“Pfft. Lo lagi ngimpi di siang bolong ya?”
Aku merasa geli mendengar ocehan Aya yang terdengar sombong sok berkuasa itu.
“Asal kamu tau ya, perusahaan papaku itu sedang bekerjasama dengan keluargannya Adit. Papaku sudah menjanjikan akan membuat kami berdua tunangan. Dan papaku selama ini gak pernah bohong padaku”
“Haaah”, Aku menghela nafas panjang.
“Tapi itu baru rencana, belum kejadian kan? Orang yang sudah sampai ke tahap janur kuning melengkung aja bisa batal ke jenjang pernikahan, apalagi lo yang baru rencana”
Aku jadi semakin kesal. Sebenarnya apa sih maunya cewek songong ini, pakai laporan kalau mau tunangan segala. Aku tentu saja sadar diri meskipun aku fans garis kerasnya Adit tapi kemungkinan untuk aku bisa mendapatkan perhatiannya hampir 0%. Jadi sebenarnya percuma saja si Aya ngomel seperti itu di depanku
“Tch. Percuma aja ngobrol sama kamu, kita gak level. Kita lihat saja nanti”
Aya terlihat kesal, ia membalikkan badan kemudian pergi disusul oleh para pengikutnya, meninggalkan aku dan Tiara.
Tiara menepuk keningnya, “Apa-apaan sih cewek itu. Kok ada sih cewek macam itu di sekolah kita. Udah kayak iblis atau tokoh antagonis di novel-novel aja. Gue gak suka sikapnya yang sok berkuasa gitu”
“Iya gue tau. Gue juga ngerasaain hal yang sama kayak lo” Balasku yang sependapat dengan Tiara.
“Haah. Lagian, kenapa sih lo bisa tiba-tiba dipindahin ke kelas neraka itu Vi? Aneh banget deh, padahal kita berdua kan sering bolos pelajaran bareng”
“Entahlah Ti, hanya kepala sekolah dan pihak yayasan yang tau jawabannya. Di surat keputusan dari sekolah, kepindahanku ke kelas Akselerasi bersamaan dengan hasil tes Intelegensi. Kupikir karena itu deh. Entahlah”
“Hadeeeh. Kenapa gak lo tolak aja sih waktu itu? Atau sekarang ajukan pindah ke kelas biasa Vi”
“Enggak deh Ti. Ini baru hari pertama gue di kelas itu. Ini bagian dari tantangan dalam hidup gue, dan elo tau gue bukan orang yang mudah menyerah gitu aja kalau ada yang menghalangi jalan gue”
“Iya sih, gue tau itu. Elo dari dulu emang keras kepala. OK, jangan nangis ke gue kalo lo kesulitan di kelas itu. Tapi karena lo sohib gue, gue doain semoga lo bisa selamet dari kelas neraka itu”
“Hehehe. Udah, lo tenang aja Ti. Gue pastikan bakal lulus dengan aman dari kelas akselerasi”
“Ya udah deh. Lo yang sabar ya. Buktikan ke mereka kehebatan Silvie Ratnasari, sohib gue dari kelas X”
“Ashiyap jengTia! Oh iya, yang tadi terimakasih ya. Elo udah mau belain gue dihadapan para iblis itu”
“Gak masalah. Elo kan sahabat gue. Ya jelas gue gak terima kalo lo digituin, di depan mata gue pula. Parah tuh orang. Dia kira gue gak berani sama orang macam mereka apa?”
Teet! Teeet! Bel tanda masuk pelajaran sudah digaungkan.
“Eh. Udah bel masuk nih. Gue balik ke kelas ya Ti”
“Oke. Kalau mereka bikin kehebohan lagi, bilang ke gue aja, ntar gue kasi pelajaran kehidupan yang berharga buat mereka” Tiara menampilkan senyum jahatnya
“Haha. Yoi cuy. Tenang aja. Sampai jumpa nanti pulang sekolah”. Aku kembali ke kelas sendirian.
Di kelas sudah ada gengnya Aya tadi dan 2 orang dari geng penyendiri [On My Own]. Terang saja ketika Vivi masuk kelas, para anggota geng Aya memandang tajam penuh rasa jijik kepadaku. Mereka memang sudah memancarkan aura permusuhan sejak hari pertamaku di kelas tersebut, mungkin kami sudah ditakdirkan sebagai musuh bebuyutan.
Karena khawatir, aku memeriksa kursi dan meja. Syukurlah masih aman dari permen karet. Sejak kejadian itu, aku menjadi lebih berhati-hati sekarang. Aku tak ingin kejadian yang sama terulang lagi.
Aku duduk sambil menunggu guru datang. Tiba-tiba cewek yang duduk di depanku membalikkan badan. Tentu saja itu membuatku terkejut.
“Astaga! Ngaget-ngagetin gue aja lu. Ada apa?”
Seorang siswi berkacamata tebal dengan rambut kecoklatan berkepang dua menatap mataku. Ia salah satu dari geng [On My Own] atau disebut anti sosial yang terlihat cupu atau asik dengan dunianya sendiri.
Ia menjulurkan tangannya ke arahku, “K-kenalin, n-namaku Frisia Hutagalung. P-panggilan Frisia”.
Suaranya terdengar lirih dan gagap. Tangannya gemetar dan berkeringat dingin, tapi ia tidak terlihat seperti anak yang bermasalah seperti yang lainnya. Mungkin dia punya masalah kepercayaan diri saja.
Aku tersenyum dan membalas jabatan tangan dari Frisia. Mungkin tidak buruk membuat pertemanan dengan seorang cewe dari kelas ini. Frisia juga tidak terlihat punya niat jahat.
“Iya, salam kenal, panggil aja gue Vivi”
Frisia balas tersenyum kemudian mengangguk. Setelah berkenalan, ia terdiam dan kembali ke posisi duduknya. Ia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya untuk menyeka keringat dingin. Memang tidak semua orang bisa dengan mudah memulai memperkenalkan diri dengan orang baru, biasanya ada rasa tidak nyaman atau sungkan, bahkan ada beberapa orang yang sampai pingsan sebelum berhasil melakukan hal itu.
Aya dan gengnya terlihat tidak senang dengan sikap Frisia yang seperti terbuka padaku. Kemudian masuklah geng [Prince Entourage] yang terdiri dari para cowok high quality. Gengnya terdiri dari Adit sang [School Prince], Kevin sang [Olimpiade Prince], dan Rama sang [Pianis King]. Masing-masing memiliki sifat yang berbeda, Adit yang dingin terlihat keren, Kevin yang atletis dan bersemangat serta Rama yang dikenal sebagai sang musisi playboy romantis. Masing-masing dari mereka juga memiliki fans akut di sekolah.
Aya berdiri dan mendekati Adit lalu berbisik padanya, kemudian keduanya melirik ke arah Vivi.
Ya ampun! Mau ada kasus apa lagi yang mau mereka lakukan padaku, ya Tuhan? Pikirku.
Aya dan Adit kemudian pergi keluar kelas.
Duh, gawat jangan-jangan nanti akan terjadi sesuatu. Ngomong-ngomong, ini mana sih Leo kok belum nongol batang hidungnya. Tak berapa lama Leopun masuk kelas.
“Le!” Teriakku spontan. Semua orang jadi meihatku.
“Ups”
Leopun menepuk keningnya, “Ada apa lagi sih? Kita baru juga kenal sehari, lo udah sok akrab ma gue” Leo duduk di kursinya.
“Hehe, ya maap”
“Jadi, ada apa lagi sekarang?” Tanya Leo dengan malas karena yakin akan merepotkannya.
“Sini gue bisikin. Pinjem telinga lo”
Aku mendekat dan berbisik di telinga Leo. Sekejab Leo merasa geli, baru kali ini ada cewek yang sangat dekat secara fisik dan berbisik di telinganya. Wajahnya memerah, padahal menurutku biasa saja karena aku punya banyak teman laki-laki.
Degub jantung Leo jadi lebih cepat, iapun sedikit mendorongku, “G-gak usah bisik-bisik kenapa sih? Langsung ngomong aja disini”
“Ini hal penting terkait gue. Kenapa muka lo jadi merah gitu? Lo lagi demam?” Aku coba mengukur panas tubuh Leo dengan meletakkan tangan ke dahinya.
Leo segera menyeka tanganku, “Gue gak sakit. Ayo ngobrol di luar aja kalau gak mau ada yang denger”
“Tapi bentar lagi kita udah mau masuk kelas, nanggung amat kan?”
“Ish! Ya udah, kamu tuliskan aja di kertas, ntar ku jawab, kalo perlu ntar dibakar setelah dibaca”
“Wah keren juga ide lo, kayak secret agent yang pesannya meledak setelah dibaca gitu ya”
“Ya suka-suka lo deh, cepetan tulis sebelum guru berikutnya masuk kelas. Gue gak mau fokus gue keganggu ketika pelajaran udah dimulai”
“OK. Tunggu bentar”
Aku segera kembali ke tempat duduk dan menulis disecarik kertas kecil.
Leo memandangiku yang sedang asik menulis. Leopun tersenyum.
“Ini.”
Selesai menulis, aku menoleh lalu menyerahkan selembar lipatan kertas pada Leo. Saat itu juga, aku menangkap basah Leo yang sedang tersenyum padaku.
“Lo ngapain senyum-senyum sendiri? Jangan-jangan lo suka sama gue ya.”
Leo segera mengubah raut wajahnya jadi mode serius dan mengambil kertas dari tanganku
Ia segera berkilah, “Jangan ngimpi siang bolong deh. Siapa juga yang mau suka sama lo?”
“Heee, gitu ya?”
Aku masih senyum-senyum menggodanya.
Leo pura-pura cuek dan kemudian membuka lipatan kertas itu. Iapun terkejut dengan tulisan yang dibacanya. “Kelihatannya kali ini gue bakal dalam bahaya”.
Sepertinya Leo belum paham maksud tulisanku itu. Leopun berdiri mendekat dan meletakkan secarik kertas tadi di mejaku,
“Apa maksudnya ini?”
Seketika semua orang di kelas menatap kami. Mereka seperti penasaran masalah apa yang kubuat kali ini. Terlebih, aku terkejut karena tidak menduga sikap Leo yang berubah jadi mode serius seperti itu.
“Kenapa jadi lo yang marah sih? Harusnya kan gue”
Leo memegang kepala sambil menggelengkannya, “Baru hari pertama lo disini aja udah segini ribet. Jadi masalah apa lagi yang udah lo bikin?”
Aku tersentak, “Eh-eh, Ingat, gue bukan yang mulai ya. Gue ini korban. Catet itu baik-baik”
“Terserah lo deh. Gue gak mau ikut campur masalah lo lagi. Capek” ucap Leo ketus. Iapun berbalik dan kembali duduk di kursinya.
Tentu saja aku kesal, alih-alih bersikap membantu atau menenangkan permasalahanku, Leo justru terlihat acuh. Maka ku balas dengan sikap acuh pula padanya. Aku yakin pasti bisa melewati hari-hari di kelas itu sendirian meski tanpa bantuan Leo yang tidak jelas statusnya sebagai teman atau hanya sebatas outsider baginya. Tiba-tiba aku semakin merasa kesal pada Leo.
“Assalamualaikum” guru Biologi masuk kelas. Para siswa di kelas menjawab salam lalu kembali ke tempat duduk masing-masing. Kemudian Aya dan Adit menyusul beliau masuk kelas. Sebelum mereka duduk, keduanya sempat melirik dan tersenyum simpul ke arahku. Tentu saja hal itu membuatku cemas. Tidak ada yang tahu rencana jahat apa yang akan mereka berdua lancarkan.
Setelah pelajaran berlangsung 1 jam yang dirasa melelahkan, tiba-tiba pak Didit, guru Biologi itu bertanya, “Materi tentang syaraf sudah selesai. Nah untuk prakteknya, bapak minta sukarelawan untuk jadi model praktek akupuntur”
Akupuntur merupakan suatu teknik medis yang digunakan untuk kebugaran. Bahkan di era sebelum dunia medis berkembang, teknik ini digunkaan sebagai pengganti anestetik atau melumpuhkan syaraf agar pasien sementara tidak merasakan sakit ketika dilakukan operasi.
Pak Didit memandang seluruh kelas, kemudian tatapannya berhenti padaku.
“Bapak dengar kelas ini kedatangan siswa baru, dan katanya dia sangat baik bahkan mau menjadi relawan praktek ini. Coba perkenalkan dirimu”
Sontak aku terkejut. Entah sudah berapa kali ia terkejut dalam seharian itu. Ini jelas kurang baik bagi mental. Aku jadi cemas. Aku tidak memahami tentang akupuntur selain sebagai sarana memasukkan jarum ke dalam tubuh. Memikirkannya saja sudah merasa seram.
Tapi aku tak boleh melarikan diri dahi hal ini. Aku mengangkat tangan kemudian berdiri.
“Sa-saya pak. Nama saya Vivi, saya siswa pindahan dari kelas reguler”
“Oh ternyata memang beneran kamu ya. Saya pernah lihat kamu di kelas reguler. Kamu yang sering bolos kelas bapak kan?”
“Eh- enggak pak, itu mungkin pas saya sedang ke kamar mandi”
“Masa kamu ke kamar mandi sampai menghabiskan lebih dari 50% jam pelajaran”
Semua siswa tertawa. Malu! Aku seperti dipermalukan di depan umum, tapi tidak bisa membantahnya karena hal itu memang kenyataan yang terjadi ketika di kelas X dulu.
“Ya, karena kamu bisa masuk kelas akselerasi, berarti kamu punya potensi di kelas ini. Nah sekarang sini, maju sini. Kata teman-temanmu, kamu dengan senang hati mau menjadi relawan praktek ini.”
Aku jadi menduga yang dimaksud pak Didit adalah Aya dan Adit. Mungkin ini rencana mereka untuk menjahiliku.
“Sini maju”
Aku dengan perlahan maju mendekati pak Didit di depan kelas.
“Nah gitu dong. Sekarang kita bisa mulai, saya akan tunjukkan titik-titik akupuntur untuk kesehatan”
Dari depan kelas, aku bisa melihat Aya dan Adit tersenyum puas. Rasanya kesal tetapi aku tidak punya bukti apapun. Pak Didit menyiapkan kursi di depan kelas agar aku duduk disana.
Pak Didit baru mau mulai praktek akupunturnya.
“Tidak perlu takut, saya sudah sering melakukan praktek akupuntur di rumah. Saya membuka praktek dan alhamdulillah 80% pasien sembuh dari sakitnya dan merasa bugar setelah melakukan akupuntur.”
Mendengar hal itu, bukannya menjadi tenang, pikiranku justru fokus ke kata-kata 80% sembuh, hal itu berarti 20% telah gagal. Apa bisa hal ini dikatakan sebagai malpraktek? Apakah aku bisa bertahan hidup setelah jarum-jarum itu masuk ke tubuhku? Berbagai pikiran negatif melintas di kepala.
“Baik kita mulai, yang lain silakan mendekat agar bisa melihat jelas. Mbak Vivi santai saja, jangan tegang-tegang gitu.”
“I-iya pak. Tapi ini gak akan sakit kan pak?”
“Enggak, paling rasanya kayak digigit semut. Tenang saja, bapak sudah berpengalaman lebih dari 5 tahun”
Aku hanya bisa tersenyum kecut karena rasa cemasku masih belum berkurang. Kemudian pak Didit mulai memasukkan jarum ke lengan kananku. Seketika tanganku menjadi lemas.
“Nah ini titik syaraf untuk membuat otot di tangan menjadi lemas. Mbak Vivi coba tangan kanannya digerakkan”
Aku coba menggerakkan tangan tapi tidak bisa, rasanya lemas, atau bahkan tangan kanannya hampir tidak terasa sama sekali.
“Gak bisa pak. Tangan kanan saya gak kerasa. Ini gak kenapa-kenapa kan pak? Bisa dikembalikan seperti semula kan?”
“Iya tenang saja. Sekarang saya cabut jarumnya agar syarafnya bisa kembali bertenaga”
Begitu pak Didit mencabut jarum dari tangan kanan Vivi, tiba-tiba keluar darah. Sepertinya jarumnya mengenai nadi.
Aku melihat darah mengumpul di bekas jarum ditusukkan tadi, aku menjadi takut dan berteriak.
“Aaa! Darah!”
Aku pernah memiliki pengalaman buruk dengan darah. Akupun reflek tersentak melompat ke samping. Tubuhku kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh. Untungnya, aku menabrak tubuh seseorang yang membuatku bisa kembali berdiri seimbang. Aku menatap wajah penolongku, ternyata dia adalah Adit. Ia terlihat seperti pangeran dari negeri dongeng. Wajah Adit tampak bersinar di pandanganku saat itu.
***