7. Mengantar Syafira

1058 Words
"Pesawat Bunda jam berapa?" tanya Aryan menatap arloji di tangga kirinya. "Jam dua siang," jawab Syafira merapikan ranselnya. Pemuda berbadan tegap itu menatap wanita yang sudah ia klaim sebagai kekasihnya itu lekat-lekat. "Iyan antar ke bandara pukul sebelas, ya!"ucap Aryan mengalihkan pandangannya ke ponsel. "Kamu libur, gak?" tanya Syafira menatap balik Aryan seluruh pakaian yang ia bawa sudah masuk ke ransel. Tersisa beberapa barang kecil yang masih ia butuhkan, seperti bedak, lipstik, sabun pembersih wajah dan teman-temannya. "Hari ini libur, besok masuk. Kan, Iyan sengaja ngosongin jadwal supaya bisa nemenin Bunda," jawab Aryan sambil tersenyum seolah mengingatkan kembali kata-kata yang ia ucapkan di hari pertama Syafira datang. "Oh," jawab Syafira tanpa banyak kata lagi. Ada rasa bahagia, saat Aryan mengatakan bahwa spesial day hari ini untuk menemaninya selama di Jakarta. Ia memang tidak meminta ditemani, tetapi inisitif Aryan membuatnya melting seketika. Meskipun, bukan kali pertamanya ke Kota Metropolitan terbesar di Indonesia tersebut, tetapi ke Jakarta bukan karena sebuah pekerjaan adalah momen pertamanya. Selama ini Syafira keliling Indonesia karena sebuah pekerjaan. Merasakan liburan seorang diri adalah pengalaman pertamanya setelah tiga puluh delapan tahun. Waw, sesuatu bukan. Sebagai seorang wanita karier perjalanan hidupnya memang tidak semudah saat ini. Ia pernah mengalami fase dimana perasaan dan mentalnya benar-benar jatuh. berpindah-pindah tempat kerja sempat ia lakoni karena merasa tidak nyam dengan perusahaan yang ia naungi. Perkembangan kariernya juga tidak sepesat saat ini. Entah apa yang sedang direncanakan Tuhan untuknya, hingga membuat semuanya terasa lebih mudah. Pengalaman berpuluh tahun memang sudah ia miliki dan menjadi pegangan tersendiri baginya untuk membuat sebuah keputusan. Kekurangannya hanya satu, tidak memiliki perkawinan yang seutuhnya. Ia memang bersuami, tetapi semua ia kerjakan sendiri. Bahkan keputusan pendidikan, pekerjaan rumah tangga dan ekonomi semua ada di tangan dan otaknya. Anton - sang kepala keluarga, tidak banyak andil dan berperan penting dalam di keluarga kecil mereka. Si sulung dsn si bungsu hanya menceritakan keluh kesah mereka di sekolah, di tempat les atau apapun padanya. Peran Anton seakan tidak ada dalam kebersamaan mereka. Anton hanya memiliki raga di sana, tetapi entah hatinya ada atau tidak? Terkadang Syafira bertanya dalam hatinya, pernahkah suaminya teringat padanya, walaupun hanya sedetik? Apakah dirinya sudah tidak memiliki arti di hati Anton? Namun, semakin ia bertanya semakin ia merasa sesak dan menyesali semua yang pernah ia putuskan. Sejak itu, Syafira memilih diam, pasrah dan terserah. *** Satu kecupan manis Aryan daratan ke pipi Syafira tepat sebelum mereka keluar kamar hotel menuju bandara. Dengan motor sportnya, ia kembali membawa Syafira ke bandara. "Bunda, hati-hati," ucap Aryan mencium punggung tangan Syafira sebelum boarding pass. "Iya, makasih, ya," balas Syafira. "Makasi untuk semua jamuannya," lanjut Syafira memberi senyuman hangat kekasihnya. "Maaf ya, Bun, Iyan, tidak bisa membelikan Bunda makanan yang lebih enak." Aryan menarik tangan Syafira agar memeluknya selama perjalanan. "Itu udah cukup buat Bunda," seru Syafira berbisik. Beberapa menit lagi mereka akan kembali ke rumah masing-masing menjalani peran kembali ke habitatnya. Syafira sebagai istri dan ibu di keluarganya, Aryan sebagai pemuda berstatus pacar seorang gadis bernama Ajeng. Hubungan nyata sesaat mereka akan kembali menjadi virtual. Merentang jarak untuk didekatkan. Menghapus rindu melalui kata-kata pujangga milik Aryan. Kedekatan keduanya membangun hasrat yang salah. Menentang fitrah yang digariskan. Mengubah arah menjadi taqdir yang sesat. Entah akan bagaimana jalan akhirnya? Jakarta - Surabaya bisa diretas oleh benda canggih bernama ponsel. Kerinduan mereka akan tertuang di benda pipih tersebut. Cinta mereka akan bertumpu di aplikasi kesayangan. Kenangan mereka akan terukir di kitab sejarah masing-masing tanpa Seorangpun mengenangnya. Cukup mereka berdua dan Tuhan yang tahu. "Bye." Syafira melambai, menutupi rasa berat meninggalkan cintanya tertinggal di Jakarta. Cinta yang tak seharusnya mereka agungkan. Cinta yang tak semestinya berada di tempat terindah. Cinta yang hanya berasaskan sebuah hasrat kesesatan. Aryan membalas lambaikan Syafira hingga punggung kekasihnya itu tidak lagi terlihat dengan senyum hampa. Sehampanya mimpinya yang tak kunjung ada tepi. Semalam bersama Syafira telah mengubah hidupnya seratus delapan puluh derajat. Kini tak ada lagi Aryan polos seperti kemarin. Aryan mengakui dirinya saat ini bak buaya yang sanggup menaklukkan hati istri orang. Seorang Cassanova saja memilih wanita single untuk menjadi teman kencannya. Aryan yang bukan seorang Don Juan apalagi Cassanova berhasil menggaet seorang wanita karier seksi dan cantik yang berstatus istri orang. Apa tidak buaya seperti itu? Tanpa sadar label itu ia lekatkan pada dirinya. Statusnya yang masih memiliki pacar seolah tidak berpengaruh apapun. Aryan tetaplah Aryan, baginya pacar tidak banyak mengubah apapun di hidupnya. Pandangan hidupnya, mindsetnya serta mimpinya tidak akan berubah hanya karena hadirnya seorang wanita yang menyatakan cinta padanya. Baru juga berbalik arah menuju tempat parkir, ponselnya berbunyi. Nama Ajeng tertulis dengan jelas di layar berukuran enam inchi itu. Dengan perasaan jengah Aryan menggeser ikon hijau monitornya. Tidak ada alasan baginya untuk tidak mengangkat, ia juga sadar diri mendiamkan kekasihnya terlalu lama hanya akan menimbulkan kecurigaan terlalu dalam. "Iya," sahut Aryan dari posisinya tanpa salam pembuka atau sapaan mesra lainnya. Pemuda itu menoleh kanan kiri mencari kursi kosong yang bisa ia duduk sembari menerima panggilan dari Ajeng. "Mas, lagi dimana?" tanya Ajeng yang sudah tiga hari ini tidak ia hubungi. "Lagi di luar, ada apa?" sahut Aryan dengan nada datar, ia tidak ingin kepergiannya terbongkar hanya karena sebuah kesalahan. "Ngapain?" tanya Ajeng dengan kepo. "Ya ada perlulah, napa emangnya?" tanya balik Aryan memancing emosi Ajeng. "Ya gak pa-palah, Mas. Kamu kemana aja? Udah tiga hari gak ngabarin aku?" balas Ajeng. "Emang harus gitu? Aku kemana-mana laporan sama kamu?" seru Aryan sedikit kesal. "Ya, apa salahnya sih, Mas?" ucap ajeng. Aryan menghembuskan napas berat. Bagi Ajeng mungkin kewajiban melaporkan kegiatannya kemana-mana, tetapi bagi Aryan posisi sebagai pacar tidaklah harus sampai sejauh itu. Menjalin hubungan dengan Ajeng sejak sama-sama duduk di bangku SMA memang tidak mudah, ada saja kerikil yang mereka lalui bersama-sama. Baik Aryan maupun Ajeng sudah saling mengenal karakter satu dengan lainnya. Aryan saja yang terkadang merasa lelah dan jenuh dengan rutinitas mereka. Pertengkaran dan adu argumen seringkali mereka lakukan hanya demi mencapai sebuah kesepakatan. Entah siapapun yang mengalah, hasilnya memang memuaskan dan mencapai kesepakatan bersama. Satu yang tidak Aryan suka dari Ajeng, posesif. Gadis itu terlalu mencintai dirinya, tidak ingin kekasihnya berbagi hati dengan siapapun karena itu ia terus menerus mengawasi gerak gerik Aryan. Wajar sih, sebab tidak ada satu pun yang ingin kekasihnya berbagi hati. "Aku video call ya, Mas," pinta Ajeng. Permintaan panggilan video terdengar di telinga Aryan. Aryan yang tidak ingin posisinya dipergoki menggeser ikon merah mengakhiri panggilan kekasihnya. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD