Chapter 4

2232 Words
“Berani! Emang kenapa? Gue gak ada salah sama lo. Lo yang mulai duluan! Beraninya gangguin cewek. Lo cowok apa cewek sih?” Seketika suasana memanas. Teman-teman di kelas seperti melihat pertunjukan seru karena selama ini tidak ada yang mau bermasalah dengan si atlet tempramental itu. Baru akulah satu-satunya yang berani menentang Kevin di kelas itu dan aku hanya seorang gadis biasa. “Heyy, sudah-sudah. Kalian ini kan teman satu kelas. Hal sepele seperti ini tidak perlu diributkan panjang lebar. Ayo kalian bersalaman, saling memaafkan” Ucap bu Umi menengahi kami. Kevin yang pertama menjulurkan tangan untuk berjabat, tapi ia membuang muka, tak mau melihat ke arahku. Akupun menirunya. Kami akhirnya berjabat tangan tapi Kevin menggenggam erat seperti masih menyimpan dendam padaku.  Tentu saja aku tak tinggal diam, aku membalas genggamannya menjadi lebih erat. Meskipun aku perempuan, tapi kekuatanku tidak selemah orang biasa. “Mau sampai kapan kalian bersalaman? Pelajaran mau dimulai” Ucap Leo yang mengalihkan perhatian kami. Kemudian kami berdua melepas jabatan tangan dan kembali ke kursi masing-masing dengan perasaan kesal. “Udah, yang kayak gitu gak usah diladenin” Bisik Leo. Aku menghela nafas panjang dan mulai fokus pada pelajaran yang diberikan Bu Umi. “Baiklah anak-anak, seperti yang telah kalian ketahui, kelas kita kedatangan siswa baru, namanya Silvie. Ayo kita sambut dengan gembira. Vivi, silakan perkenalkan dirimu pada teman-teman barumu di kelas akselerasi.” Aku berdiri, memang terasa gugup. Tapi... “Astaga, gue udah nyiapkan pidato perkenalan diri untuk hari ini sampai satu paragraf dari semalam. Kok sekarang gue malah ngeblank ya. Duh mati gue, gara-gara banyak hal gak keduga pagi ini. Sial, bener-bener gak inget gue! Terserah lah, gue gak butuh image dari orang-orang kayak mereka ini.” Keluhku dalam hati. “Nama saya Silvie Ratnasari. Biasa dipanggil Vivi. Hobi bermain dan membaca novel. Mohon bantuan dan bimbingannya selama di kelas akselerasi ini”. menurutku perkenalan seperti ini tidak terlalu buruk. “Ooh, Novel genre apa yang paling kamu sukai, Vi?” Tanya bu Umi. “Petualangan dan sport bu” Jawabku dengan spontan. “Pfft. Dasar tomboy” Ucap Kevin sedikit berbisik tetapi masih dapat terdengar satu kelas. Beberapa siswa menertawakanku karena hal itu. Aku memang merasa kesal tetapi menahannya agar tidak membuat masalahku tambah runyam. “Sudah-sudah, tenang semuanya. Kita harus menghargai pilihan dan kesukaan orang lain. Dan Kevin. Bu Umi tidak suka sikapmu seperti itu. Kalau hobinya tidak sesuai denganmu, jangan mengejeknya, lebih baik diam agar tidak ada orang yang tersakiti. Apa bisa dimengerti, Kevin?” “Bisa Bu~”, Ucap Kevin dengan sedikit malas seperti tidak meghiraukannya. Kevin melihat ke arahku. Tentu saja aku membalasnya dengan menjulurkan lidah untuk mengejeknya karena dimarahi oleh bu Umi. Kevin kesal lalu membuang muka, dan pura-pua tiduran di mejanya. “Baik, Terimakasih Vivi. Silakan duduk kembali. Nah, Ibu harap kalian semua yang ada di kelas ini bisa jadi teman yang saling mendukung dan sukses bersama dikemudian hari. Baiklah anak-anak, sekarang kita mulai pelajaran pertama, silakan buka buku Fisika halaman 3. Kita akan mempelajari materi Gravitasi” Baru setengah dari jam pelajaran, aku sudah merasa lelah dan stres. Tingkat pembelajaran di kelasi itu ternyata memang lebih cepat dibandingkan kelas biasanya. Ini hari pertamaku tapi rasanya cukup kesulitan mengikuti pelajaran sedangkan siswa lainnya sepertinya bisa fokus mengikuti dan menjawab soal super kompleks yang diberikan bu Umi pada mereka. Bahkan hanya dengan dituliskan rumus di depan papan tulis saja, mereka semua bisa langsung menerapkannya pada soal yang rumit. Termasuk Leo yang kukira sebagai siswa yang sedikit nakal atau berandalanpun bisa menjawab soal sulit yang ditanyakan oleh Bu Umi. Aku benar-benar kuawalahan dan berharap pelajaran segera berakhir lalu aku bisa mengistirahatkan otakku yang sudah overload ini di kantin sekolah. Karena terlalu pusing dalam mengikuti pembelajaran, ketika aku melihat buku tulis fisikaku, huruf-huruf di dalamnya seperti menari-nari di tengah penderitaan yang kurasakan. Jika aku berada di dunia komik, kepalaku mungkin akan mengeluarkan asap karena terlalu sulit bagi otakku untuk memproses pelajaran itu.  Untuk mengalihkan otakku yang mendidih, sesekali aku mencuri pandang ke Adit yang duduk di depan. Melihatnya dari belakang saja sudah bisa membuatnya sedikit rileks dan senyum-senyum sendiri. Tapi hal itu tak bertahan lama karena pengajaran Bu Umi begitu cepat dan ditambah dengan tumpukan banyak soal-soal latihan yang membuatnya stres lagi sehingga tidak sempat berkhayal bahagia. Hal ini membuatku bertanya-tanya dalam hati, apakah nantinya aku akan bisa bertahan dengan model pembelajaran di kelas akselerasi yang ekstraordinary, ditambah dengan siswa-siswanya yang spesial itu? Teeet! Teeet! Bel tanda istirahat berbunyi. Bu Umi menutup pelajaran, “Baik anak-anak, waktunya istirahat. Ibu kasih PR kerjakan soal di halaman 17. Besok kamis kita akan bahas bersama. Sekarang kalian boleh istirahat”, kemudian beliau keluar kelas. Beberapa siswa ikut keluar namun ada juga yang membawa bekal untuk dimakan di kelas. Pada dasarnya ku sadari bahwa terdapat 4 kelompok siswa di kelas tersebut, [Fasionable Madam] 4 siswa, [Prince Entourage] 3 siswa, [On My Own] 2 siswa, [The Avoidable One] 2 siswa. Aku termasuk dalam kelompok yang terakhir bersama Leo. Aku meletakkan kepala di meja dan mengatur pikiranku yang baru saja menerima beban begitu berat. Selama ini aku selalu menyepelekan pelajaran karena meskipun tanpa belajarpun nilaiku bisa lebih tinggi daripada teman yang belajar mati-matian, bahkan kemarin aku bisa mendapat ranking 3 besar. Namun kali ini terasa berbeda, mungkin kelas akselerasi memang merupakan kelas yang paling tepat bagiku untuk mengembangkan diri di tengah persaingan siswa lain yang sama hebat dengannya. “Aduuh...ampun gusti...ini gue lagi belajar atau dihajar sih. Kepalaku rasanya mau pecah” keluhku. Leo mendengar keluhanku lalu mendengus. “Huff, tenang aja. Lama-lama lo pasti akan terbiasa. Kelas akselerasi ini memang seperti kita diajak berlari kencang, kalau gak bisa ngikutin sistemnya ya lo akan jauh tertinggal” Aku yakin Leo mencoba menyemangatiku. “Gue gak yakin Le. Susah amat njir pelajarannya. Entah kok gue bisa dimasukkan ke kelas ini” Sanggahku. “Tapi dengan lo bisa dipilih untuk masuk ke kelas ini berarti kemampuan lo gak jauh dari kami yang ada disini, lo cuma butuh waktu buat adaptasi aja” Ucap Leo sambil membereskan buku, kemudian beranjak pergi. Aku tersentak, “Mau ke kantin? Gue ikut Le”. Leo terus melangkah tanpa mempedulikanku. Akupun segera mengambil bekal dari dalam tas kemudian menyusul Leo. “Duh Le, jalannya jangan cepet-cepet dong” “Kalau baru segini aja lo gak bisa ngikutin, ya gue tinggal. Asal lo tau, diem-diem gini, gue tu orang yang sibuk” Leo terdengar sok sibuk, Aku tak tahu perkataan itu antara serius atau bercanda, memangnya sesibuk apa sih anak ini. “Idih gitu amat sih. Emangnya lo sibuk apa sih Le? Waktu istirahat kan 30 menit, itu cukup lama untuk melakukan banyak hal.” “Haah, ngapain juga gue cerita sama orang yang gak paham status di sekolah” Leo berhenti di persimpangan. “Lo mau ke kantin di sebelah kiri kan? Gue ada urusan ke kanan. Daah” Leo melenggang pergi sambil melambaikan tangan tanpa menoleh ke arahku. “Lah ni bocah. Sok sibuk banget sih jadi orang.” Aku tak mau peduli lagi dengannya. Aku belok ke kantin, namun baru beberapa langkah, aku menghentikan langkah dan membalikkan badan badan. “Tunggu dulu, kantin kan ada di sebelah kiri, ngapain dia ke kanan, mau kemana dia?” ku coba memandang punggung Leo yang kekar seraya berjalan semakin jauh. “Dor!” Tiba-tiba ada yang mengagetkanku dari belakang. Tentu saja aku terkejut, lalu segera menoleh, ternyata itu ulah Tiara. “Astaga! Kaget gue cuy. Iseng banget sih lo. Gue cubit nih” “Haha! Aduh. Habisnya lo juga sih, bukannya masuk kantin, malah berdiri ngelamun di depan pintu” “Siapa juga yang ngelamun. Gue lagi lihat orang yang jalan ke arah sana. Eh lo tau gak Ti, di sebelah sana itu ada apa sih? Setau gue gudang doang kan?” “Ya disana itu gudang tapi sebelahnya juga ada ruang OSIS.” “Oww gitu. Baru tau gue kalo sekolah kita punya OSIS” Dari dulu aku memang tidak pernah mau berurusan dengan hal yang merepotkan. Bagiku, melibatkan diri dengan orang-orang seperti itu hanya akan membuang waktu. “Elo ya. Udah lebih dari setahun jadi siswa di sekolah ini, masa gak tau. Payah lu” “Ya maap. Gue gak suka yang ribet-ribet. Udah lah cuy. ayo makan siang aja. Gue udah laper banget nih. Keroncongan, udah daritadi meronta-ronta” Aku mendorong Tiara masuk ke dalam kantin sekolah. “Lah emangnya lo ngapain aja tadi di kelas? Sampai keliatan lebih lemes dari biasanya gitu” “Ceritanya panjang. Ntar gue pinjem telinga lo yak” “OK. Apa sih yang enggak kalo buat sobat gue satu ini? Ceritain aja ke gue. Gue pendengar yang baik kok” “Iye...iyee” Kami berdua mendapat kursi kosong yang saling berhadapan kemudian berbincang santai sambil menyantap makan siang. Aku menceritakan kejadian hari itu pada sahabatku satu-satunya. Tiara mendengarkan dengan seksama kemudian raut wajahnya mulai berubah kesal. “Astaga! Kelas akselerasi segitu parahnya ya. Gue emang pernah denger kalau bertahan di kelas aksel itu berat banget. Gue kira karena pelajarannya doang. Ehh ternyata itu juga karena penghuninya yang kayak setan semua” Ungkap Tiara menggebu-gebu. “Ya gak semua siswa sih. Gue dapet kenalan cowok yang baik disana, namanya Leo. Kalau gak salah Leonardo Ramadhani deh nama panjangnya” Kucoba menentang tanggapan Tiara agar tak salah faham karena memang masih ada orang yang baik di kelas neraka itu. “Owwh, si wakil ketua OSIS itu ya” Aku yang sedang meminum es teh tiba-tiba tersedak karena terkejut mendengar penjelasan Tiara, “Uhuk.Wait. Apa lo bilang? Coba ulangi” “Iya, Leonardo Ramadhani dari kelas Akselerasi itu wakil ketua OSIS sekolah kita tahun ini. Elo beneran gak tau ato pura-pura b**o sih?” Tiara menoyor kepalaku. “Gue baru tau. Pantes aja tadi dia bilang kalo dia orang yang sibuk. Dia juga bilang kalo gue gak tau status. Gue kirain maksudnya status keluarga ato apa yak, ternyata status dia yang tinggi di sekolah” “Elo itu ya Vi. Kebangetan kalo gak kenal OSIS sekolah sendiri. Gue yang sering bolos ini aja tau. Ini udah semacam pengetahuan umum di sekolah tauk” “Ih, iya...iya~ bawel banget sih” Ini pertama kalinya aku mendengar hal ini. Ternyata Leo adalah wakil ketua OSIS. “Pantas saja dia baik sama gue. Bisa jadi karena dia perlu jaga image sebagai anggota OSIS, wakil ketua pula” “Entahlah kalau itu Vi, tapi setau gue dari rumor yang beredar. Leo memang orang yang ramah dan perhatian meskipun kadang bisa cuek dan dingin kalo pas lagi sibuk” “Nah kayaknya info itu bener. Dia tadi sampai repot-repot nolongin gue pas lagi di-prank sama setan-setan di kelas. Tapi begitu waktu istirahat, dia langsung berubah cuek karena katanya lagi sibuk kayak gak mau diganggu gitu” “Mungkin aja gitu. Gue sih gak kenal-kenal amat sama dia Vi. Cuma pernah denger-denger aja dari orang lain” “Ya, itu lo masih mending. Lah gue malah gak tau apa-apa” “Itu sih elo aja yang kebangetan Vi” Kami melanjutkan canda tawa sekaligus menceritakan banyak hal dari hasil liburan semester lalu meskipun kami sudah sering mengirim kabar lewat telepon atau chat WA. Tak terasa waktu istirahat sudah hampir habis. Tiba-tiba terlihat geng [Fasionable Madam] datang menemui kami. “Hei, ternyata kamu disini ya” Aya dan gengnya berdiri di belakangku. Aku menoleh sesaat kemudian mencuekannya, tiba-tiba aku merasa kesal setelah melihat wajah Aya. “Iya gue disini. Ada perlu apa?” balasku dingin. “Heh, Tomboy. Elo itu lagi dihadapannya madam Aya. Yang sopan dikit dong, dasar cewek gak tau etika” Ucap seorang anak buah Aya, dia gadis berambut pendek dengan wajah ketus, namanya Dinda Holuloh. “Elo gak lihat gue lagi asik makan? Yang gak punya etika itu siapa? Ganggu orang makan aja.” Balasku kesal. “Udah, to the poin aja. Gue gak suka basa-basi sama orang kayak kalian” “Elo dinasehatin baik-baik malah ngelunjak ya” Tiba-tiba Dinda menarik pundakku dengan kasar. “Aw, apaan sih lo. Kasar banget!” Balasku. Tiara segera berdiri lalu mendekat. Tiara terlihat sangar, kemudian menunjuk ke arah Dinda. “Jangan bikin ulah sama sahabat gue kalau gak mau sengsara di sekolah ini. Paham?” Tentu saja Tiara tak terima melihat sahabatnya diperlakukan kasar seperti itu. “Dasar preman, beraninya ngancam orang yang gak berdaya” Ucap Dinda.sepertinya ia merasa takut dengan perkataan Tiara yang terdengar serius. “Elo duluan kan yang mulai!” Bentak Tiara. Semua orang di kantin menatap ke keributan yang kami ciptakan. Giliran Aya maju bermaksud menengahi, “Stop! Aku tu sebenernya males banget ngobrol sama orang bar-bar yang kasar” “Kalo gitu, pergi aja sana, kita juga gak mau ngobrol sama lo” Aku menyedekapkan tangan. Tandanya aku menolak mereka secara terang-terangan, ini juga sebagai tanda bahwa aku bukan orang yang mudah ditindas begitu saja. “Aku cuma mau peringatkan sesuatu ke kamu Vi”, Aya mendekat, ia membisikkan sesuatu ke telingaku, “Adit itu targetku dari dulu. Jangan pernah sampai aku tau kalau kamu deketin Adit. Paham?” “Idih, lo kira dia barang jualan? Elo gak ada hak dalam hal itu. Emangnya lo siapanya dia?” Aku  merasa tersinggung sebagai salah satu fans pangeran. “Heh, aku beri tahu kamu suatu rahasia. Sebentar lagi aku akan resmi jadi calon tunangannya Adit” Ungkap Aya dengan bangga. Sedangkan para pengikutnya berakting ikut bahagia mendengarnya. Apa cewek ini lagi halu ya? Bicaranya meracau. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD