. Jangan sampai orang lain merasakannya. Berbanding terbalik dengan Bima, Aluna justru menyayangkan sifat ‘menyepelekan hal kecil’ yang berulang kali dilakukan oleh kekasihnya itu. Aluna berjalan santai keluar dari komplek rumah menuju sebuah mini market. Ada keperluan mendesak yang membuatnya mau tak mau harus meninggalkan kegiatan rebahannya. Kendati mager, Aluna memaksakan diri melangkahkan tungkai dengan sendal jepit swallow, kaos bertuliskan pantai Pangandaran, dan kolor doraemon di atas lutut. Masa bodoh. Aluna tetap percaya diri dengan apa pun yang ada dalam tubuhnya. Entah kenapa, mata Aluna mendadak kunang-kunang saat ia mendorong pintu mini market dan masuk. Perutnya sedikit mulas. Aluna menggelengkan kepala pelan, mengusir pusing yang mendera. Netranya celingukan mencari satu benda yang amat ia perlukan. “Mbak. Pembalut yang bersayap ada di sebelah mana, sih?” tanya Aluna tanpa tedeng aling-aling. Pegawai laki-laki tanpak menahan tawa di sudut ruangan. Masa bodoh. Aluna tetap dengan percaya dirinya yang berada di level langit ke tujuh. Dekat dengan surga. Pegawai wanita tampak berjalan mendekati gondola ke tiga. Meraih satu pembalut bersayap ukuran tigapuluh centimeter. “Ini, Kak.” Aluna meraihnya dengan cepat dan berlari menuju meja kasir. Anjir. Kok rasanya perut semakin melilit? Beberapa kali Aluna buang angin tanpa suara selama di mini market itu. Untung saja kentutnya tidak terlalu bau. Aluna menghentakan kaki beberapa kali ke lantai, tangannya meremas bagian perut yang semakin melilit. Ia gelisah, mencebik kesal menatap antrian yang masih cukup panjang. “WOY. BISA GUE DULU NGGAK, SIH? GUE CUMA BELI LAULIER DOANG!” Seluruh mahluk di dalam toko menatapnya aneh. Sebagian ada yang mencebik kesal. “Ngantri, Mbak. Semua orang di sini ngantri!” “Iya, nih. Nggak sabaran banget!” “Nggak sopan. Padahal cewek, masih muda juga.” “Ih, ih. Pantatnya merah. Pantesan marah-marah.” Obrolan terakhir yang Aluna dengar membuatnya membulatkan mata. Aluna menggigit bibir bawahnya. Dengan gerakan ragu, ia melajukan tangannya untuk mengusap b****g dengan gerakan pelan. Duh jangan sampai bocor! Sialan. Basah. Aluna merasakan rembesan di bagian belakang tubuhnya, lantas menatap telapak tangannya yang memperlihatkan warna merah. Bau darah tercium perlahan. Kan, bocor? Aluna meringis kecil. Ia menatap ke sekeliling toko dan menemukan tatapan-tatapan mengerikan. Sebagian saling senggol kemudian tertawa-tawa. Tak mau merasakan malu semakin menjadi, Aluna menjatuhkan dirinya di atas lantai. Memejamkan matanya. Berpura-pura pingsan. Manusia di sekelilingnya sedikit terjengat mundur, Aluna tak dihiraukan siapa pun. Sampai seorang pemuda berlari mendekat dengan keranjang berisi telur dan ramen yang segera di simpan asal. Ia berjongkok membawa Aluna ke atas pangkuannya. “Lun?” Kelopak mata Aluna terbuka secelah garis. Mengintip presensi pria itu. Mahluk mana yang begitu berhati malaikat dan bersedia membawanya kabur dari gunjingan para mahluk tadi? Bima? Sejak kapan dia ada di sini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD