bc

Romansa di Kelas Akselerasi

book_age16+
18
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
tomboy
drama
highschool
abuse
friendship
school
passionate
like
intro-logo
Blurb

Kontes menulis Innovel II - All the Young

“Waah, semester depan gue masuk kelas akselerasi bareng pangeran!”. Silvie Ratnasari, siswi SMA yang sedikit tomboy, tiba-tiba mendapat surat dari sekolah yang memindahkannya ke kelas akselerasi ketika tahun ajaran baru besok. Itu kelas paling elit di sekolah yang di dalamnya terdapat banyak orang-orang berkelas termasuk pujaan hatinya, Aditya Hadikusuma.

Namun kegembiraannya tak bertahan lama, sejak hari pertamanya di kelas akselerasi, ia sudah mendapatkan berbagai bully. Bahkan sang idolanya pun sangat dingin dan menyebalkan hingga membuat Vivi kesal lalu mengaggapnya musuh.

Seiring berjalannya waktu, Vivi yang berusaha bertahan di kelas itu mulai melihat sifat asli para siswa disana. “Mereka memang siswa spesial ya...benar-benar butuh penanganan khusus”. Vivi, sebagai sosok tukang ikut campur, membantu menyelesaikan permasalahan psikologis yang mereka hadapi.

Di sisi lain, Adit tiba-tiba menembaknya, “Oi, besok minggu jadi pacar gue, gue jemput jam 10”. Meskipun dengan kata-kata yang dingin dan rancu, cewek mana yang mau menolak cowok ganteng itu. Vivi menerimanya namun hampir tiap hari ia dibuat kesal atas sikap Adit yang memperlakukannya seperti pembantu sekaligus badutnya. Lebih gempar lagi, munculnya orang ketiga yang ingin memisahkan hubungan mereka. "Hubungan kalian itu toxic! Putuskan hubunganmu dengan Adit sekarang juga! Pilih aku saja Vi. I Love You." titahnya.

Mampukah Vivi bertahan di kelas Neraka itu dan mendapatkan cinta sejati di masa SMA-nya?

chap-preview
Free preview
Chapter 1
Namaku Silvie Ratnasari biasa dipanggil Vivi, seorang gadis yang dikenal tomboy. Saat ini usiaku 17 tahun. Aku sering bolos pelajaran tapi nilai ujianku selalu bagus dan sudah dua semester ini selalu mendapat rangking 5 besar di kelas. Aku dikenal tomboy karena mudah berbaur dengan siapa saja baik dari kalangan atas maupun bawah. Ibuku bernama Siti Maimunah, seorang Psikolog yang sudah banyak jam terbang dalam menghadapi berbagai macam kasus klien. Sedangkan ayah bernama Agus Setiawan merupakan seorang Trader Saham yang bekerja dari rumah sehingga lebih banyak memberikan waktu bersama keluarga. Aku juga memiliki seorang adik laki-laki berusia 11 tahun bernama Andi Ardana yang selalu menyebalkan dan berisik. Rumah kami hampir tidak pernah sepi karena selalu ada saja yang kami berdua ributkan meskipun itu hal yang sepele Saat ini aku sedang menikmati liburan kenaikan kelas dengan bersantai di rumah bersama keluarga. Kami duduk santai di sofa sambil menonton tayangan TV di ruang tengah. Tiba-tiba terdengar suara bel pintu. Teeet! Ada tamu datang. “Bukakan pintunya, Vi” Titah sang kepala keluarga. Pandangannya masih asik dan tak mau lepas dari tayangan TV di depannya. “Haduh, siapa sih yang datang sore-sore gini. Padahal filmnya lagi seru.” Keluhku yang masih malas beranjak untuk membukakan pintu. Kini Andi pun ikut-ikutan main perintah. “Sana cepetan, sudah disuruh ayah” Ia menendang ringan ke kakiku agar aku cepat bergerak membukakan pintu. “Izzz. Iyaa iya, sebentar!” Aku berjalan dengan lunglai sedangkan mataku masih mencuri pandang ke acara TV. “Tch. Siapa sih yang datang, ganggu saja.” Aku membukakan pintu. Ternyata petugas kantor pos, ia memberikan amplop besar berwarna coklat. Setelah aku memberikan tanda tangan bukti penerimaan, petugas pos itu pergi. Begitu ku cek ulang ternyata amplop itu berasal dari sekolahku dan ditujukan kepada ayah. Tentu saja aku terkejut, baru kali ini ada surat dari sekolah yang ditujukan ke orangtua. Aduh, surat apa ini? Kok dari sekolahku? Jangan-jangan surat peringatan karena aku sering bolos semester kemarin. Aduh aku bisa habis dimarahin! Rasa cemasku meningkat, mulai keluar keringat dingin. Aduh bagimana ini. Bagaimana agar ayah dan ibu tidak tahu ada surat ini? Tiba-tiba ibu sudah berdiri di belakangku, “Surat untuk siapa itu, Vi?” Spontan aku membalikkan badan dan menyembunyikan amplop ke punggung. “Eh ibu. Enggak kok. Ini enggak penting. Hehehe” “Tingkahmu mencurigakan dan matamu mengalihkan pandangan ke kanan atas. Kamu mau bohong ya? Sini berikan amplopnya ke ibu” Ibu menyodorkan tangannya di depanku. Aduh habislah aku. Memang sulit kalau ingin berbohong ke ibu yang seorang psikolog. Tapi ini kalau suratnya ku tahan lebih lama, bisa-bisa lebih parah lagi marahnya. Maka dari itu, ku putuskan untuk memberikan amplop itu ke ibu. Ibu membuka amplop coklat itu, “Oh! Apa ini?” Ada beberapa lembar kertas di dalamnya. Ibu membaca salah satu sambil berjalan ke ruang tengah. “Yah, lihat ini. Ada surat dari sekolahnya Vivi” Aduh. Kenapa ibu pakai laporan ke ayah segala? Tapi anehnya kenapa wajah ibu justru terlihat senang ya? Apa itu bukan Surat Peringatan dari BK karena aku sering bolos semester kemarin? “Surat tentang apa itu bu?” ayah menoleh ke arah ibu. Ibu duduk di samping ayah lalu memberikan 1 dari 3 lembar kertas yang ada di amplop tadi. “Ini hasil tes psikologis yang diadakan sekolah setelah ujian kenaikan kelas kemarin. Lihat yah, hasilnya Vivi dapat IQ 130. Itu berarti putri kita jenius, yah” Ibu tersenyum senang dan terlihat bangga pada hasil tes IQ milikku. Eh…Apa? Apa mereka tidak salah hitung? IQ-ku bisa setinggi itu. Aku jenius? Wah, rasa senang dan bangga menyelimutiku apalagi hal itu membuat kedua orangtuaku bangga. “Pasti dia nyontek itu bu. Tidak mungkin kak Vivi sepintar itu. Dia saja malas-malasan belajar dan sering bolos pelajaran” Ucap Andi dengan nada mengejek karena tak percaya. Langsung ku jitak kepalanya. Anak kecil ini benar-benar pintar mengacaukan suasana “Hiiih, kamu ya. Kalau iri bilang saja. Kakakmu ini memang jenius dari dulu tahu!” balasku kesal. Aku mengunci lehernya di ketiakku. “Aduh, lepasin aku Pipi Tembem!” Andi berusaha melepaskan diri tapi itu jelas tidak mudah. Tubuhnya saja kecil kerempeng. Aku dipanggil Pipi Tembem karena pipiku pernah disengat lebah hingga bengkak dan jadi bahan tertawaan Andi sampai seminggu penuh. “Apa kamu bilang? Hiiih.” aku semakin menekannya karena gemas. “Aaaah toloong” ini andalan Andi setiap kali kalah melawanku, minta tolong ke ayah dan ibu. “Vivi, sudahlah, kasihan adikmu. Kamu sudah besar, dikontrol emosinya” Ucap ibu yang terdengar tidak suka melihat anak perempuannya berperilaku kasar. Tentu saja aku membela diri. “Andi yang mulai dulu, bu” Aku melepaskan kuncianku, kemudian Andi pergi dan memeluk Ibu. “Andi juga, jangan suka memancing emosi kakakmu. Sudah tahu dia mudah emosi” Kali ini Andi juga dinasehati. Ibu memang selalu berusaha adil dan bijak dalam memberi nasehat untuk kebaikan kami. Ayah memecahkan suasana yang memanas, “Sudah- coba lihat ini. Ternyata kamu punya potensi yang besar, Vi. Berikutnya tinggal bagaimana caramu memanfaatkannya” “Iya bener Vi. Kamu harus lebih semangat belajar lagi” Kali ini ibu kembali menyemangatiku. Tapi dari dulu belajar bukanlah hobiku. Bukan sulit, hanya tidak ada motivasi untuk melakukannya. “Iyaa-“ Jawabku dengan malas. Kemudian ayah menunjuk 2 lembar kertas yang ada di tangan ibu. “Kalau yang itu surat apa bu?” Ibu menyerahkan lembar dengan kop surat sekolah itu ke ayah, “Ibu baru sekilas baca sih yah. Kesimpulannya, pihak sekolah meminta ijin ayah untuk memindahkan Vivi ke kelas Akselerasi mulai semester depan” “Kelas akselerasi?!” Aku tersentak. Bagaimana tidak, sejak kelas X aku selalu mendengar desas-desus tentang kelas akselerasi. “Kelas yang isinya kalangan elit berkualitas dengan segala prestasinya itu?” Ayah memperhatikanku yang kegirangan begitu mendengar informasi dari ibu, “Kamu mau pindah ke kelas Akselerasi, Vi?” “Ya jelas mau, yah” Jawabku spontan. Aku selama ini masuk kelas regular, kini punya kesempatan masuk ke kelas se-elit itu. Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan sekali seumur hidup ini. “Ya sudah, kalau dari Vivi sendiri sudah mau, ayah setuju,” Ayah dari dulu memang orang yang fleksibel, tidak suka membuat rumit keadaan. Jadi ketika aku menunjukkan ketertarikanku, wajar saja bila ayah langsung setuju, lagi pula aku putri satu-satunya. Seperti teori kelekatan keluarga, seorang ayah memiliki kecenderungan lebih lekat dengan anak perempuannya, sedangkan ibu cenderung lekat dengan anak laki-lakinya. “Iya ibu juga setuju. Tapi ingat kelas akselerasi itu tingkat kesulitannya melebihi kelas regular. Kamu harus cepat beradaptasi dengan lingkungan kelas dan pelajarannya” Ucap ibu dengan segala nasehatnya. Ya tidak ada salahnya mendengarkan nasehat orangtua yang lebih sering banyak benarnya. “OK. Siap bu. Nanti disana, Vivi belajar lebih giat dan lulus dengan nilai yang tidak kalah dari teman lainnya di kelas itu” Ini resolusiku untuk merubah diri, kesempatan ini jangan sampai terlewat jika tidak ingin menyesal di kemudian hari. Lagi-lagi mulut Andi menyolot, “Apaan? Paling-paling bukannya belajar, tapi nanti yang di kepalanya hanya ada cowok idola sekolah itu. Kalau tidak salah ingat kak Vivi bilang namanya Adit.” Aku terkejut Andi masih ingat kata-kataku dulu. “Issss, diem kamu anak kecil” aku mencubit lengannya. Berani benar anak kecil ini membongkar rahasia kalau ada cowok yang ku taksir di kelas itu. “Aduh. Itu bu. Kak Vivi nakal” Seperti biasa, Andi mengeluh ke ibu yang ada di sampingnya. “Nah ini juga yang ibu khawatirkan. Kalau sikapmu masih emosian seperti ini, bagaimana caramu berteman dengan teman kelas akselerasi yang hebat-hebat itu. Ibu jadi sedikit khawatir” Aduh, kalau sampai ibu khawatir tentang hal ini. Jangan-jangan nanti keputusan tadi dibatalkan. Mungkin sebaiknya aku janjikan dulu saja supaya ibu lebih tenang “Tidak perlu khawatir bu. Semester besok Vivi coba berubah jadi lebih feminim deh. Biar kelihatan jadi cewek beneran” Andi langsung berkomentar yang menyakitkan setelah mendengar janjiku ke ibu. “Hah? Apa bisa kak Vivi jadi feminim? Aku ragu…” “Kamu ya…daritadi gangguin aja. Lihat saja semester baru besok. Aku akan glowing jadi cewek cantik bagai model” Awas saja kamu Andi. Akan ku buktikan kalau aku bisa jadi lebih feminim dan dapat banyak teman dari kelas tersebut. “Idih. Mana ada yang percaya.” Ku lihat wajah Andi seperti mengejek tidak percaya ucapanku. Andi berani seperti ini karena ada Ibu di sampingnya. Rasa kesalku sudah di ubun-ubun. Ini anak kecil benar-benar menguji kesabaranku dari tadi. “Isss, rasakan ini adik durhaka” aku cubit pipinya yang gembul itu dengan gemas. Andi berusaha melepaskan cubitanku. “Aaaaa, tadi katanya mau jadi feminim. Kok masih cubit pipiku?” “Kan berlakunya waktu mulai sekolah, jadi feminimnya ya besok waktu masuk sekolah.” Balasku. Ya begitulah keluarga kami, ramai, hangat dan hidup. Kini aku menantikan keseruan di kelas akselerasi nantinya. *** Pagi ini merupakan permulaan semester di kelas XI. Yang membuatku lebih bersemangat dari biasanya adalah karena mulai semester ini aku terpilih untuk pindah ke Kelas Akselerasi. Kelas yang terkenal Super Elit karena para siswanya merupakan anak-anak dari orang penting ataupun mereka memiliki segudang prestasi. Yang lebih serunya lagi, di dalam kelas itu ada seorang cowok yang ku kagumi sejak kelas X, namanya Aditya Hadikusuma. Cowok berdarah biru, bertubuh gagah, berwajah tampan dan sebagai artis bahkan mendapat julukan pangeran sekolah atau School Prince. Adit memiliki grub fans tersendiri, yang selalu histeris meskipun hanya melihat sang idola dari jauh, tentu saja aku termasuk anggota di dalamnya. Sejak seminggu lalu, aku sudah berlatih di depan cermin untuk perkenalan diri sehingga bisa membuat image sebagai siswa feminim yang baik. Dari pagi, wajahku sudah senyum-senyum sendiri, terutama karena menantikan takdir pertemuanku dengan pangeran. Kring! Kring! "Cepetan dong pipi tembem! Keburu telat!" Keluh Andi. Kami memang diminta ibu untuk berangkat bersama menggunakan sepeda, meskipun dipertengahan jalan kami berpisah ke sekolah masing-masing. Aku yang sedang melamunkan pangeranpun terbangun dari dunia khayalan dan tiba-tiba merasa kesal. "Iya, iya! Bawel! Ini lagi mengikat tali sepatu! Sabar sedikitlah jadi orang!" Balasku. Aku segera mengambil sepeda dari garasi rumah. Kami siap berangkat dan keluar dari pagar rumah. "Stop! Tunggu!" Ayah keluar rumah dengan sarung merahnya. Kamipun berhenti di depan pagar rumah. "Ini bekal kalian, Ayah membuat Nasi Goreng Telur Spesial. Ayah jamin tidak kalah dengan yang dijual di restoran-restoran mewah. Untuk Vivi, ayah beri extra kulit ayam goreng kering, kalau untuk Andi, ayah beri extra kremesan gurih plus mayonnaise." Ayah bangga sambil memberikan dua kotak bekal berwarna hijau dan biru pada kami. "Wah~, makasih yah", Kami dengan senangnya langsung mengambil box bekal dari tangan ayah. Aku mengambil box milik yang berwarna hijau, sedangkan Andi yang berwarna biru, kemudian kami menyimpannya ke dalam tas. Meskipun ibu sedang kerja di luar kota namun ia selalu menyempatkan videocall di malam hari demi menjaga komunikasi keluarga. Oleh karena itu, kini urusan rumah tangga dikerjakan ayah. "Ibu jadi pulang besok sore kan, yah?" tanya Andi spontan. "Iya, setau ayah sih jadwalnya seperti itu, karena lusa ibu ada agenda di perusahaan dekat sini" Jawab ayah sambil mengingat-ingat jadwal yang tertulis di ruang tengah. "Kenapa? Andi udah kangen ibu?" Seketika wajah Andi memerah dan memalingkan wajahnya, "Siapa yang kangen ibu? Ibu janji mau belikan CD vidio rekaman BTS. Jadi Andi mau cepet dapet itu yah," ia mencoba berkilah tapi tak bisa menyembunyikan kerinduannya. "Pffft, dasar anak mami. Katakan saja kangen, pakai acara ngeles segala." Candaku padanya. "Diem lo pipi tembem! Sudah ah, aku mau berangkat! Yang paling belakang adalah telur busuk! HAHAHA!" Balas Andi sambil mengayuh sepedanya menjauh dari rumah. "Hey itu curang, harusnya startnya bersamaan! Oi tunggu!" Aku mulai geram hingga sedikit meninggikan suara. "Dasar lambat! Telur busuk! HAHAHA!" ejek Andi sambil mengayuh sepedanya semakin jauh. "Duh siapa sih yang mengajarkan dia jadi seperti gitu?" Aku menghela nafas. Ayah mengangkat pundak lalu mengelengkan kepala. "Ya sudah yah. Kami berangkat sekolah," pamitku. "Ya, hati-hati di jalan," ayah melambaikan tangan. "Pipi Tembem Telur busuk!" Terdengar suara samar Andi yang sudah cukup jauh. Aku spontan menjadi kesal. "Ohoho berani sekali dia mengejek kakak cantiknya ini, tunggu saja kalau nanti dia ku tangkap. Hehehe!" Aku tersenyum lebar. "Jangan terlalu keras ke adikmu" ucap ayah dengan khawatir. Aku masih tak dapat menahan senyum jahatku. Kemudian mengejar Andi dengan kecepatan 25 Km/jam tanpa merisaukan permintaan ayah, "Tungguuu!! Awas kalau kamu kutangkep nantiii!" Ayah menghembuskan nafas panjang, "Huff, dasar anak-anak". Iapun masuk ke rumah. Andi yang merasa bersepeda cukup jauh dari rumah, mencoba menoleh ke belakang. Ia terkejut seperti melihat ada aura kematian hitam di belakangku yang sedang marah. "Waaaa, tolooong setaaaann!" Iapun spontan mempercepat laju sepedanya. "Apa kamu bilang! Awas kamu yaaa! Andiiii!!" Balasku yang mempercepat lajuku dengan wajah seperti orang kesetanan, semakin mendekati Andi. Tetangga di sekitar sudah terbiasa dengan keramaian ini dan hanya tersenyum melihat keakraban kami. Keluarga kami memang terlihat biasa saja. Tipikal keluarga moderen sederhana yang harmonis dengan sedikit bumbu-bumbu kejahilan adik-kakak. "Aaaaaaaa! Ampuuun!" Terdengar teriakan Andi hingga kejauhan, itu berarti ia berhasil terkejar olehku yang sedang kesal padanya. Hukumannya adalah cubitan pada pipi. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

TERNODA

read
198.6K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.5K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.3K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
57.1K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook