9. Goyahnya Ajeng

1220 Words
Ajeng menatap penuh selidik ke arah pacarnya. Entah apa yang berubah, Ajeng berusaha mencari tahu. Namun, semakin ia menatap semakin ia terpesona. Entah daya pikat apa yang dimiliki Aryan, hingga membuatnya bertekuk lutut dengan mudah. Menjadi pacar Aryan memang tidak mudah, butuh perjuangan keras untuk mendekati pria dingin dan arogan tersebut. Pertama mengenal Aryan, pria itu terkesan sombong dan mengerikan. Setelah mengenal lebih dekat dan nyaman, Aryan akan menampakkan sifat aslinya. Ramah dan supel. Aryan juga tipe yang ringan tangan. Ajeng merupakan salah satu gadis beruntung yang bisa menjadi pacar Aryan. Ia tahu sebelumnya Aryan memiliki mantan tang lebih cantik darinya. Ajeng juga tidak pernah tahu apa alasan Aryan memilihnya yang biasa saja. Alasan itu jugalah yang membuatnya mempertahankan hubungan mereka hingga sejauh ini, meskipun ia tidak tahu akan dibawa kemana. Ajeng hanya mengikuti arus yang dirancang Aryan. "Mas, dari tadi?" tanya Ajeng duduk di depan Aryan. "Gak juga, paling baru sepuluh menitan," jawab Aryan melirik arlojinya. Bukan arloji bermerk, tetapi tetap berfungsi sebagai pengingat waktu. Itulah salah satu prinsip Aryan saat ini, tidak perlu barang mahal yang penting manfaatnya. Tidak bisa dipungkiri sebagai anak muda pernah terbersit keinginan memiliki barang mewah. Namun, ia menyadari kemampuannya sendiri. Pun sebagai anak rantau yang masih nge-kos, Aryan terkesan sebagai pemuda yang pelit. Sebetulnya ia sedang berjuang melawan kerasnya kebutuhan dengan pemasukan. Aryan tidak ingin pemasukannya yang pas-pasan semakin mempersulit dirinya karena kebutuhan yang kian melonjak. Aryan hanya berusaha mengatur pemasukannya sebaik mungkin untuk masa depannya kelak. Meskipun, ia tahu manusia hanya berencana, tetapi Tuhan yang menakdirkan. Yang ia yakini usaha tidak mengkhianati hasil. "Makan apa?" tanya Aryan menyodorkan menu yang ada di meja. Aryan sengaja belum memesan apapun menunggu pacarnya datang. "Ini aja." Ajeng menunjuk menu favorit resto tersebut. Memang bukan sebuah resto mahal, tetapi bagi anak kos seperti Aryan cukup menguras kantong. Apalagi kemarin ia menjamu Syafira, auto gajinya bulan ini sudah banyak berkurang. "Spageti?" tanya Aryan ulang, melirik kekasihnya. "Iya. Lagi pengen ngerasain yang western, gitu," kilah Ajeng sambil tersenyum menyadari Aryan sedikit terkejut dengan pilihannya. "Oh, Okelah." Aryan mencatat pesanan kekasihnya. Ia sendiri memilih menu nasi lengkap dengan sayur dan lauknya. Bagi Aryan, perutnya belum terasa kenyang bila nasi tidak ada di piring. "Jeng, Johan bagaimana?" tanya Aryan membuat Ajeng terhenyak sejenak. "Johan kenapa? Kok, Mas Aryan nanyain dia?" tanya Ajeng mengerutkan dahinya. "Apa yang Mas Aryan tahu soal Johan?" batin Ajeng penasaran dengan kekasihnya. "Gak pa-pa. Apa kalian masih sering jalan?" tanya Aryan to The poin tanpa filter. Wajahnya pun datar. "Maksudnya?" tandas Ajeng. "Udah jujur aja, gak usah ditutupi. Kalian habis jalan berdua, kan?" tatap Aryan masih dengan nada datar tanpa ada unsur intimidasi, tetapi justru membuat Ajeng ciut nyali. "Darimana Mas Aryan tahu?" Ajeng bertanya dengan gugup. "Gak perlu kamu tahu, cukup jawab saja! Lebih nyaman mana jalan sama aku atau Johan?" ungkit Aryan. Ajeng terdiam tanpa bisa mengungkap apapun. Lidahnya terasa keluh. Tenaganya seolah melemah tanpa ada pembelaan. Aryan benar, Beberapa minggu lalu ia memang sempat jalan dengan Johan ke salah satu mall. Tujuan mereka sebenarnya hanya membahas pekerjaan. Namun, perjalanan sehari itu semakin menyadarkan Ajeng bahwa Johan memiliki perasaan khusus padanya. Ajeng yang waktu sedang menghadapi permasalahan berat dengan pacarnya memang sempat terpikir untuk putus dan mencari kekasih baru. Hatinya pun sempat goyah. Ia pun sempat tidak mempermasalahkan jika pengganti Aryan adalah Johan. Selama ini, pria itu terlihat baik di matanya. Belum pernah ada perbuatan buruk yang tertangkap matanya. "Mas, maaf," tutur Ajeng dengan perasaan tidak menentu. Jantungnya sudah berdetak dengan kencang, ada perasaan takut dan khawatir kekasihnya marah. "Oke, kita satu sama. Tapi, aku menang lebih banyak," gumam Aryan dalam hati mengingat kekasihnya yang lain di dunia virtual sembari tersenyum penuh kemenangan. "Aku janji gak akan ngulangin lagi," lanjut Ajeng tanpa berani menatap Aryan. Pemuda itu semakin berada di atas angin, di otaknya sudah tersusun banyak rencana untuk pacarnya itu. "Jawab dulu Pertanyaanku! Lebih nyaman mana aku atau dia? Aku gak akan ngerengek minta kamu tetap di sisiku kalau memang lebih nyaman sama Johan," sindir Aryan. Ajeng semakin terpojok dengan sindiran Aryan yang tetap tenang. Namun, tetap saja membuatnya terintimidasi. Aryan menghentikan interogasinya karena pesanan mereka datang. "Makanlah dulu! Kamu pasti lapar setelah bekerja," titah Aryan tanpa mengingat pertanyaannya yang tadi. Sejenak Ajeng tampak lega. Setelahnya entah apa yang akan terjadi. Kelebihan Aryan lainnya adalah mampu menahan emosi. Ia lebih bisa menyelesaikan permasalahan dengan dengan kepala dingin tanpa terganggu emosi. Seperti saat ini, ia sengaja mengajak Ajeng makan sebab makanan lebih bisa mendinginkan suasana hati yang panas. Apalagi menyelesaikan permasalahan dengan perut kosong bagi Aryan akan membuat kasus semakin rumit. Menyelesaikan masalah juga butuh asupan gizi karena itu mengeyangkan perut adalah salah satu trik mempermudah semua masalah. *** Syafira baru saja turun dari pesawat, ada perasaan lega sudah kembali ke bumi kelahirannya setelah satu jam terombang ambing di udara. Kondisi pesawat memang baik-baik saja, tetapi tetap saja saat diperjalanan hidup mati kita ada ditangan pilot. Tuhan seolah hanya sebagai perantara saja. Syafira menoleh ke kanan kiri menghirup angin segar di sekelilingnya. Syafira berjalan ke arah pintu keluar, mencari seseorang yang sudah ia kontak untuk menjemput. Nurul. Sahabatnya sejak SMA. Menghubungi Anton tidak mungkin ia lakukan, suaminya itu tidak akan peduli dengan semua aktifitasnya. "Fira!" panggil seorang wanita. "Rul." Syafira bergegas ke tempat Nurul duduk santai menunggunya. Wanita itu sengaja tidak beranjak dari kursi besi, membiarkan Syafira menghampirinya. "Bagaimana?" tanya Nurul dengan makna tersirat melepas pelukan sahabatnya yang ia tahu baru pulang dari Jakarta menemui salah satu teman virtualnya. "Berondongnya cakep, gak?" sindir Nurul mencolek pinggang Syafira. "Cakep dan sesuai ekspektasi. Manis dan baik," balas Syafira dengan tersenyum. "Wait, wait. Jangan bilangan kalau kalian ...." Nurul menatap Syafira penuh arti bahkan rela tidak melanjutkan kalimatnya berharap sahabatnya itu faham. "Taulah, kayak kamu gak pernah aja," bisik Syafira. "Akhirnya, kamu takluk juga dengan berondong," balas Nurul dengan berbisik. Kedua wanita sebaya itu terkekeh sejenak, mengingat tingkah mereka yang minim akhlak itu. Nurul memang tidak jauh beda dengan Syafira. Bahkan Nurullah yang lebih dulu memiliki kekasih lebih muda. Sedangkan Syafira, ia tidak ada keberanian melakukannya. Ia masih berusaha menjunjung tinggi derajatnya sebagai istri. Namun, prinsipnya goyah karena seorang Aryan. Siapa yang menyangka seorang berondong yang minim pengalaman di ranjang, membuatnya bertekuk lutut. "Pernah gak sih, kamu nyesel, Rul?" tanya Syafira menunduk memainkan ponselnya tanpa arah. "Awalnya sih, iya. Tapi aku meyakinkan diriku sendiri kalau aku juga ingin bahagia. Mas Rama sendiri sudah tidur dengan puluhan cewek yang tidak aku kenal. Kenapa aku tidak?" sahut Nurul dengan nada datar fokusnya tetap ke jalan raya. "Kamu sendiri bagaimana? Nyesel ketemu sama berondong virtualmua?" ulas Nurul dengan senyum lebarnya seakan sudah tahu jawabanku. "Entahlah, tapi aku merindukannya," jawab Syafira tanpa bisa memberi kepastian. "Gak usah sok. Toh, kamu juga mneikmatinya," ledek Nurul. "Pernikahan kamu tuh, sudah tidak sehat. Secara negara kalian memang berstatus suami istri, tetapi secara agama kalian tuh, sudah tidak ada hubungan apapun. Kamu tuh, janda tanpa surat talak. Lebih parah dari aku," ucap Nurul tanpa bisa dielak oleh Syafira. Ucapan Nurul bisa dikatakan benar seutuhnya. Pernikahannya bukan lagi pernikahan sebenarnya. Mereka hanya mempertahankan status legal suami istri di atas selembar kertas. Anton bahkan tidak memikirkan bagaimana perasaan Syafira sebagai istri. Komunikasi pun tidak pernah terjalin dengan sempurna. Kalaupun ada komunikasi itu karena Syafira yang mendahului demi kedua anak-anak mereka. Hubungan kedua anaknya dengan Anton juga tetap baik-baik saja. Walaupun, tidak banyak perannya sebagai ayah. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD