Chapter 2

2061 Words
Perjalanan dari rumah menggunakan sepeda membutuhkan waktu 15 menit. Sesampainya di depan gerbang sekolah, aku turun dari sepeda dan menuntunnya ke parkiran di samping. Terdengar suara Pak satpam dari gerbang untuk mengingatkan kami, "Gerbang ditutup 10 menit lagi. Upacara bendera sudah mau dimulai. Ayo lebih cepat lagi jalannya. Go Go Go!" Para siswapun mempercepat langkah untuk masuk ke kelas masing-masing. Setelah memarkirkan sepeda, aku segera berjalan cepat karena tidak mau terlambat untuk upacara hari pertama di semester baru. Namun tiba-tiba ada yang menepuk punggungku dari belakang, "Woi anak baru kelas Aksel! Sekarang kamu sombong ya. Apa karena bisa masuk kelas elit?" Aku menoleh ke belakang, ternyata sahabatku dari kelas X, gadis slengekan namun setia kawan, namanya Tiara Magdalena. "Eh elo Tia! Sorry, gue gak tahu lo ada di belakang gue" Aku mengangkat tangan ke udara kemudian ditepuk Tiara. "Haha, jadi gimana rasanya hari pertama lo masuk kelas Elit?" Ejek Tiara sambil merangkulku dari samping. "Gue aja baru sampai parkiran, belum masuk kelas nih. Nanti gue cerita waktu istirahat di kantin seperti biasa. OK? Ini kita sudah hampir telat, sebentar lagi upacara". Ini membuatku cemas. Aku tidak ingin membuat image pendatang baru yang terlambat. Aku sudah berniat berubah mulai hari ini, bahkan berjanji ke ibu. "Hah? Kenapa lo, Vi? Ini cuma upacara seperti biasanya kok. Dan biasanya kita kan santai masuk barisan dari kelas?" kata Tia. Ia mengingatkan tingkah kami ketika kelas X. "Iya tapi itu kan dulu say, sekarang gue pindah kelas Aksel, jadi harus menampilkan image anak kelas Aksel juga", balasku sambil melepaskan rangkulan Tiara. "Oke, sampai ketemu nanti di kantin. Gue buru-buru sekarang, daaah~" Aku langsung melesat pergi meninggalkan sahabatku itu. Tiara jadi bengong, wajar saja karena baru kali ini ia diperlakukan seperti itu olehku. Dulu kami selalu cekikikan bersama sambil jalan santai ke kelas dan tak khawatir jika sedikit terlambat. Tiarapun menghela nafas dan berjalan ke kelasnya sendiri. *** Kelas Akselerasi merupakan kelas paling Elit di sekolah. Program ini hanya dibuka tiap 2 tahun sekali. Kelas akselerasi dibuka tahun lalu sedangkan tahun ini merupakan tahun kelulusan para siswa tersebut. Siswa kelas tersebut benar-benar diseleksi karena lulusan kelas akselerasi menjadi ujung tombak nama baik sekolah. Tapi sesuai dengan julukannya, Kelas Elit, itu berarti juga tantangannya untuk bertahan di kelas itu tidak mudah terutama bagi yang kurang bisa beradaptasi. Beberapa mantan siswa yang tidak kuat bertahan di kelas tersebut menyebutnya Kelas Neraka. Ruang kelas Akselerasi berada di ujung lantai 2, sehingga agar tidak terlambat, aku perlu berlari sekuat tenaga menaiki tangga dan lorong kelas hingga nafasku terasa berat. Sesampainya di depan pintu kelas, terdengar suara para siswa sedang berbincang santai. Aku berhenti sejenak dan mengatur nafas. Degub jantungku tak beraturan, tapi aku sudah berlatih memilih kata-kata sapaan untuk teman-teman baru dan terutama untuk sang pangeranku. Aku menepuk lembut pipiku yang sudah sedikit tirus karena stres lalu aku tersenyum semanis mungkin sebelum mulai membuka pintu. "S-Selamat pagi!" Aduh, aku malah terdengar gugup padahal niat awal mau membuat kesan sebagai gadis yang ceria. Suasana kelas menjadi hening, seluruh pasang mata menatap tajam padaku. "Oh, jadi ini siswi baru yang pindah ke kelas kita? Standar sekali wajahnya" ucap ketus seorang cewek yang duduk di meja paling ujung depan. Ia dikelilingi siswa-siswi lainnya, seperti sosok seorang ketua geng. Seketika semua orang di kelas tertawa serentak. Aku berdiri terdiam di depan pintu karena shock mendengar ucapan cewek yang tidak ku kenal itu. Ini tak sesuai dengan bayanganku selama ini. Situasi ini lebih parah dari pikiran negatifku tentang kelas akselerasi. Aku belum tahu tempat dudukku dimana, ku harap salah satu dari mereka memberitahukan padaku. Aku harus menahan emosiku, oleh karenanya aku menunduk dan menggenggam erat tali tas selempangku. Kemudian cewek tadi mengangkat tangannya, seketika tawa para siswa berhenti. Iapun berjalan mendekatiku. "Hmm, kenapa kamu jadi diam? Oh iya, Selamat Datang di kelas Akselerasi. Namaku Soraya Manohara, semua siswa di kelas ini memanggilku Madam Aya, aku wakil ketua kelas disini", terang Soraya. Gadis bertubuh langsing, berkulit putih, berwajah cantik blasteran setinggi 170 cm itu sudah seperti seorang model internasional. Sedangkan Vivi hanya se-hidungnya saja. Dadaku terasa sesak atas intimidasi Soraya. Aku merasa ingin membalas tapi pikiran realistisku mengingatkan untuk tetap jaga image gadis feminim sesuai rencana yang selama ini ingin ku bangun. Namun hanya diam seperti ini juga tak memberikan solusi, aku memberanikan diri menatapnya dengan ramah. Ku harap kami bisa berteman baik. "N-namaku Vivi, salam kenal..." Lagi-lagi karena gugup mau menjaga image, aku justru tergagap. Meskipun begitu, aku berusaha tetap tenang dan tersenyum padanya, kemudian ku coba menjulurkan tangan untuk menjabat. Soraya hanya melirik tanganku di depannya, ia terlihat jijik, alisnya mengernyit kemudian ia membalikkan badan seperti tak menghiraukan aksiku. "Kursimu di pojok belakang bagian barat". Soraya berjalan kembali ke kelompoknya sambil mengibaskan rambut coklat berkilaunya dengan lengan berhias jam tangan rolex berharga belasan juta rupiah. Suasana ini menjadikanku canggung, dan dengan kesal hati, aku menarik kembali tanganku tadi. Rasanya sakit hati ketika dipermalukan di depan kelas ini tidak akan ku lupakan seumur hidup. Soraya memang cantik, sosoknya sempurna bagai malaikat tapi sikapnya bagai iblis. Najis rasanya berkenalan dengannya. Kemudian terdengar bel persiapan upacara "Teloleett!" "Oh, waktunya upacara guys", ungkap Soraya. "Yes Madam!" Ucap mereka serentak. Para siswa beranjak keluar kelas dengan dipimpin oleh Soraya yang berjalan seperti model. Dalam perjalanan, ia dengan sengaja menabrak pundakku. Aku sedikit terdorong tapi ku tahan diri ini agar tak melawan, hanya tertunduk dan diam saja. Aku tak ingin membuat image buruk di hari pertama ini. Kita lihat dulu situasi kelas ini, lalu menyusun rencana selanjutnya. Kemudian seorang siswi lain di rombongan itu juga menabrakku. "Oh, ternyata ada orang ya" Sudah jelas mereka melakukan itu dengan sengaja. Mereka berjalan tanpa merasa bersalah sambil cekikikan di luar kelas. Sabarlah Silvie Ratnasari, sikap mereka masih belum seberapanya preman pasar. Aku tak kuasa menggenggam erat tangan kanan yang sudah gemas mau memukul. Sebegitu kesalnya mendengar cekikikan mereka sambil membicarakanku dari luar kelas, aku meninju meja di sampingku. Bruk! "Aduh! Aww..." aku segera menarik kembali tangan kananku yang terasa panas dan memerah kemudian meniupnya. "Haha! Lo lucu banget, ngapain lo mukul meja kalau tahu itu pasti sakit", ucap seorang cowok yang baru masuk kelas. Rambutnya sedikit acak-acakan dan bajunya masih belum dimasukkan. Seperti penampilan siswa bermasalah, tapi aku meragukan mana mungkin orang berantakan seperti dia bisa masuk kelas Akselerasi yang spesial ini? Kata-kata si cowok itu terdengar seperti kata-kata ejekan akrab bagiku, jadi tanpa sadar aku mengendorkan kewaspadaan untuk menjaga image dan menjawabnya apa yang ada dipikanku. "Suka-suka guelah! Tangan-tangan gue! Ngapain lo yang rempong!" Balasku spontan. "Ups!" Begtu tersadar akan janjiku ke ibu, aku segera menutup mulut. Aku kan mau membangun image gadis feminim tetapi justru kelepasan menunjukkan sikap asliku ke cowok yang tak dikenal itu. Bisa jadi, hancurlah image yang baru mau dibangun di hari pertama sekolahku ini. Cowok itu bukannya marah tapi justru tersenyum. Ia mendekatiku kemudian tangan kanannya meraih tanganku yang masih memerah bekas meninju tadi. Sekejab aku membayangkan tanganku akan dicium layaknya seorang putri, jantungku sudah berdegub kencang. Aku jadi penasaran apa yang mau dilakukan cowok gagah itu. Si cowok itu kalau dilihat wajahnya tak terlalu buruk, cukup okelah, kesannya maskulin dengan jambang tebal rapi di wajah, badannya kekar atletis dan tingginya 175 cm seperti tipikal pemain basket. Kemudian tangan kirinya memegang pundakku, Aduh, aku mau diapain nih? Aku spontan menutup mata, tiba-tiba terbayang diriku dicium cowok itu seperti yang ada di film-film drama romantis Korea. "Minggir! Udah mau telat upacara nih!" Ungkap cowok itu sambil menggeser badan mungilku yang ringan ini. Aaaaaa, malunya sampai ubun-ubun, kukira cintaku akan bersemi di kelas akselerasi dengannya ternyata hanya salah pahamku saja. Aduh pikiran kotorku lenyaplah. Memang kenyataan kadang tak seindah harapan. Drama korea hanya ada di film saja, sedangkan yang ku hadapi sekarang adalah kenyataan. Rasanya memang pahit dan memalukan, tapi aku harus menelannya. Kekecewaan itu membuatku jadi kesal tapi cowok itu tak bersalah. Cowok itu meletakkan tasnya di meja belakang kemudian menatapku yang masih bengong di depan kelas, "Ngapain lo berdiri disitu kayak orang b**o? Tempat duduk lo yang pojokan itu" Ia menunjuk meja disebelahnya. Astaga, kesal sekali mendengar suara cowok ini yang tidak ada sopan sedikitpun dengan gadis cantik sepertiku. "Iya tau, bawel!" Balasku dengan kesal tapi langsung menutup mulutku lagi. Aku berjalan ke meja yang katanya milikku sekarang sedangkan cowok itu meninggalkanku sendirian di kelas tanpa sepatah katapun. Kini hanya ada aku sendiri di kelas itu. aku meletakkan tas di kursi. Tapi begitu ku perhatikan ternyata ada tulisan pena hitam yang dibaca "Orang gila duduk disini!" "Astaga! Ini ruang kelas atau neraka. Ya Tuhan! Baru hari pertama aja udah kayak gini perlakuan yang gue dapatkan! Gue bisa gila kalau gini terus selama setahun! gilaa..gilaa..", keluhku bermonolog sendiri di kelas yang sepi. Aku tak bisa berbuat apapun, saat ini sebagai pendatang baru, aku tak kenal siapapun dan tak ada bukti siapa pelaku yang mencoret kursiku. Aku menghela nafas panjang dengan pasrah kemudian segera keluar kelas karena sebentar lagi upacara akan dimulai. *** Karena terburu-buru membuka pintu kelas, aku terkejut di depanku ada sosok dewa ketampanan, sang pangeran telah tiba! Idolaku! Kyaaaa! Jantungku berdegup kencang, cowok itulah yang membuatku bersemangat menantikan hari pertemuan yang ditakdirkan ini. Meskipun perlakuan teman kelas tadi membuatku kesal setengah mati, tapi ku pikir asalkan bisa bersama sang pangeran pujaan hati, hal itu hanyalah hal sepele. Aku pertama kali jatuh cinta pada sang pangeran ketika melihatnya bercanda dan tersenyum memesona di kantin sekolah. Wajahnya tampan, tubuhnya gagah dan auranya terasa ramah, membuat hatiku langsung luluh. Apalagi Adit pernah membintangi sinetron hingga menjadi booming karena ketampanannya itu. Setelah itu, tak sedikit cewek di sekolah yang jatuh cinta padanya termasuk aku ini. "Tch! Minggir Bodoh! Ngehalangin jalan aja! Lu kira jalan ini punya kakek lu?" Ucapnya ketus dengan wajah kesal. Bagaikan tersambar petir di hari yang cerah, ternyata sosok pangeran pujaan hati yang diimpikan sebagai cowok yang ramah ternyata berbeda 180 derajat. Kata-katanya kasar pada orang yang baru ditemuinya. Mendengar itu aku langsung jadi shock dan terdiam di depan pintu, tidak percaya pada apa yang ku dengar barusan. "Minggir!" Ia mendorong tubuh mungilku dengan tangan kanannya yang kekar hingga membuatku hampir jatuh. "Heh! salahmu sendiri diem kayak orang bodoh" Mendengarnya membuatku sangat kesal, kali ini rasanya mau menangis. Ini pertama kalinya aku diperlakukan kasar oleh cowok yang ku sukai. Rasanya seperti aku telah dihianati oleh pikiranku sendiri. Aku melarikan diri keluar kelas menuju lantai 1. Bulir air mata mulai tak terbendung karena hatiku kecewa. Ketika aku menuruni tangga, di tengah jalan ada cowok yang tadi ditemuinya di kelas, ia seperti sedang menunggu seseorang. Kami saling menatap sejenak. "Lu kenapa lagi? Tangan lo masih sakit?" ungkap cowok itu dengan perhatian. Tapi aku tak menghiraukannya dan terus melangkah sambil menutup wajahku yang mulai dialiri air mata. Segera tangan cowok itu menggenggam lenganku dan menghentikan langkahku di tengah tangga. "Tunggu! Usap dulu air mata itu. Lo gak mau jadi bahan ejekan di hari pertama lo masuk semester kan?" Sebenarnya aku sudah tak peduli lagi dengan hal itu. Apalah gunanya image, aku sudah terlanjur merasa tak berharga, tak ada yang memperdulikanku di kelas itu. Aku terlalu kecewa dengan kenyataan pahit yang dihadapinya di kelas baru tersebut. Padahal selama ini aku dikenal tomboy, tapi entah mengapa kali ini aku tak dapat menahan air mataku. Cowok itu mengambil saputangan dari saku kanannya kemudian menghapus air mata di pipiku dengan lembut. "Nama gue Leo, Leonardo Ramadhani. Sekedar info buat lo, kelas Akselerasi bukan untuk orang yang bermental lemah, disana adalah neraka. Hari pertama lo aja udah kayak gini, gue gak yakin apa lo akan cukup kuat bertahan disana sampai selesai" Mendengar kata-katanya, aku merasa disupport sekaligus jadi tersinggung, tapi hal itu membuatku sedikit lega. Ternyata tidak semua orang di neraka bernama kelas Akselerasi itu berisi orang-orang yang buruk akhlaknya. Masih ada orang seperti Leo di dalamnya. "Hmph! Gue bakal buktikan kalau gue bisa bertahan di kelas neraka itu!" Aku segera mengambil saputangan Leo yang masih menempel di pipi. Aku segera turun dan berlari ke barisan upacara. "Ah, gue pinjem saputangan lo, besok gue balikin". Leo tersenyum melihat sikapku yang terlihat natural daripada sebelumnya, "Bilang aja makasih, apa susahnya sih, dasar cewek aneh. Heh" Kemudian dari arah lantai 2, sang pangeran turun, "Heh, gue baru tahu lo bisa senyum cuma karena cewek macam itu? Dasar gak guna. Yah, cewek bodoh ketemu sama cowok kotor. Hah! Cocok banget!" Iapun melenggang dengan sombongnya meninggalkan Leo yang masih berdiri di tangga seperti tak menghiraukannya. Tangan Leo menggenggam erat, matanya dipenuhi amarah menatap Adit yang melewatinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD