Begitu Adit turun dari tangga dan menunjukkan wajahnya di lapangan upacara. Seketika terdengar teriakan ricuh para cewek hingga menggema untuk menyambut Adit seperti para fans yang menjumpai artis idolanya. Pak satpam dan guru-guru sampai turun tangan menenangkan para fans itu. Dulu aku juga jadi salah satu cewek yang ikut berteriak seperti itu setiap melihat Adit. Tapi hari ini berbeda, aku lebih tahu sifat sebenarnya dari Adit yang tak diketahui para cewek yang tergila-gila itu.
Hatiku masih merasa kesal mengingat perlakuan kasar Adit tadi. Namun entah kenapa ketika Adit melambaikan tangan dan tersenyum ramah pada para fansnya, hatiku langsung kembali luluh.
"Ah, gapapa deh galak dikit, cakep gitu orangnya. Yah, tiap orang punya kelemahan dan kelebihan masing-masing kan" ucapku bermonolog dalam hati.
Dengan begitu, kini aku kembali menjadi fans Adit, dan melupakan perlakuan kasarnya padaku beberapa menit lalu. Senyum Adit sudah seperti obat pelupa jiwa, perhatianku teralihkan pada kesempurnaan cowok itu yang bagai pangeran dari surga.
Upacara bendera berakhir khidmad, namun sebelum para siswa kembali ke kelas masing-masing, wakil kepala sekolah menyalakan mikrophon di podium.
“Mohon para siswa tetap di tempat. Saya ingin memberikan informasi membahagiakan. Salah seorang siswa kita menjuarai lomba [Youth Innovation] ketika liburan sekolah kemarin. Dia membuat produk kimia yang dapat menguraikan sampah plastic tanpa limbah. Karya ini dapat menjadi solusi sampah dunia yang selama ini menjadi masalah semua negara. Karyanya telah diakui dan akan dipatenkan hingga ke ranah Internasional”
Para siswa tentu saja terkagum dan jadi mulai ramai setelah mendengar informasi tersebut. Mereka penasaran siapakah siswa yang dimaksud oleh wakil kepala sekolah tersebut.
“Baiklah demi mengefektifkan waktu yang ada, saya minta yang bersangkutan maju ke podium ini, Tolong berikan sepatah-duapatah kata untuk menyemagati teman-teman lainnya agar bisa ikut berinovasi dan membuktikan bahwa yang muda bisa berkarya”
Para siswa saling memandang, karena wakil kepala sekolah tidak menyebutkan nama secara spesifik. Kemudian dari kerumunan siswa di lapangan tersebut, seorang siswa melangkah maju ke podium. Seluruh mata tertuju padanya. Ia adalah Aditya Hadikusuma, sang pangeran sekolah!
Kemudian dalam sekejab para fans perempuan langsung berteriak histeris menyemangati sekaligus kagum akan prestasi idolanya itu. Sedangkan beberapa siswa pria mengangguk menganggap itu bukan sesuatu yang mengejutkan karena mereka mengetahui bahwa ibu Adit merupakan Profesor Kimia di Universitas Negeri ternama. Jadi dirasa wajar jika anaknya juga sehebat itu dalam hal kimia.
Adit naik ke podium, sedangkan wakil kepala sekolah mundur beberapa langkah setelah mempersilakan Adit. Suasana masih ramai ditambah teriakan histeris beberapa siswi, Aditpun melepaskan mikrofon dari tiang. “Ehm”
“Kyaaa!” satu deheman saja sudah dapat membuat para fansnya teriak histeris. Guru-guru membantu menenangkan para fans itu hingga kuawalahan.
“Setiap manusia memiliki kelemahan dan kelebihan, termasuk saya, kamu, dan kita semua.” Setelah menyelesaikan kalimatnya, Adit diam sejenak, sedangkan beberapa fans menahan diri dan segera merekam pidato itu dalam bentuk video untuk diunggah ke channel media sosial pribadi masing-masing.
“Motivasi adalah akar dari semua kesuksesan. Ia mendorong kita agar lebih jauh untuk melewati batasan zona nyaman kita dan melihat apa lagi yang dunia ini miliki untuk kita. Melangkahlah! Berinovasilah! Lalu jadikan dunia ini menjadi lebih baik lagi”
“Waaa!” Kali ini para siswa kagum mendengar pidato singkat dari Adit. Aditpun turun dari podium, kembali ke barisan kelas akselerasi, tentu saja ia disambut dengan tepukan tangan dan teriakan histeris para fansnya termasuk aku. Kemudian wakil kepala sekolahpun menutup upacara bendera pada hari itu dan membubarkan para siswa. Disana sini masih terdengar berbagai pujian yang ditujukan kepada Adit. Ia menjadi pusat perhatian lagi.
Siswa kelas akselerasipun juga kembali ke kelas, Aku perlahan mengikuti mereka di belakang rombongan. Tiba-tiba punggungku ditepuk, “Hey!” Ternyata itu Tiara, ia menghampiriku yang terlihat terasingkan dari rombongan kelas akselerasi.
“Eh lo Tiara. Kok lo kesini? Ruang kelas lo kan di sebelah sana?”
“Gapapa kan? Cuman mau ngobrol sama lo. Pelajaran juga belum mulai. Santai say.”
“OK, tapi lo jangan bolos lagi Ti. Kita udah kelas XI, sudah mendekati ujian kelulusan. Jadi jangan ajak-ajak gue untuk bolos ya” Ku katakana hal ini karena dari hawa-hawanya, Tiara mau mengajak bolos seperti yang biasa dilakukan ketika kami kelas X.
“Haha, ya gak lah. Gue juga sadar diri kali Vi. Kalau bolospun, tanpa ada elo, gak asik, Vi”
“Bisa aje lu Ti. Ini tahun terakhir kelas akselerasi di sekolah, jadi gue gak mau membuat citra yang buruk karena bolos.”
“Iye-iye, gue tau. Ngomong-ngomong. Hebat juga ya si pangeran, gak cuman ganteng dan gagah, tapi juga cerdas dan kaya. Haha. Gak salah kalau hampir semua cewek di sekolah jatuh cinta sama dia. Iya kan Vi?”
“Itu sih sudah pasti lah, dia kan [School Idol] kita yang sempurna....” Tiba-tiba aku terdiam. Aku teringat perlakuan dan kata-k********r Adit pagi ini. Hal ini membuatku menjadi murung.
“Kenapa lo? Kok tiba-tiba diam? Biasanya menggebu-gebu mengungkapin kesempurnaan si pangeran, kok sekarang malah gini? Ada apa Vi?”
“Gak ada apa-apa, gue cuman tiba-tiba ingat sesuatu...ah, udahan dulu ya say. Gue mau masuk ke kelas. Temen-temen kelas gue udah pada naik tuh. Kita lanjut ngobrolnya nanti di kantin aja ya. Daaah” Aku berjalan cepat agar dapat mengejar ketertinggalan dari teman kelas yang mendahuluiku.
“OK, sampai ketemu ntar di kantin, Vi” Tiara melambaikan tangan dan berjalan ke kelasnya.
***
Setibanya di luar kelas akselerasi, aku mendengar tawa candaan dari dalam. Ini seperti déjà vu. Namun tentu saja topik pembicaraannya tentang prestasi Adit yang diumumkan wakil kepala sekolah tadi. Aku mengambil nafas panjang sebelum membuka pintu. “Baiklah kita mulai lagi. Kuatkan mentalmu Silvie, gue pasti bisa!” Aku bermonolog untuk mensugesti diriku. Selanjutnya aku mengepalkan tangan, mengumpulkan keberanian sekali lagi.
Begitu aku membuka pintu, semua orang terdiam dan menatap ke arahku. Ini seperti kejadian sebelumnya, hanya saja kini siswa kelas itu telah lengkap, 11 orang dan ada sang pangeran yang menatapnya dengan dingin seperti merasa terganggu. Tapi aku sudah menduga perlakuan tersebut dan terus cuek saja berjalan ke kursiku tanpa membalas tatapan mereka.
Kamu bisa menghadapi ini Vi, anggap saja mereka tidak ada, atau seperti pohon. Ya, anggap saja mereka pohon. Pohon tidak mengigit kan.
Mereka masih menatapku sampai aku duduk di kursi. Rasa cemas ini membuatku gugup. Mereka seperti predator yang sedang mengobservasi mangsa, siap mencari kesalahannya untuk dibully.
Akhirnya aku duduk di kusi dan mengeluarkan buku tulis dari tas selempangku. Tatapan mereka semakin tidak terasa nyaman baginya. Aku tak tahan lagi, ada apa siih dengan mereka semua. Aku membalas tatapan mereka, “Apa? Ada sesuatu di wajahku?” Aku masih berusaha menanggapi dengan sopan.
“Pfft, haha!” seseorang siswa di bagian meja depan mulai tertawa dan disusul oleh yang lain, bahkan Adit tersenyum seperti mengejek padaku.
“Ada apa?” Aku jadi penasaran. Ku coba mengusap wajah, khawatir jika ada sesuatu yang salah dengan wajahnya hingga membuat mereka tertawa. Atau mungkin ada sisa bekas air mata tadi pagi? Tapi setelah ku periksa, sepertinya tak ada yang aneh, “Kenapa sih pada ketawa?” tanyaku lagi.
Leo yang tadinya tiduran di meja, tiba-tiba berdiri. Raut wajahnya serius, “Coba lo berdiri” titahnya singkat. Ada apa dengannya sampai wajahnya terlihat serius seperti itu? Aku coba menuruti perintahnya, aku berdiri. “putar badan” titah Leo selanjutnya.
“Apaan sih? Kenapa pake berputar segala? Mau ngapain?”
“Gak usah banyak bacot. Udah, nurut aja kata-kata gue!”
Wah kesal juga, tapi aku tetap balik badan. Kemudian suara tawa di kelas mulai bergemuruh lagi. “Apa ada sesuatu di belakang bajuku?” tanyaku pada Leo. Kenapa sampai mereka tertawa puas seperti itu?
Tiba-tiba Leo menarik lenganku dan menyeret keluar dari kelas, “Ikut gue sebentar”
“Eh tunggu, Kenapa sih Le? Apa yang ada di belakang gue?”
“Diem. Nanti aja ngomongnya” Kami berduapun melesat pergi ke arah kamar mandi. Leo menunggu di luar, “Masuk. Lo cek aja sendiri” Ucapnya, ia terdengar kesal.
Aku mengangguk penuh penasaran, kemudian masuk ke kamar mandi wanita, Beberapa saat kemudian aku keluar kamar mandi dengan kesal. “Ini siapa sih yang iseng naruh permen karet di kursi gue? Masih membekas nih di rok gue. Kalo gue tau orangnya, bakal gue HIH!” Aku meremas kedua tangan karena kesal sampai ubun-ubun.
“Gue gak tau siapa, tapi yang jelas ada 4 orang yang pertama tertawa setelah lo duduk di kursi. Itu berarti kemungkinan mereka sudah tau kalau di kursi lo ada permen karetnya.”
“Arrgh! Sial banget gue hari ini. Mana permen karetnya bau jigong pula. Ih jijik banget!!” Aku kembali mengusap bekas permen karet yang menempel di rok.
“...Ya beginilah kelas akselerasi. Pahit memang, karena lulusan kelas akselerasi mendapat jaminan diterima di universitas negeri. Wajar bila ada satu dua yang berusaha saling menjatuhkan mental” Ucap Leo.
“Emang ya...kelas ini memang pantas dinamakan kelas neraka seperti rumor yang beredar! Bagi orang awam, bisa berada di kelas akseleerasi mungkin kelihatan seperti surga dengan keuntungan segudang” Balasku. Leo tersenyum lalu tiba-tiba mengacak rambutku.
Aku yang masih merasa kesal, segera membuang tangan Leo. “Ish! Apaan sih lo. Dandanan gue bisa rusak tauk!”
“Gue yakin lo bakal bisa menangani kelas neraka ini. Beda dengan pendahulumu yang akhirnya sampai pindah sekolah”, Leo mengucapkannya dengan nada serius.
“Entahlah Le, yang penting gue bakal berusaha yang terbaik. Nyokap bokap gue udah kepalang seneng banget pas tau gue diundang masuk kelas akselerasi tanpa bayar biaya sekolah. Kalau gue sampai berhenti di tengah jalan gara-gara prank macam ini, itu artinya gue mengkhianati kepercayaan orangtua gue...dan gue gak mau itu terjadi”
Leo menghela nafas, “Lo harus bersyukur masih bisa ada kesempatan untuk bahagiain ortu lo. Jangan sia-siakan kesempatan ini.”
Dari kata-kata Leo itu, sepertinya ada sesuatu hal yang terjadi di keluarganya. Tapi aku tak berani menanyakannya karena takut menyinggung. Lagi pula kami baru kenal hari ini dan belum tahu sifat asli masing-masing sepenuhnya. Aku mengangguk setuju kata-katanya.
“OK. Ayo kita balik ke kelas. Pelajaran pasti sudah dimulai.” Leo berjalan duluan.
“Tunggu Le...” Aku mengekor di belakangnya. “I-itu...yang tadi, makasih ya”
“...Lain kali kalau ada masalah, bilang aja, sapa tau gue bisa bantu. Kelas kita memang spesial. Gue yakin lo pasti tau sebelum memutuskan untuk pindah ke kelas ini”, ujar Leo
Aku mengangguk, meskipun kenyataan yang ku terima lebih parah dari bayanganku sebelumnya. Bahkan baru hari pertamaku di kelas itu saja, sudah membuat darahku mendidih sejak pagi.
“Oh iya, Le, tadi kamu bilang pendahuluku kan. Siapa dia, bencana apa yang ia dapatkan dari kelas neraka itu sampai memutuskan untuk pindah sekolah?” Tanyaku penasaran. Leo tak menjawab, ia seperti pura-pura tak mendengar dan tetap terus melangkah. “Halloo. Viivi bertanya pada saudara Leo”
“...kita sudah sampai di depan ruang kelas, jangan berisik” ucap Leo. Seperti berusaha menghindar dari pertanyaan. Apakah seburuk itu perlakuan bully yang didapatkan pendahulu sebelum aku?
Leo mengetuk tiga kali kemudian membuka pintu kelas. Di dalamnya ternyata sudah ada seorang guru wanita cantik yang sedang dalam keadaan hamil besar, kira-kira 7 bulan. “Kalian berdua kemana aja? Ibu baru mulai presensi. Masuk-masuk”. Suaranya terdengar ramah dan senyumnya manis sekali. Sepertinya ia berusia 28 tahun. Namanya Bu Sumiyati, panggilannya bu Umi, guru wali kelas Akselerasi sekaligus mengajar Fisika.
Leo masuk dan aku di belakangnya. Leo langsung berjalan menuju di kursinya. “Lah, kita gak bilang alasan telat masuk ke guru? Langsung duduk gitu aja?” Tanyaku dalam hati. Leo tidak menjawab pertanyaanku, tapi akhirnya aku pasrah mengikuti Leo yang sudah berpengalaman di kelas akselerasi selama ini.
Ketika berjalan kembali ke kursi, langkahku dihadang seonggok kaki seorang siswa yang sedang pura-pura tiduran. Aku menghentikan langkah sejenak, menatap ke cowok itu, kemudian menginjak sepatu yang menghalangi jalanku.
“Aww! Apaan sih lo. Sakit tau!” Teriak cowok itu, tanpa merasa bersalah. Padahal aku menginjaknya tanpa tenaga.
“Heeey. Kevin, ada apa teriak-teriak?” Tanya bu Umi.
“Ini bu, kaki saya diinjak cewek kurang ajar ini. Kalau kaki saya patah dan saya gak bisa ikut olimpiade lari gimana? Apa dia bisa ganti rugi?” Ia merasionalkan kesalahannya sendiri dan melimpahkan tanggung jawab padaku. Cowok ini tidak gentle sama sekali.
Tch. Kurasa aku pernah mendengar namanya, Kevin Julio Batunaga, siswa yang ada di kelas akselerasi. Ternyata dia adalah atlet lomba lari yang sudah beberapa kali menjuarai perlombaan dan bahkan menang olimpiade remaja tingkat provinsi dan sedang bersiap ke tingkat Nasional. Meskipun begitu, aku tetap merasa tidak bersalah karena Kevinlah yang memulai.
“Dia duluan yang usil bu. Siapa suruh menghalangi jalan gue. Emangnya ini jalan kakek lo apa?” Aku sudah kesulitan menahan diri sejak tadi. Kali ini kurasa aktingku aku cukupkan dulu sampai disini, ternyata tidak mudah menjadi gadis feminim. Sekarang aku akan jadi Vivi yang apa adanya seperti biasa. Besok aku bisa coba lagi jadi sosok feminim.
Kevin terlihat kesal. Ia beranjak dari tempat duduknya. Tingginya kira-kira 176 cm dan badannya atletis dengan rambut model Emo, sedangkan aku hanya se dagunya saja. “Lo berani sama gue?” Ucap Kevin dengan kasar menantangku.
***